NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -12

Venezia, pagi ini

Langit cerah. Matahari memantulkan cahaya ke kanal-kanal yang tenang, menciptakan kilauan keemasan di permukaan air. Riak halus menyentuh sisi gondola yang berlayar perlahan, sementara angin membawa aroma laut dan kopi dari kafe-kafe kecil di sepanjang jalan berbatu.

Di sebuah apartemen yang menghadap langsung ke kanal, Azzam sudah berangkat sejak tadi.

Sedangkan Farah?

Gadis itu masih terjebak di bawah selimut, seolah ingin menghilang dari dunia.

Jantungnya masih berdetak cepat sejak semalam. Ia menyesal. Bukan karena sesuatu yang buruk terjadi, tapi karena dirinya sendiri yang dengan bodohnya... memeluk Azzam erat semalaman.

Ia bukan tipe perempuan yang gampang dekat dengan laki-laki. Ia selalu membangun batasan, menjaga jarak, tapi semalam semua pertahanan itu runtuh dalam hitungan detik.

Farah menutup wajahnya lebih dalam ke bantal.

"Ahh... sial! Kenapa sih aku bisa-bisanya meluk dia?!"

Apa yang bakal Pria itu pikirkan?

Apakah pria itu menganggapnya lemah? Atau... lebih buruk lagi, menganggapnya mulai nyaman dengannya?

"Nggak mungkin! Aku nggak selemah itu, semalam itu cuma kebetulan," ucap lagi.

Tapi kenyataannya, badannya masih terasa hangat di tempat yang tadi ia tempati.

Farah mengerang frustasi dan menendang selimut, tapi rasa malu tetap saja menyesakkan dada.

Lalu, suara pintu apartemen tiba-tiba terdengar terbuka.

Farah menegang. Oh tidak.

Langkah kaki mendekat.

Ia buru-buru menarik kembali selimut ke atas kepala, seolah berharap bisa menghilang begitu saja.

Terlambat.

Azzam masuk. Pria itu masih mengenakan pakaian semi formal, dasi yang semula terpasang kini longgar di lehernya. Dengan santai, ia melempar jasnya ke sisi tempat tidur, lalu menatap Farah yang masih bergelung di ranjang.

"Sejak tadi kamu masih di situ? Saya pergi dua jam, dan … kamu masih stay di sana?"

Farah meneguk ludah.

Jangan lihat ke dia, jangan lihat ke dia.

Tapi tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak.

Azzam mendekat menarik pelan selimut.

"Eh... kamu budek? Apa pura-pura budek sih?"

Farah tetap diam, memilih menyembunyikan dirinya lebih dalam di bawah selimut.

Azzam hanya menghela napas. Bosan dengan sikap menghindar Farah, ia memilih berjalan ke dapur. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi.

Di balik selimut, Farah menunggu.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Tidak ada suara.

Pelan, ia mengintip keluar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Pria itu tidak ada disana.

Farah menghela napas lega.

"Akhirnya pergi juga... sumpah, malu banget ketemu dia."

Gadis itu duduk di tepi ranjang, menepuk pipinya sendiri. Masih terasa panas. Terlalu banyak memikirkan kejadian tadi malam hanya akan membuatnya makin frustasi.

Tapi, apa yang lebih ia takutkan?

Azzam? Atau perasaan benci yang perlahan akan berubah?

Dengan langkah malas, ia bangkit menuju kamar mandi. Namun, belum sempat mencapai pintu-

Sebuah tarikan kuat menahan pergelangan tangannya.

Farah tersentak.

Tubuhnya seketika tertarik ke belakang. Punggungnya membentur dinding kamar, dan sebelum ia bisa bereaksi, Azzam sudah mengunci tubuhnya di antara kedua tangan.

Deg!

Farah menahan napas.Jarak mereka terlalu dekat.

Azzam menatapnya, matanya menyelidik, menikmati bagaimana gadis di depannya kini begitu kaku dan tegang.

"Mau coba-coba menghindar?" Pria itu tersenyum sinis.

Farah meneguk paksa salivanya. Jantungnya berdebar liar.Ia berusaha berbicara, tapi tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

Azzam mengangkat alis.

Farah yang biasanya cerewet, sekarang malah diam?

Menarik.

Dengan sengaja, pria itu mendekatkan wajahnya lebih dekat.

Farah membeku. Aroma mint dari napas pria itu menyapu kulit wajahnya.

Seketika, tengkuknya meremang.

“Jangan dekat-dekat…” Batin Farah berontak.

Tapi tubuhnya tetap diam.

Azzam, yang menyadari perubahan ekspresi gadis di depannya ia tersenyum miring.

Tatapannya turun, memperhatikan bagaimana gadis itu begitu tegang.

Keheningan menggantung di antara mereka.

Lalu, Azzam berbisik pelan di telinganya.

"Saya tunggu sepuluh menit lagi di bawah."

Farah meneguk paksa salivanya.Napasnya masih berantakan.

Tapi Azzam tidak bergerak. Ia tetap di sana, mengurungnya tanpa celah.

Tatapannya seperti menikmati setiap detik bagaimana Farah begitu tegang, begitu pasrah.

Kemudian, dengan nada lebih rendah, Azzam kembali berbisik, "Cepetan, saya tunggu di bawah."

Farah bergidik.

Dan begitu saja, Pria itu melepaskannya.

Dengan langkah santai, pria itu berbalik menuju pintu kamar hingga keluar dari sana.

Farah masih berdiri mematung, matanya membulat kosong.Pintu kamar tertutup.

Langkah kaki Azzam terdengar semakin menjauh.

Farah akhirnya mengembuskan napas panjang, seolah baru saja selamat dari sesuatu yang mengancam.

Tapi yang lebih menakutkan adalah bukan interaksi mereka barusan...

Melainkan, fakta bahwa ia tidak membenci kedekatan itu.

"Sial."

***

Langkah kedua pasutri baru menyusuri jalanan berbatu Venesia, membelah keramaian turis yang memenuhi kota kanal ini. Cahaya lampu menggantung di atas gang-gang sempit, memantulkan warna keemasan di permukaan air. Gondola melintas perlahan, membawa pasangan yang larut dalam suasana romantis.

Tapi bagi mereka berdua, Venesia malam ini bukanlah tentang romantisme.

Farah menghela napas. Entah sudah berapa kali ia menyusun alasan untuk menghindari Azzam, tapi pria itu terus menempel.

"Mas, pergi sendiri aja. Aku masih capek karena penerbangan kemarin," ucapnya pagi tadi.

Azzam hanya menaikkan sebelah alis. "Yakin? Bukan karena sengaja menghindar dari saya?"

Farah mendecak, pura-pura tak peduli. "Ngapain? Aku cuma lagi malas jalan."

Azzam menyeringai, langkahnya santai tapi tatapannya tajam. "Bukan karena kamu takut baper? Sudah peluk-peluk saya semalam?"

Farah terdiam sejenak. Wajahnya langsung memanas.

"Idih, apaan sih! Itu kecelakaan!" sergahnya cepat.

Azzam tertawa kecil. "Udahlah, nggak usah munafik. Saya tau kamu mulai suka sama saya."

Farah mendengus. "Mas, kepedean banget."

Azzam terbahak, sembari mengacak-acak rambut istrinya.

Mereka terus berjalan, menyusuri lorong-lorong sempit, menaiki anak tangga yang menghubungkan satu jalan dengan jalan lain. Venesia tidak memiliki jalan raya-hanya kanal-kanal yang menjadi jalur utama. Semakin dalam mereka melangkah, semakin nyata perbedaan dunia ini dari kota-kota lain yang pernah mereka datangi.

Saat tiba di jembatan Cannaregio, Farah tiba-tiba berhenti. Matanya berbinar melihat Basilica Santa Maria della Salute berdiri megah di kejauhan. Kubahnya menjulang tinggi, sinar lampu memantul di permukaannya, menciptakan siluet yang nyaris magis.

"Akhirnya bisa lihat Basilica dari jarak dekat," gumamnya kagum.

Azzam meliriknya sebelum ikut menatap bangunan itu. "Ya, itu berkat saya. Kamu bisa ada di sini."

Farah langsung menoleh, menatap Azzam dengan ekspresi malas. "Pede banget. Tanpa Mas, juga aku bisa ke sini."

Azzam mengangkat bahu santai. "Faktanya, kamu di sini ya karena saya."

Farah mendesis. Tanpa pikir panjang, ia menepuk keras bahunya.

"Aww!" Azzam meringis, mengusap bahunya. "Kok pake mukul sih?"

"Cih, mulut Mas, tuh lemes banget," balas Farah ketus sebelum melangkah pergi lebih dulu.

Azzam terkekeh, lalu menyusulnya.

Mereka akhirnya tiba di sebuah kafe kecil di pinggir kanal. Aroma kopi dan roti yang baru matang menguar, menggoda selera.

Farah nyaris duduk, tapi Azzam tiba-tiba menarik lengannya.

"Jangan makan di sini. Cari restoran Muslim aja," katanya.

Farah menatapnya, bingung. "Kenapa sih? Aku lapar Mas."

"Nggak di sini. Cari tempat lain," ucap Azzam tegas.

Dan saat itu, kesabaran Farah benar-benar habis.

Dengan kasar, ia melepaskan genggaman Azzam. "Kenapa sih? Aku mau makan aja di larang!"

Azzam menghela napas panjang. Tatapannya lembut, tapi tetap dalam. "Kamu bebas makan apa saja di sini... tapi setidaknya cari yang ada label halalnya. Saya cuma minta itu."

Farah mendesah. Baru saja tadi mereka bercanda, sekarang malah berdebat lagi.

"Hidup Mas, ribet," ucap Farah sebelum berjalan lebih dulu.

Azzam menggeleng pelan dan mempercepat langkahnya. Saat mereka sudah sejajar, tangannya kembali menarik pergelangan tangan istrinya.

Farah menoleh cepat, jelas kesal. "Apa lagi?"

Azzam menatapnya dalam. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan kesungguhan.

"Inget, kan, saya siapa?"

Farah terdiam. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini.

Lalu Azzam kembali berkata.

"Kamu istri saya. Apapun yang kamu lakukan termasuk apa yang kamu makan, itu tanggung jawab saya. Jadi, tolong... jaga sikap."

Farah mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tau. Dan Mas nggak perlu ngingetin terus-terusan. BOSAN aku dengernya."

Ia menarik tangannya dari genggaman Azzam dan berjalan lebih dulu.

Azzam menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh.Menarik napas panjang. Ia tahu, Farah bukan tipe perempuan yang bisa diubah dengan omelan atau aturan ketat.

Tapi untuk hal ini, ia tidak akan mundur.

Ia sendiri bukan laki-laki yang sempurna. Banyak hal tentang agamanya yang masih perlu ia pelajari. Tapi jika menyangkut, makanan yang masuk ke tubuhnya-itu tanggung jawab yang tidak bisa ia abaikan.

Ia tidak akan memaksa. Tapi ia juga tidak akan berhenti berusaha.

Karena Azzam percaya pada satu hal.

Hati manusia bisa berbolak-balik.

Dan ketika waktunya tiba, ia yakin... hanya Allah yang bisa mengubah segalanya.

____

Farah terus berjalan, membiarkan langkahnya mengikuti arah angin malam.

Udara Venezia masih membawa sisa hujan sore tadi. Jalanan berbatu memantulkan cahaya kuning lampu-lampu jalan yang temaram, sementara kanal-kanal mengalir tenang di bawah langit yang mulai gelap.

Tapi keindahan kota ini tidak berarti apa-apa baginya.

Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke apartemen tempatnya tinggal bersama Azzam. Ia menghela napas kasar, lalu masuk dengan malas.

Perutnya kosong, tapi amarahnya lebih besar dari rasa lapar itu.

Azzam bahkan tidak mengejarnya. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada usaha untuk memperbaiki pertengkaran mereka tadi.

Farah menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membiarkan tatapannya kosong menatap keluar jendela besar apartemen.

Dari sini, kanal terlihat memantulkan cahaya lampu-lampu gondola yang melintas, Jembatan Rialto berdiri gagah dalam cahaya malam.

Seharusnya, ini adalah pemandangan yang menenangkan.

Tapi tidak ada ketenangan dalam dirinya.

Dulu, ia pikir berada di Venezia berarti merasakan kebebasan. Terlepas dari aturan keluarganya yang mengekang. Tapi nyatanya, kebebasan itu hanyalah ilusi.

Ia tidak keluar dari tekanan. Ia hanya berpindah dari satu kurungan ke kurungan yang lain.

Azzam.

Pria itu adalah kurungan barunya.

Dengan segala aturannya, segala batasannya, segala keyakinannya yang ingin ia paksakan.

Farah menghela napas, menatap langit Venezia di kejauhan.

Ia sudah cukup nyaman dengan hidupnya sekarang. Tapi kenapa Pria itu begitu ingin mengubahnya?

Seperti sengaja ingin membuka luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam.

__

Pintu apartemen terbuka.

Azzam masuk dengan kantong belanjaan di tangan. Aroma rempah khas Timur Tengah menguar dari kebab dan nasi biryani yang ia beli kedai depan.

Matanya langsung tertuju pada sosok Farah yang tertidur di sofa.

Ekspresinya tenang, tapi Azzam tahu pasti-istrinya itu belum makan.

Ia mengulas senyum samar. Pelan berjalan ke pantry, menyiapkan makanan di piring, lalu membawanya ke meja depan sofa.

Dengan hati-hati Azzam membangunkan gadis itu. Ia membungkuk sedikit, menyentuh pundak istrinya.

"Fa... makan dulu." Sembari mengusap pelan surau milik istrinya.

Farah mengerjapkan mata, kesadarannya perlahan kembali. Tatapannya bertemu dengan Azzam, sebelum beralih ke makanan yang ada di meja.

"Makan dulu," ucap Azzam.

Farah tetap diam. Sorot matanya masih menyiratkan kekesalan.

Azzam tersenyum kecil, seolah menantangnya. "Makan. Kamu butuh tenaga buat ngelawan saya, kan?"

Farah mendengus, memutar bola matanya malas, rasa laparnya sudah hilang.

"Kalau dipaksa, makin nggak mood makannya," gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar Azzam.

Pria itu hanya menggelengkan kepala, lalu berbalik. "Saya ke kamar dulu, mau sholat."

Farah menatap punggung Pria hingga menghilang di balik pintu kamar.

“Sebenar apa sih maunya, kadang baik kadan eror,” gumam Farah sembari mengacak-acak rambutnya.

Dan hal itu cukup membuat Farah muak. Farah memilih kembali merebahkan tubuhnya ketimbang harus memakan makanan yang di bawah suaminya, rasa laparnya sudah benar-benar hilang.

Setengah jam berlalu.

Azzam keluar dari kamar, kini mengenakan coat coklat. Ekspresinya sulit diterjemahkan.

Ia melewati Farah tanpa sepatah kata, lalu keluar dari apartemen dengan langkah tergesa.

Farah mengernyit.

Ada apa dengan pria itu? Batinya penasaran.

Tanpa pikir panjang ia bangkit dari sofa, kakinya bergerak sendiri, mengikuti Azzam keluar.

Di bawah sana masih ramai. Sepasang turis berfoto di bawah lampu jalan, suara biola dari pengamen jalanan mengalun sayup-sayup, kanal memantulkan cahaya dari jendela bangunan tua di sekelilingnya.

Langkah Farah terhenti di tikungan berikutnya.

Jantungnya berdegup kencang saat melihat pemandangan di depannya.

Azzam pria itu berdiri di bawah lampu jalan yang temaram.Dan di depannya, seorang wanita.

Wanita itu mengenakan coat hitam, rambut panjangnya tergerai bebas, dan koper besar berdiri di sampingnya.

Lalu... Wanita itu memeluk suaminya.

Farah membeku.

Matanya terpaku pada pemandangan itu, tapi dadanya terasa sesak.Tangannya mengepal, buku-bukunya memutih. Dengan rasa penasaran Farah mencoba mendekat. Hanya beberapa langkah saja ia kembali membeku.

Ia tahu siapa wanita yang bersama suaminya saat ini.

“Maaf, saya nggak bisa jemput kamu,” ucap Azzam sembari memeluk erat Wanita itu.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Like, komen dan subscribe.

follow juga Authornya.

Kamshammida.

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!