carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Setelah papanya pulang nanti, Carol berencana untuk berdiskusi dengan papanya tentang pemasaran kuenya.
Carol percaya bahwa papanya pasti bisa membantu dalam hal itu, karena papanya sudah lama berkecimpung di dunia bisnis.
Papanya bukan hanya seorang owner, tapi juga pebisnis yang handal dalam memasarkan produk.
Para investor pun tidak pernah ragu untuk bekerja sama dengannya. Namun, papanya selalu menolak kerja sama yang menurutnya tidak jelas, karena ia hanya memilih kerja sama yang terbaik dan menguntungkan.
Papanya juga jarang membantu orang lain, apalagi dalam hal-hal yang dianggap sepele.
Ia selalu melihat segala sesuatu dari sisi keuntungan dan potensi risikonya.
Pola pikirnya memang realistis, karena ia tahu bagaimana menilai situasi yang menguntungkan atau merugikan.
Maka dari itu, Carol merasa butuh nasihat dari papanya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang bisa merugikan dirinya, seperti kerugian usaha atau bahkan kebangkrutan.
Namun, di sisi lain, Carol merasa bingung harus berbuat apa.
Di sekolah, ia juga memiliki banyak tugas, tapi tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya karena Carol tidak memiliki teman, bahkan sahabat.
Carol beranggapan bahwa memiliki teman di sekolah tidak memberikan keuntungan apa pun.
Menurutnya, mereka hanya menyukainya karena papanya.
Mungkin satu-satunya cara adalah dengan menanyakan langsung kepada guru di sekolah.
Akhirnya, Carol mencoba mengirim pesan kepada gurunya dengan sopan, berusaha tidak mengganggu waktu istirahat sang guru.
Namun, setelah menunggu berjam-jam — bahkan sampai dua hingga tiga jam — tidak ada satu pun guru yang membalas pesannya.
Padahal Carol sudah berusaha menghubungi di jam istirahat.
Hanya satu orang yang akhirnya membalas, yaitu kepala sekolah.
Carol pun menceritakan kepada kepala sekolah bahwa tidak ada guru yang mau membalas pesannya, sehingga ia tidak tahu apa-apa tentang tugas sekolah.
Carol juga mengaku merasa terancam karena guru-guru seolah tidak peduli padanya.
Satu-satunya orang yang tampak peduli hanyalah kepala sekolah.
Kepala sekolah kemudian memanggil beberapa guru untuk berbicara, salah satunya Bu Ana.
“Bu Ana, saya panggil sebentar ya. Tolong ke ruangan saya,” ujar kepala sekolah.
Ketika Bu Ana datang, kepala sekolah langsung menyampaikan persoalannya.
“Bu, anak didik kita ada yang tidak masuk sekolah selama satu minggu. Carol namanya. Dia murid yang dulu mengalami pelecehan dari Pak Beno. Bapak Beno sudah saya keluarkan, sesuai permintaan yayasan, karena perbuatannya tidak dapat dimaafkan. Ternyata, bukan hanya Carol yang jadi korban, tapi ada banyak siswi yang juga diperlakukan tidak adil oleh Pak Beno — bukan hanya soal pelecehan, tapi juga kecurangan nilai.”
Bu Ana hanya diam. Ia memang tidak terlalu menyukai Carol.
Tidak ada alasan jelas mengapa Bu Ana bersikap begitu, tapi kepala sekolah tetap berusaha bicara dengannya karena Bu Ana adalah wali kelas Carol.
Namun, alih-alih menjelaskan, Bu Ana malah menyalahkan Carol.
“Menurut saya, mungkin Carol sendiri yang genit, Bu. Pak Beno tidak akan berbuat begitu kalau Carol tidak memulainya lebih dulu,” kata Bu Ana dingin.
Kepala sekolah terkejut. “Bu Ana, kok bisa Ibu berbicara begitu? Ibu kan wali kelasnya. Masa Ibu tidak bisa menilai mana anak yang baik dan mana yang tidak?”
“Saya sendiri tidak dekat dengan dia, Bu. Bagaimana saya bisa tahu dia seperti apa? Saya sudah mencoba berbicara dengannya, tapi dia tidak pernah merespons dengan baik. Dia juga tidak pernah mengadu kepada saya soal kejadian itu. Jadi bagaimana saya bisa membelanya?” jawab Bu Ana.
Kepala sekolah mulai merasa ada yang janggal. Ia menduga Bu Ana mungkin memiliki perasaan kepada Pak Beno, sehingga lebih memilih membela Pak Beno daripada Carol.
“Baik, Bu Ana. Kalau begitu, tolong panggilkan Bu Fitri, ya. Saya ingin berbicara dengan beliau,” kata kepala sekolah.
Bu Ana pergi dengan langkah berat dan wajah kesal.
Padahal Carol tidak pernah melakukan hal yang menyinggung perasaannya.
Dari situ, kepala sekolah mulai memahami bagaimana sikap guru-guru terhadap Carol.
Akhirnya, kepala sekolah berpikir bahwa berdiskusi dengan Bu Ana adalah kesalahan.
Mungkin lebih baik berbicara dengan Bu Fitri.
Bu Fitri adalah guru matematika, dan Carol dikenal cukup pintar di pelajaran itu.
Tok... tok... tok...
Bu Fitri masuk ke ruang kepala sekolah, membuka pintu kecil sambil melongok ke dalam.
Kepala sekolah menyambut dengan senyuman agar suasana tidak tegang.
“Ada apa, Bu? Kok Ibu panggil saya?” tanya Bu Fitri dengan sopan.
“Duduk saja, Bu. Saya cuma pengin ngeteh bareng Ibu,” jawab kepala sekolah sambil tersenyum.
Bu Fitri agak bingung, tapi tersipu malu. Biasanya, kepala sekolah memanggil guru hanya jika ada masalah serius.
Namun kali ini, ajakan itu terdengar santai — meski terasa aneh.
“Boleh saya minum tehnya, Bu Kepala Sekolah?” tanya Bu Fitri ragu.
“Tentu saja boleh, Bu. Emangnya ada yang melarang Ibu minum teh di sini?” jawab kepala sekolah sambil tersenyum.
Suasana jadi sedikit canggung, tapi Bu Fitri tetap menjaga sikap.
Setelah suasana mencair, kepala sekolah mulai bicara,
“Jadi begini, Bu Fitri. Mohon maaf sebelumnya kalau saya ada salah kata. Ibu kenal dengan murid kita, Carol, kan?”
“Kenal, Bu. Carol itu yang kemarin jadi korban Pak Beno, kan? Saya juga prihatin dengan perbuatan Pak Beno. Padahal Carol itu anak yang berprestasi. Dia suka ikut lomba menggambar, pandai memasak, dan melukis juga. Menurut saya, Carol anak yang serba bisa.”
Kepala sekolah mengangguk. Ia tahu, hanya Bu Fitri yang membalas pesan Carol, sementara guru-guru lain memilih diam.
Bu Fitri memang dikenal sebagai guru yang netral dan penuh empati.
Ia tidak pernah menyakiti hati murid mana pun.
Ia sering membantu murid yang nilainya rendah dengan memberi tugas tambahan atau menjelaskan kesalahannya dengan sabar.
Tidak seperti Bu Ana yang selalu menyalahkan murid tanpa memberi solusi, hingga banyak siswa merasa tertekan dan stres di kelasnya.
Kepala sekolah pun merasa respek kepada Bu Fitri.
Ia berpikir, sepertinya Bu Fitri lebih pantas menjadi wali kelas Carol.
Kepala sekolah juga baru menyadari bahwa Bu Ana ternyata adalah guru yang paling dibenci di sekolah itu.
Jika bukan karena kasus Carol dan Pak Beno, mungkin kepala sekolah tidak akan pernah tahu seberapa buruk perilaku mereka berdua.
Setidaknya sekarang Pak Beno sudah dikeluarkan dari sekolah, sehingga para siswa tidak perlu lagi takut dengan perbuatannya.
Seseorang seperti Pak Beno tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan, karena sikap dan tindakannya sangat buruk.
Orang yang mau menerimanya bekerja pun kemungkinan besar adalah orang dengan sifat yang sama — orang yang juga suka melakukan hal-hal jahat dan tidak baik.
Setelah itu, kepala sekolah kembali berbicara kepada Bu Fitri mengenai bagaimana keadaan Carol di kelas.