Radella Hafsah dan Delan Pratama memutuskan mengakhiri pernikahan mereka tepat pada satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan dari perjodohan kedua orangtua mereka yang tidak bisa ditolak, tapi saat dijalani tidak ada kecocokan sama sekali pada mereka berdua. Alasan yang lain adalah, karena mereka juga memiliki kekasih hati masing-masing.
Namun, saat berpisah keduanya seakan saling mencari kembali seakan mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah terus berjalan berbeda arah atau malah saling berjalan mendekat dan akhirnya kembali bersama lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AiMila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggantungkan Status
Dua hari setelah kedatangan Delan ke rumahnya untuk menyuruhnya menyiapkan berkas. Selama itu pula, tidak ada kabar lagi atau komunikasi di antara keduanya seperti sebelumnya yang memang tidak pernah berkirim pesan. Radella tidak ingin tahu juga, yang terpenting dia sudah menyiapkan semuanya.
Kalaupun nanti Delan datang untuk mengambil, setidaknya dia sudah menyiapkan. Meksi dia berharap, Delan tidak buru-buru atau bahkan lupa sejenak. Karena, dia belum siap kalau harus berpisah secara penuh dari Delan. Walaupun, dia tahu di ujung ceritanya nanti, mereka tetap akan berpisah.
"Selamat pagi, kak Della!" sapa Rasyafa sambil cekikikan.
Radella yang baru saja bergabung mendengus kesal mendengarnya, dia menahan diri agar tidak berucap seperti itu setelah diledekin Rasyafa. Namun, besoknya Rasyafa malah yang meledek dirinya, terus berucap demikian saat dirinya turun dan bergabung ikut sarapan bersama. Seperti barusan yang terjadi, dan yang bisa dilakukan Radella hanya berdecak kesal karena lelah meladeni Rasyafa.
"Kamu ini, suka banget menggoda kakakmu," sahut bunda Suci menggelengkan kepala melihat tingkah anak bungsunya.
"Tahu gak, Bun, kalau itu tuh ucapan manis kak Della sama bang Delan saat masih satu rumah," ungkap Rasyafa tidak bisa menahan diri lagi.
Radella menoleh, memberikan tatapan tajam dengan perasaan malu saat ayah dan bundanya menatap dirinya dengan kilat menggoda. Keluarganya sangat menikmati bagaimana dirinya salah tingkah dan merasa malu bercampur kesal dalam satu waktu. Mereka gencar meledek dirinya setelah beberapa hari dia terlihat murung.
Dia juga heran dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menyembunyikan perasaan dan suasana hatinya. Selama dua hari itu juga dia tidak keluar rumah meski tubuhnya sudah lebih baik. Ajakan Reno juga dia tolak secara halus yang membuat pria itu khawatir karena tahu Radella sebelumnya tengah sakit.
Keinginan Reno untuk menjenguk juga harus pupus karena Radella dengan kuat menolaknya. Dia sempat khawatir Reno nekat datang, tapi untungnya pria itu tidak tahu pasti rumahnya. Sebelum menikah, dia kalau dijemput Reno juga sedikit jauh dari rumahnya karena takut ketahuan kedua orangtuanya.
Setelah menikah, dia malah meminta bertemu langsung di tempat karena posisinya juga berada di rumah Delan. Radella menebak, Reno juga sudah lupa arahnya karena sudah satu tahun tidak lagi menjemput dirinya. Awalnya Reno merasa aneh, tapi Radella dengan kalimat manisnya mampu membuat Reno percaya dengan alasan perempuan itu.
"Kata Divina juga bang Delan di sana sempat ngucapin gitu saat hari pertama berpisah dengan kak Della," ungkap Rasyafa semangat menggebu. Gadis muda itu memang gemar menggoda kakaknya, terlebih lagi di hadapan kedua orangtuanya, karena dengan begitu Radella tidak bisa leluasa membalasnya.
"Delan seperti itu?" sahut bunda Suci. Wanita itu tertawa kecil, tidak bisa membayangkan orang seperti Delan juga bisa bersikap demikian. Apalagi, umur Delan juga bisa dikatakan umur pria matang.
"Iya, Bun. Kak Della sama bang Delan alay ternyata!" Tawa Rasyafa pecah, ditambah saat menoleh ke arah Radella, perempuan itu mendelik dengan wajah yang sudah memerah seperti tomat kematangan.
Tangan Radella melayang dengan penuh kasih sayang di lengan Rasyafa, hingga perempuan muda itu reflek mengerang kesakitan. "Kak, sakit," rengeknya lebih kepada merasa terkejut karena serangan tiba-tiba Radella.
"Suruh siapa mengarang seperti itu!" balas Radella kembali melayangkan tangannya karena perasaan kesalnya belum juga hilang.
"Kak, kenapa mukul lagi, sih? Sakit tahu!" jerit Rasyafa mengusap lengannya yang sudah memerah dan terasa panas. Pukulan Radella tidak main-main, tapi dia tidak merasa menyesal apalagi kapok.
"Makanya diam, gak usah bahas Delan lagi!" tegas Radella. Kalau bahas terus bisa makin parah perasannya yang sudah terombang-ambing, imbuhnya dalam hati.
Orangtua mereka melerai, menyuruh segera menyantap makanan mereka agar tidak keburu dingin. Mereka sarapan santai seperti biasa, sesekali kedua orangtua mereka melontarkan pertanyaan sederhana bagaimana aktivitas mereka, terutama Rasyafa yang masih menyelesaikan tugas akhirnya di bangku kuliah.
"Radella, apa Kamu hari ini mau belajar lagi ke butik tantemu?" Bunda Suci berganti melempar pertanyaan kepada anak sulungnya.
Radella tidak langsung menjawab, menelan makanan yang berada di mulutnya terlebih dahulu sambil berpikir sejenak. "Tidak dulu, Bun. Badan Radella baru enakan," balas Radella sambil menggeleng pelan.
"Yasudah kalau gitu, Kamu istirahat saja di rumah." Radella mengangguk, tanpa disuruh pun Radella memang akan kembali bermalas-malasan sekalian menghilangkan sedikit demi sedikit pikiran yang terlalu menumpuk dan menjadi beban untuknya.
"Oh ya, Delan kenapa gak datang lagi? Apa dia sudah tahu kalau Kamu sudah sembuh?"
***
Sementara di tempat lain , Delan tengah melamun di balkon kamarnya yang sudah beberapa hari tidak dia kunjungi setelah kepergian Radella dari rumah. Pulang dari rumah Radella untuk menjenguk sekaligus meminta Radella menyiapkan berkas, Delan memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri. Namun, baru satu jam, kenangan akan keberadaan Radella terus berlarian di kepalanya.
Rumah itu tanpa Radella seakan kosong, karena perempuan itulah yang selalu membuat heboh dan menghidupkan suasana meski di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua. Delan sekarang seperti dihantui oleh bayangan Radella. Setiap sudut selalu ada Radella dengan kebiasaan dan aktivitasnya.
Terlebih di balkon ini, tempat yang pernah mereka klaim menjadi tempat favorit mereka. Menikmati udara dan pemandangan luar bersama sambil bercengkrama hal-hal random yang membuat mereka berdebat kecil. Perdebatan yang menghidupkan suasana dan tanpa sadar membuat keduanya semakin dekat.
"Radella," desis Delan.
Ingatan itu terus mengikutinya setiap langkah di rumah tersebut. Seperti sekarang saat dirinya berdiri di balkon pagi ini. Dia teringat bagaimana Radella sudah bangun pagi dan bersiap menyambut matahari terbit dari sana meski tidak terlihat begitu jelas. Namun, perempuan itu selalu menikmatinya dengan senyuman manis di bibir ranumnya.
"Aku kangen momen itu," bisik Delan tidak bisa lagi membohongi dan mengusir perasaan tersebut.
"Apa kita benaran akan berpisah? Apa aku sudah yakin?" tanyanya sendiri.
Bahkan sengaja dia tidak datang ke rumah Radella untuk mengambil berkas milik perempuan itu lalu mendaftar ke pengadilan. Dirinya merasa berat dengan bayangan tersebut. Kembali menunda padahal dua hari yang lalu, dia yang ngotot ingin segera mengumpulkan berkas mereka.
"Apa aku egois dengan diam saja seperti ini?" Kembali dia bergumam, matanya menatap matahari yang sudah terbit dari setengah jam yang lalu.
"Aku memang egois, tidak seharusnya aku menahan Radella dan menggantungkan status kita. Padahal jelas, Radella akan melanjutkan hidup bersama Reno."
Perasaan tidak nyaman datang lagi saat otaknya memutar kejadian di mana matanya melihat Radella bersama Reno. "Tuhan, kenapa saat sudah sampai penghujung gini malah kacau semuanya," keluh Delan.
"Kenapa seberat ini rasanya berpisah dari Radella. Kenapa keyakinan sebelumya menghilang begitu saja."
Delan bahkan belum menyiapkan berkasnya sendiri, sedangkan milik Radella sudah siap setelah kepergiannya dari rumah dua hari yang lalu. Keluar dari rumah Radella, pria itu langsung ke kantor dan pulangnya memilih ke rumah sendiri. Baru membuka pintu, kenangan demi kenangan bersama Radella terlihat di setiap sudut rumah.
Kenangan yang tercipta selama satu tahun bersama, kenangan yang hadir karena terbiasa bersama. Kenangan sehari-hari yang ternyata lebih bekesan meski itu hal-hal sederhana. Membuatnya lupa akan rencananya untuk menyiapkan berkas malahan terasa berat.
"Maafkan aku, Radella. Aku sangat egois, aku malah sengaja menahanmu dan menggantungkan status kita."