Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12.
Mbah Jati mengangkat pandangannya, lalu meraih kendi kecil di sampingnya. Ia menuang air ke dalam cawan tanah liat dan menyodorkannya pada Kodasih.
“Minum dulu. Badanmu membawa hawa kematian dari jalan tadi.”
Kodasih meneguknya. Rasanya seperti tanah basah dan akar tua. Pahit, namun tubuhnya perlahan menghangat dan segar.
Mbah Jati menatapnya lama, dalam, seakan menimbang beban yang tak bisa dilihat mata.
“Kamu datang bukan hanya untuk jawaban, Kodasih. Kamu datang membawa sesuatu... yang seharusnya dikembalikan.”
Kodasih menunduk. Suaranya pelan dan gemetar.
“Anak itu... anak yang tak sempat lahir... masih bersamaku.”
Udara di dalam rumah mendadak dingin.
Dari arah serambi rumah, botol-botol kaca bergetar halus. Salah satunya retak, suara nyaring seperti jerit kecil melengking dari dalamnya.
“Bukan cuma dia,” lanjut Mbah Jati, suaranya semakin berat. “Arwah Tuan Menir pun belum tenang, karena kamu membawa sebagian dirinya... yang kamu ambil tanpa sadar.”
Kodasih terdiam. Rahangnya mengencang.
“Kamu tidak ingin melepaskannya,” ujar Mbah Jati pelan, “karena kamu belum siap kehilangan semua kemewahan yang dia tinggalkan.”
Lalu Mbah Jati mengusap wajahnya sendiri. “Dia masih bisa menjadi penjagamu. Tapi sudah tidak ada lagi cinta asmara membara ... tidak ada lagi birahi. Paham maksudku?”
Kodasih menunduk. Air matanya jatuh diam diam, tak sanggup membantah.
“Dia tidak mengizinkanku bahagia lagi... karena aku belum selesai menebusnya,” bisiknya.
“Dan aku akan kesepian..” gumam Kodasih di dalam hati.
Mbah Jati menarik napas panjang, lalu berdiri perlahan. Langkahnya berderak seperti kayu tua.
“Kalau kamu ingin lepas dari belenggu arwah Tuan Menir,” katanya, “kamu harus menyerahkan semua harta yang pernah dia beri. Termasuk loji yang kamu tempati. Semua harus kembali ke tanah.”
Kodasih mengangguk perlahan. Tapi matanya masih menyimpan tanya.
“Dan kalau kamu tetap ingin membuka hati untuk cinta yang baru...” lanjut Mbah Jati, kini menatapnya tajam, “kamu harus menjalani ritual. Tapi ingat, untuk itu dibutuhkan tumbal.”
“Tumbal apa, Mbah?” tanya Kodasih, suara gemetar.
Mbah Jati memejamkan mata. Udara di sekelilingnya seolah ikut menahan napas.
“Darah. Tapi bukan darahmu,” ujarnya pelan. “Kamu harus menyerahkan sesuatu yang kamu cintai. Atau seseorang... yang mencintaimu tanpa pamrih.. ”
Kodasih terdiam. Wajah polos Arjo yang baru saja dijumpainya tadi, tiba-tiba melintas di pikirannya. Kodasih pun langsung teringat akan Kakak sepupu Arjo yang begitu mencintainya..
”Kang Pono.” Gumam Kodasih di dalam hati.
Mbah Jati melihat perubahan di wajahnya dan laki laki tua itu menatap tajam ke wajah Kodasih.
“Mbah, apa Mbah Jati bisa melakukan ritual itu?” tanya Kodasih lirih sambil menatap Mbah Jati.
Mbah Jati tidak menjawab. Ia hanya menatap api dalam tungku kecil yang kini mulai menyala sendiri.
Mbah Jati menghela napas panjang. Api di tungku mendadak meredup, seolah ikut menarik diri dari percakapan mereka.
"Aku bisa membimbingmu," katanya pelan, "tapi tidak sampai akhir jalan ini."
Kodasih menatapnya, bingung. "Maksud Mbah?"
"Aku tidak sanggup melakukan ritual pelepasan yang kamu butuhkan," ucapnya, kini mantap. "Karena jalan itu butuh tangan yang bersedia menyentuh kegelapan... dan aku sudah meninggalkannya."
Kodasih terdiam, tapi sorot matanya jelas penuh kecemasan. "Lalu siapa, Mbah?"
Mbah Jati bangkit dengan susah payah. Ia berjalan ke rak tua dan menggeser selembar anyaman bambu di dinding. Di baliknya, ada kotak kayu hitam berukir yang sudah berdebu. Ia buka perlahan, dan dari dalamnya mengeluarkan sehelai kertas lontar tua, penuh simbol dan tulisan Jawa kuno.
"Namanya Mbah Ranti. Dia tinggal di pinggiran hutan Karang Pulosari, dekat makam tua yang tak banyak orang tahu. Ia dukun yang tak mengenal batas. Apa pun bisa dia buka, apa pun bisa dia tutup… termasuk pintu antara dunia dan kematian."
Kodasih mengernyit. "Kenapa bukan Mbah Jati saja yang bantu? Bukankah Mbah tahu lebih banyak dari siapa pun?"
"Karena Mbah Ranti tak butuh ilmu. Dia... menjadi ilmunya," jawab Mbah Jati lirih. "Dan karena untuk melepaskan Tuan Menir dari tubuh dan hidupmu, kamu harus bicara dengan sesuatu yang lebih purba dari cinta."
"Dia bisa menolongku?"
"Dia bisa. Tapi bayarannya bukan cuma harta, atau darah..." Mbah Jati menatap lekat-lekat wajah Kodasih, "kadang, dia menuntut bagian dari ingatanmu."
"Ingatan?"
"Ya. Rasa. Kenangan. Sesuatu yang kamu anggap milikmu sepenuhnya. Karena dia percaya: untuk benar benar bebas dari masa lalu, kamu harus melupakannya sepenuhnya. Termasuk cinta itu sendiri."
Kodasih menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Kalau aku setuju... ke mana aku harus pergi?"
Mbah Jati menggulung lontar itu dan membungkusnya dengan kain hitam.
"Berangkatlah malam Jumat Kliwon. Jangan naik kendaraan. Jalan kaki melewati jalur lama di belakang Pasar Legi, hingga menemukan batu besar dengan tiga garis merah. Di sanalah jalan ke Karang Pulosari terbuka. Tapi jangan bicara pada siapa pun di perjalanan. Bahkan kalau kau dengar ada yang memanggil namamu."
Ia menyodorkan lontar itu ke Kodasih.
"Berikan ini pada Mbah Ranti. Dia akan tahu kau datang atas namaku."
Kodasih mengambilnya dengan tangan gemetar.
"Mbah... apakah dia manusia?"
Mbah Jati tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar desir angin terdengar berbeda suaranya, lalu bergumam:
"Dia pernah jadi manusia. Tapi sekarang... mungkin dia sesuatu yang lebih dari itu."
Jantung Kodasih berdetak lebih kencang. Keringat dingin mulai bercucuran. Kebaya hitamnya mulai basah di bagian punggung dan bawah lengan.
“Terima kasih, Mbah... nanti saya pikir-pikir dulu,” ucapnya lirih sambil menunduk.
Mbah Jati mengangguk pelan, namun tatapannya belum lepas dari wajah Kodasih.
“Benar, Kodasih. Pikirkan baik-baik niatmu. Jalan ini bukan jalan biasa. Tapi...” Mbah Jati terdiam sesaat, lalu kembali menatapnya tajam, “…aku masih punya satu lagi saran. Jalan lain yang bisa kamu tempuh.”
Kodasih menatapnya, cemas namun penasaran. “Apa itu, Mbah?”
Mbah Jati memejamkan mata, lalu berbisik pelan seperti menyebut nama yang tak boleh terdengar angin.
“Ritual Kesunyian.”
Kodasih mengernyit. “Ritual apa itu?”
Mbah Jati membuka mata, menatapnya lekat.
“Itu bukan ritual yang biasa diminta orang orang. Tidak butuh tumbal, tidak butuh darah, tidak butuh mantra-mantra yang membakar langit. Tapi... itu butuh pengorbanan yang tidak terlihat.”
“Pengorbanan apa, Mbah?”
“Dirimu sendiri.”
Sunyi menggantung di antara mereka. Bahkan suara botol kaca di serambi tadi sudah tak terdengar lagi, seperti semua sedang mendengarkan.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk