Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Hasrat yang Mengubah Segalanya
Bunyi gemericik air dari wastafel memecah keheningan malam. Piring dan sendok beradu satu sama lain saat Elena mencucinya satu per satu. Sementara aroma sabun cuci memenuhi udara dapur. Dan dari balik jendela besar apartemennya, bulan sabit tergantung redup di langit, memantulkan sinarnya ke area sofa tamu. Suara kendaraan dari jalan raya di bawah sana terdengar samar, membuat malam terasa lebih hidup.
Setelah selesai, Elena mengusap tangannya dengan serbet, menatap dapur kecil itu sejenak, lalu berjalan menuju kamar dengan langkah ringan. Sementara sandal rumahnya beradu dengan lantai apartemen yang mengilap.
Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada tempat tidurnya yang rapi. Ia mengambil ponselnya di atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang. Memeriksa apakah ada pesan masuk atau tidak.
Ia menarik napas panjang saat mengetahui bahwa ponselnya sepi, tidak ada notifikasi apapun. Bodohnya, ia sempat berharap bahwa Damian akan menanyakan keadaannya. Tentu saja itu tidak mungkin, karena jelas-jelas pria itu sudah menegaskan batas di antara mereka.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah menuju lemari dan mengambil handuk putih lembut, lalu membuka pintu kamar mandi. Begitu masuk, aroma lembut sabun memenuhi penciumannya. Dan cahaya temaram dari lampu di langit-langit, berhasil menciptakan suasana yang menenangkan.
Ia menyalakan keran air, membiarkan air hangat mengisi bathtub sambil mencuci rambutnya di bawah pancuran.
Setelah rambutnya bersih, Elena masuk ke dalam bathtub dan membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam air hangat. Ia memejamkan mata, bersenandung pelan tanpa sadar. Melodi lembut yang terdengar seperti hiburan untuk menenangkan hatinya sendiri.
Di balik ketenangan itu, pikirannya justru semakin tajam. Tentang Damian yang harus ia dekati, tentang Sean yang menghancurkan masa lalunya, dan tentang rencana yang perlahan ia susun untuk membalaskan semuanya.
Beberapa menit di dalam bathtub terasa cukup untuk menenangkan pikirannya. Air yang mulai mendingin membuat Elena perlahan berdiri, lalu berjalan menuju pancuran. Ia menyalakan air hangat, membiarkan alirannya mengguyur tubuhnya hingga sabun terakhir tersapu bersih dari kulit.
Setelah ritual mandinya selesai, ia meraih handuk putih dari gantungan dan melilitkannya ke tubuh rampingnya. Butiran air masih mengalir di sepanjang bahunya. Dan karena handuk yang dipakainya berukuran minimalis, otomatis membuat tubuh bagian atas dan pahanya terekspos sempurna.
Ia lalu mengambil handuk lain, mengeringkan rambutnya dan melilitkannya di kepala dengan rapi.
Elena melangkah keluar, dan tidak lupa menutup pintu di belakangnya. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut kulitnya, membuatnya menarik napas kecil sebelum berjalan menuju lemari untuk berpakaian.
Baru saja tangannya terulur memilih piyama tidur, suara dering ponsel memecah kesadarannya. Elena menoleh ke arah tempat tidur. Namun sedetik kemudian, sudut bibirnya terangkan tipis saat membaca nama yang terpampang di sana. Ia pun mengambil ponselnya dan menatap layar itu sejenak.
“Damian... akhirnya kau menghubungiku.”
Jemarinya pun bergerak hendak menggeser tombol panggil. Namun tiba-tiba, panggilan itu berakhir begitu saja. Layar ponselnya kembali gelap.
Senyum Elena lenyap dalam sekejap, digantikan oleh tatapan tajam penuh amarah.
“Beraninya dia mempermainkanku,” desisnya.
Dan dengan kesal, ia melempar ponselnya ke atas tempat tidur hingga jatuh di antara lipatan selimut.
Namun belum sempat ia menenangkan diri, suara bel apartemen terdengar nyaring yang membuatnya menoleh cepat ke arah luar kamar. Wajahnya masih kesal, tatapannya pun kurang bersahabat akibat ulah kurang ajar Damian barusan.
“Ck! Siapa yang bertamu malam-malam begini,” ucapnya ketus, tapi tetap berjalan keluar kamar, dan tanpa peduli bagaimana penampilannya sekarang.
Ia berjalan menuju video door-phone, jemarinya menekan tombol kecil di samping layar. Seketika, gambar dari kamera luar muncul, dan wajah yang terpampang di sana membuat napasnya tercekat.
Damian.
Mata Elena membelalak, pupilnya membesar seiring detak jantung yang tiba-tiba berdentum keras di dada. Apa yang pria itu lakukan di apartemennya?
Tubuhnya refleks mundur satu langkah, pikirannya dipenuhi kemungkinan. Apakah sesuatu terjadi di kantor? Atau, apakah pria itu datang mencarinya karena alasan pribadi?
Ia menunduk, dan baru menyadari handuk yang melilit tubuhnya begitu minim. Pakaiannya belum sempat ia kenakan, rambutnya masih basah, dan aroma sabun menguar samar dari tubuhnya.
Elena hendak berbalik menuju kamar untuk memakai pakaian. Namun langkahnya terhenti di tengah jalan. Sebuah ide muncul, ide gila yang berkilat di balik pikirannya yang berbahaya.
Senyum miring mengembang di bibirnya, “Malam-malam begini, datang tanpa kabar,” gumamnya lirih, lalu menyentuh bibirnya dengan ujung ibu jarinya, “Kau memang terlalu mudah dipancing, Damian.”
Ia berbalik lagi menghadap layar, memperhatikan wajah Damian yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya kini berubah, tidak lagi terkejut, tapi penuh perhitungan.
Malam ini ia akan mengujinya. Ingin tahu, sejauh mana pria itu bisa menahan diri di hadapan wanita yang sengaja membuatnya kehilangan kendali.
Pintu apartemen pun terbuka, menampilkan sosok Elena dengan hanya handuk putih yang melilit tubuhnya. Ia tampak kaget, atau setidaknya berpura-pura begitu.
“Om Damian?” ucapnya dengan nada terkejut yang terdengar lembut di antara sepinya koridor unit apartemennya.
Damian berdiri terpaku di depan pintu. Tatapannya yang awalnya canggung, perlahan menelusuri sosok di hadapannya dari atas sampai bawah. Ujung handuk itu hanya bertahan di atas dada Elena, sementara bagian bawah menampilkan paha wanita itu yang mengilap di matanya.
Aroma bunga lily dari tubuh Elena samar terbawa keluar, menembus indra penciumannya. Wangi sabun itu menempel di kepala Damian yang membuat pikirannya kabur. Jakunnya naik turun, refleks tubuh yang tidak bisa ia kendalikan.
“Om Damian!” panggil Elena sambil mengibas tangannya di depan wajah pria itu yang berhasil membuat Damian tersadar dari lamunannya.
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menggeleng cepat, “A-aku hanya… hanya ingin memastikan keadaanmu.” Damian tergagap, lalu menunduk untuk menyembunyikan kegelisahan.
Elena memiringkan kepala, berusaha menahan tawanya, “Om Damian, aku di sini, kenapa malah menatap lantai? Apa lantai itu lebih cantik dariku?”
Damian langsung menggeleng, menatapnya sekilas, lalu buru-buru kembali menunduk.
“T-tentu tidak. Kau… sangat cantik.”
Senyum tipis terlukis di bibir Elena. Ia bahkan bisa merasakan kemenangan yang sebentar lagi akan tercapai.
“Terima kasih,” ujarnya lembut.
“Ha?” Damian menatapnya dengan wajah bodoh.
“Om mengatakan aku cantik. Jadi aku berterima kasih,” balasnya ringan, berniat menggoda Damian.
Elena membuka pintu lebih lebar, “Masuklah, Om. Setidaknya duduk sebentar. Aku akan membuatkan minuman.”
Namun Damian menggeleng cepat, mundur setengah langkah, “Tidak perlu. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Jadi, aku akan pergi,” ucapnya lalu berbalik.
“Tunggu, Om.” Elena menahan lengan Damian.
Damian menoleh, dan kali ini matanya tidak bisa berbohong. Tatapannya sempat jatuh ke arah tubuh Elena yang terekspos.
Elena yang menyadari arah pandang itu, tersenyum tipis, penuh siasat.
“Masuklah, Om. Jangan membuatku berdiri terlalu lama,” ucapnya, lalu menarik lengan Damian dengan lembut.
Damian tahu ia seharusnya menolak. Tapi langkahnya justru bergerak mengikuti tarikan itu, masuk melewati pintu apartemen yang kini terasa seperti jebakan yang terlalu nyaman untuk dihindari.
“Duduklah, Om. Aku akan membuatkan sesuatu. Teh atau kopi? Atau mungkin... minuman lain?”
Damian berdeham kecil, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar, “Kau sebaiknya memakai pakaianmu terlebih dahulu.”
Elena menatapnya dengan senyum hangat yang sulit diartikan, antara polos dan menantang, “Nanti saja. Aku akan cepat. Jadi, Om mau apa?”
“Teh,” jawab Damian singkat, pandangannya sengaja dialihkan ke sisi ruangan lain agar pikirannya tetap jernih.
“Tunggu sebentar ya, Om,” ucap Elena sambil melangkah ke dapur.
Langkah kakinya terdengar pelan di lantai, diikuti desiran halus dari handuk yang bergesekan dengan kulitnya.
Dan Damian tidak bisa menahan matanya untuk tidak mengikuti gerakan itu. Dari lekukan bahu hingga cara rambut basah Elena jatuh di punggungnya. Bahkan tubuh wanita itu terlihat berlenggak-lenggok mengikuti gerakan kakinya. Ia menelan ludah, lalu menunduk cepat, mencoba mengusir pikiran yang tidak seharusnya.
Ia menarik napas panjang. Aroma bunga lily dari tubuh Elena masih tercium bahkan dari jarak beberapa meter. Aroma lembut tapi memikat.
Pandangannya beralih ke sekeliling apartemen. Tempat itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang. Hanya saja suasana kali ini terasa lebih intim.
Damian duduk di sofa, tapi tubuhnya terasa kaku. Matanya, entah kenapa, terus mencuri pandang ke arah dapur. Ia terus mengamati Elena yang sibuk dengan kegiatannya.
"Apa yang sebenarnya kulakukan di sini?" batin Damian.
Tidak lama, Elena datang membawa cangkir teh ditangannya. Aroma melati dari uap panas itu langsung memenuhi ruang tamu. Ia meletakkan cangkir itu di hadapan Damian dengan gerakan sensual.
Ia bahkan sengaja menunduk lebih dalam, sehingga belahan dadanya tercetak jelas di balik lipatan handuk. Damian berusaha keras untuk tidak memperhatikan, tapi nyatanya, matanya malah tidak bisa diajak kompromi.
Damian cepat-cepat berdehem dan memalingkan wajah, “T-terima kasih.”
Elena tersenyum tipis saat menangkap kegugupan pria itu. Ia pun memilih duduk di samping pria itu.
“Silakan diminum, Om. Teh paling enak dinikmati saat baru diseduh, karena bisa menghangatkan tubuh,” ucap Elena sambil menunjuk dada Damian dengan dagu.
“M-menghangatkan tubuh?” ulang Damian dengan kikuk.
Elena tertawa kecil, “Apa yang Om pikirkan? Wajah Om kelihatan menggemaskan kalau sedang gugup begitu.”
Damian semakin canggung saat melihat senyuman di wajah Elena. Untuk menutupi rasa itu, ia segera meraih cangkirnya dan menyesapnya tanpa berpikir panjang.
“Ah! Panas!” seru Damian, lalu buru-buru menurunkan cangkir ke atas meja dan menyentuh bibirnya. Hanya dalam hitungan detik, sensasi terbakar langsung terasa di lidahnya.
“Om!” Elena spontan bergerak mendekat, hingga tubuh mereka menempel. Refleks, tangannya ikut terulur menyentuh bibir Damian, “Sakit, ya?”
Kulit jari wanita itu terasa dingin saat menyentuh bibirnya. Ia membeku, tidak mampu berpaling. Bahkan jarak di antara mereka kini hanya sejengkal. Nafas hangat Elena juga terasa mengenai wajahnya.
“Om?” ucap Elena lembut, seakan menghipnotis pria itu.
Tatapan mereka bertemu dan dunia seolah berhenti berputar. Hanya ada dua pasang mata yang saling mencari arti dan dua napas yang saling bertukar di ruang yang semakin menyempit.
“Apa kau akan marah?” tanya Damian tiba-tiba.
Elena mengerjap, tidak mengerti maksudnya, “Hm?”
Namun sebelum ia sempat menanyakan lebih jauh, Damian tiba-tiba menarik tengkuknya. Gerakannya begitu cepat hingga bibir mereka bertemu.
Elena sontak terbelalak, napasnya tertahan saat menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia bahkan bisa merasakan benda kenyal itu sedang melumatnya.
Dan detik berikutnya, ia tersenyum miring di sela lumatan Damian.
“Akhirnya...” batinnya.
Ia telah menunggu momen ini lama, maka dari itu ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Elena pun memejamkan mata, membalas lumatan itu dengan lembut. Tangannya terangkat perlahan, melingkar di leher Damian, membawa keduanya tenggelam dalam keintiman yang melingkupi ruangan itu.