Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Tertabrak
Pov Ranum
Hari masih gelap kala ku langkahkan kaki ini menyusuri ruas jalan beraspal salah satu sudut kota pulau Jawa bagian barat. Entah sudah berapa jauh jarak ini aku tempuh, namun rasa-rasanya tidak ada tempat tujuan untukku berlabuh. Bising suara kuda-kuda besi masih sedikit memekak telinga. Meski malam masih membalut pergantian waktu kali ini, nyatanya tidak membuat para pengendara itu untuk berdiam diri di dalam rumah. Entah apa yang mereka lakukan dan yang mereka cari. Mungkin saja hanya ingin berburu detik-detik suasana malam yang akan merangkak ke pagi.
Mobil-mobil pickup yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran pun juga sudah nampak berseliweran. Pengemudi melajukan mobil yang ia bawa menuju perkebunan yang nantinya akan segera mereka bawa ke kota untuk didistribusikan.
Seusai Bapak mengusirku dari rumah, aku memilih untuk menuju terminal. Di terminal aku menaiki salah satu bus dan pada akhirnya perjalananku terhenti di sini. Di sebuah kota yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sama sekali untuk tinggal di sini.
Langkah kaki ini terasa berat, mungkin sama beratnya dengan beban batin yang saat ini ku rasakan. Jiwaku terlalu rapuh untuk menerima semua kejadian yang menghantamku bertubi-tubi di malam ini. Sungguh aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Apakah aku tetap menjalankan peranku menjadi manusia yang tidak lagi memiliki kehormatan? Atau apakah aku mati saja agar segera terlepas dari belenggu derita ini?
Dengan dada yang terasa sesak aku mencoba untuk pergi dari kota kelahiranku. Meninggalkan cerita buruk yang tak pantas untuk dikenang. Cerita kelam yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi padaku. Mengingat aku adalah anak dari salah seorang pemuka agama namun pada kenyataannya aku tidak bisa menjaga marwah kedua orang tuaku bahkan justru mencoreng nama mereka dengan arang hitam.
Jantungku semakin berdenyut nyeri kala ku ingat wajah ibuku di saat ia berupaya menahanku untuk tidak pergi dari rumah. Kulihat air matanya begitu deras mengalir mengiringi kepergianku. Aku yang selama dua puluh lima tahun berada di dalam dekapannya, kini berakhir dengan cara yang tragis seperti ini.
"Dasar wanita jalang! Mulai sekarang jangan pernah lagi kamu tampakkan wajahmu dan jangan pernah sekalipun kamu kembali lagi ke rumah ini. Tidak sudi aku rumah ini ditinggali oleh wanita kotor sepertimu!"
Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mulut bapak di saat aku bersimpuh di kakinya. Mencoba mengetuk pintu maaf atas semua perbuatanku. Namun seberapa keras upayaku untuk mengetuk sepertinya pintu maaf itu tak akan pernah terbuka untukku.
Rasa sesak juga kian mendera. Layaknya dihimpit oleh dua bongkahan batu besar yang membuat sulit bernapas. Kupikir semakin jauh ku langkahkan kaki ini menjauh dari rumahku, rasa bersalah ini akan menghilang bersamaan dengan jejak langkah tiada berarah ini. Namun pada kenyataannya seonggok daging bernyawa dalam tubuh ini semakin dibalut oleh rasa bersalah dan rasa sesal yang tak tak kunjung menghilang. Justru rasa itu kian pekat membalut hati, raga dan juga jiwa. Entah bagaimana caranya itu semua bisa terhapus dan bertepi.
Bulir-bulir bening penuh luka yang berkumpul di pelupuk mata juga semakin menganak sungai. Siap untuk mengalir deras hanya dengan satu kedipan saja. Kudongakkan kepala, mencoba menahan air mata itu. Namun semakin aku tahan, justru bulir-bulir itu semakin deras mengalir.
Teringat akan sosok pemuda yang tak bertanggungjawab itu yang hanya manis di mulut saja. Tanpa merasa bersalah sedikitpun dia meninggalkanku menanggung dosa ini sendirian setelah dia berhasil merenggut keperawananku. Ahh, lagi-lagi ini semua kesalahanku. Andai saja aku tidak terperdaya oleh rayuan manisnya pasti ini semua tidak akan pernah terjadi.
Langit tiba-tiba saja menghitam. Menampilkan gumpalan-gumpalan awan berwarna pekat, seperti sedang berupaya membentuk tetes-tetes air langit kemudian akan ia turunkan hingga menjadi hujan lebat yang mengguyur permukaan bumi. Angin juga terasa berhembus kencang, membuat hawa dingin tiba-tiba merasuk dan menusuk tulang.
Gelegar suara petir mulai terdengar di dini hari ini disertai dengan kilat yang nampak jelas seperti berlomba-lomba menampakkan keberadaannya. Sedikit demi sedikit air langit mulai menetes, berubah menjadi rintik hujan dan setelahnya rintik hujan itu berubah menjadi hujan lebat yang terasa menusuk ketika mengenai kulit. Air hujan yang begitu lebat ini layaknya air mata luka yang jatuh dari pelupuk mata.
"Tuhan... Aku sudah terlanjur kotor. Apa yang aku jaga selama ini dengan mudah aku berikan kepada lelaki itu. Sepertinya memang benar apa kata bapakku. Aku tidak pantas mendapatkan ampunan mereka bahkan juga tak pantas mendapatkan ampunanMu."
Apa yang bisa aku banggakan saat ini menjadi seorang wanita ketika mahkota paling berharga yang aku miliki telah hilang direnggut oleh lelaki tak tak bertanggungjawab itu? Aku memang bersalah karena telah terbuai akan rayuannya, tapi mengapa sebagai seorang laki-laki dia tidak menepati janjinya untuk menikahiku? Masih adakah setitik asa yang bisa membuatku bertahan? Coba beritahu aku jika itu masih ada?
Tubuhku meluruh di bawah air langit yang turun begitu deras. Kepalaku menunduk, menyaksikan air mata yang terjatuh dari telaga bening milikku yang telah melebur menjadi satu dengan air langit ini. Aku tergugu sembari memukul-mukul dada dan juga kepala, berharap Tuhan akan segera mencabut nyawaku saja. Aku sudah kehilangan semua. Keperawanan, kekasih yang selama enam bulan ini begitu aku cintai, dekapan penuh kasih dan sayang dari keluarga, kehormatan sebagai wanita dan semua yang dapat membuatku mengecap apa itu arti bahagia. Jadi, apalagi yang membuat diriku masih tetap bertahan di kehidupan yang seperti neraka ini? Sungguh lebih baik aku mengakhiri semuanya saat ini.
Aku kembali menegakkan kepala. Kutatap suasana depan wajahku yang semakin ramai dipenuhi oleh kendaraan bermotor yang berlalu lalang dengan tatapan nyalang. Aku mulai bangkit untuk kembali melangkahkan kaki ini meski tanpa ku tahu kemana harus berhenti.
Kuputar tubuhku sembilan puluh derajat, bermaksud untuk menyebrangi ruas jalan yang membentang ini. Sesekali kulihat sorot lampu mobil yang sedikit mengusik penglihatanku, namun aku tidak perduli. Suara klakson pun terdengar bersahutan, memberikan sinyal agar aku berhati-hati dalam berjalan, namun sekali lagi, aku tidak perduli. Bahkan jika sampai aku tertabrak salah satu mobil ini, aku pasti akan sangat bersyukur. Dengan begitu, aku bisa lepas dari penderitaan ini.
Hingga pada akhirnya....
Tiiiiinnn... Tiiiiinnn.....
"Heiiii.... Awaaaaaassssssss!!!!"
Bruk.. Brakk.... Brakkkk!!!
Sebuah pickup pengangkut sayuran menabrakku. Tubuhku rasanya didorong oleh sesuatu yang begitu kuat dan membuatku terhempas di bahu jalan. Aku tersungkur, dalam posisi tengkurap. Kesadaran yang sebelumnya begitu penuh, kurasakan sedikit demi sedikit menghilang. Pandangan mataku gelap dan setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi kepadaku. Mungkin aku sudah mati dan siap masuk ke dalam kobaran api neraka dengan membawa dosa ini.
.
.
.