sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JM 10
“Melati…” suara Ibu Mega memecah kesunyian pagi.
“Bruk… bruk!” pintu kamar Arga digedor sekuat tenaga.
Arga mengerjapkan mata. Kantuk masih berat menempel di kelopak matanya. Ia baru terlelap sekitar pukul empat dini hari setelah melakukan percumbuan lewat panggilan video bersama Mawar.
“Arga, bangunkan Melati! Sudah jam enam pagi. Rumah masih berantakan, sarapan belum siap, piring semalam pun belum dicuci!” oceh Ibu Mega tiada henti, sementara tangannya kembali hendak memukul daun pintu kamar Arga.
Nyaris saja pukulan itu mendarat ke tubuh Arga saat ia buru-buru membuka pintu.
“Melati mana?” tatapan Ibu Mega menajam, menusuk ke arah anaknya.
Arga menguap, menutup mulut dengan punggung tangan. Rasa kantuk masih menyergap tubuhnya.
“Melati dirawat di rumah sakit, Bu,” jawabnya malas. Dalam hati, ia menggerutu. Apakah ibunya sudah lupa? Bukankah semalam jelas-jelas ia mengirim pesan: ‘Jangan menyentuh jasadku kalau kamu mengurus Melati.’ Pesan itu masih terngiang di kepalanya—pesan yang membuatnya dilema hingga akhirnya memilih melarikan diri ke perselingkuhan lewat layar ponsel dengan Mawar.
“Nyusahin saja istri kamu itu. Pasti dia pakai uang kamu, kan?” suara Ibu Mega meninggi.
“Pakai asuransi, Bu. Aku nggak keluar uang,” balas Arga singkat.
Ibu Mega mendengus. “Awas saja kalau kamu habiskan uangmu untuk Melati. Ibu nggak ridho. Ingat, ridho kamu ada pada ibu.” Setelah itu, ia berbalik badan dan melangkah pergi, meninggalkan Arga begitu saja di depan pintu.
Arga menutup mulutnya lagi saat menguap. Ia masuk ke kamar, meraih ponsel di meja. Layar menyala, ada pesan baru dari Perawat Rini. Tanpa pikir panjang, Arga mengambil kantong plastik, lalu memasukkan tiga potong pakaian Melati beserta pakaian dalamnya. Ia juga mengambil ponsel Melati yang sudah sangat jadul—usia pernikahannya dengan Melati bahkan lebih tua dari umur ponsel itu.
Arga berjalan ke kamar mandi. Sesampainya di sana, ia baru sadar lupa membawa handuk. Bibirnya hampir saja berteriak memanggil Melati seperti biasanya, namun ia cepat mengingat: Melati sedang dirawat di rumah sakit. Arga menghela napas panjang, kemudian tetap masuk untuk mandi. Hidup, mau tidak mau, harus terus berjalan meski dipenuhi permasalahan.
Sementara itu, di ruang lain, Ibu Mega melangkah menuju kamar Indra
“Tika, bangun!” teriak Ibu Mega dari ruang tengah.
Kartika sebenarnya sudah bangun sejak subuh, tetapi bukannya mandi atau membereskan rumah, ia malah duduk di tepi ranjang sambil sibuk menggulir layar ponselnya. Media sosial baginya lebih penting daripada sekadar memasak atau mencuci piring. Dalam pikirannya, seorang sarjana sepertinya tidak pantas melakukan pekerjaan rumah. Menurutnya, hal semacam itu hanyalah tugas ART atau orang yang tidak berpendidikan tinggi seperti Melati.
Teriakan Ibu Mega ia abaikan begitu saja.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Indra keluar dengan tubuh masih basah, handuk melilit pinggangnya. Tatapannya langsung jatuh pada Kartika.
“Tika, budek kamu, ya? Dari tadi Ibu manggil!” ucap Indra ketus sambil berjalan menuju lemari pakaian. Tangannya sibuk memilih baju kerja. Dalam hatinya, ada rasa iri. Arga, adiknya, selalu disiapkan segala keperluannya oleh Melati. Sedangkan ia, meski istrinya bergelar sarjana, harus menyiapkan sendiri pakaiannya setiap pagi. Hanya satu hal yang bisa ia banggakan dari Kartika: statusnya sebagai sarjana. Dan hanya satu kekurangan Melati: lulusan SMP.
Kartika manyun, wajahnya cemberut karena disebut budek.
“Tika, Ibu manggil. Cepat keluar!” geram Indra.
“Iya, aku nggak budek,” balasnya ketus. Ia beranjak dari ranjang, melangkah ke pintu, lalu membukanya.
Di luar, Ibu Mega langsung menatap dengan sorot mata penuh emosi. “Kamu budek, ya? Kerongkongan Ibu hampir putus manggil kamu, tapi kamu nggak nyaut-nyaut!”
“Aku tidur, Bu,” jawab Kartika dengan nada malas.
“Melati dirawat di rumah sakit. Kamu masak sana!” perintah Ibu Mega tegas.
“Ih, aku nggak bisa masak, Bu.” Kartika menggeleng cepat, wajahnya penuh penolakan.
“Sudah tiga tahun kamu menikah dengan Indra, tapi sampai sekarang juga nggak bisa masak. Kamu ini ngapain saja sama Indra? Anak nggak ada, masak nggak bisa. Kamu itu nggak berguna!” cercaan Ibu Mega meluncur tanpa jeda.
“Aku nggak mau!” ucap Kartika lantang, nada suaranya penuh penentangan. Ia langsung berbalik badan, masuk ke kamar, lalu membanting pintu keras-keras.
“Bruk!” suara pintu menghantam kusen, membuat jantung Ibu Mega hampir meloncat dari dada.
Kartika memang berbeda dengan Melati. Jika Melati selalu menurut dan pasrah, Kartika sama sekali tidak bisa ditindas. Ia berani melawan, berani menolak.
Seperti biasa, ketika menghadapi perlawanan semacam itu, Ibu Mega memilih diam. Rasa sakit hati menyesak di dadanya, tapi ia menahannya sendiri.
Ibu Mega melangkah ke dapur dengan wajah kesal. Begitu sampai, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya makin jengkel: lantai kotor, bekas jejak kaki tikus terlihat jelas di dekat kompor, dan tumpukan piring serta gelas masih menumpuk di bak cucian. Selama dua tahun terakhir, ia memang tidak pernah menyentuh piring kotor. Semua pekerjaan itu selalu dilakukan oleh Melati.
Dengan hati dongkol, ia menyalakan kompor, menaruh panci berisi air di atasnya, lalu merebus. Tangannya mengambil kopi, gula, dan dua gelas kaca yang tampak buram. Setelah itu ia meraih beberapa lembar roti, meletakkannya di atas wajan datar. Asap mengepul tipis, aroma roti yang mulai gosong tercium ke seluruh ruangan.
Ia membuka lemari kecil, mengambil ceres dan sepotong keju. Roti yang sudah kecokelatan dipindahkan ke piring, lalu ia menaburinya dengan ceres dan mengoles tipis mentega. Dua cangkir kopi hitam yang masih mengepul ia letakkan di nampan bersama roti panggang. Dengan langkah berat, ia membawa semua itu ke meja makan.
Baru membuat kopi dan memanggang roti saja, pinggangnya sudah terasa sakit. Ibu Mega meringis, lalu bergumam lirih penuh kekesalan.
“Ini semua gara-gara Melati. Segala sakit, segala repot, jatuhnya ke aku. Pinggangku jadi sakit begini.”
Tak lama, Arga keluar dari kamarnya. Pakaian kerjanya sudah rapi, meski dasinya tampak agak miring. Biasanya, Melati yang selalu sigap membetulkan letak dasi itu sebelum ia berangkat. Kini tidak ada yang melakukan.
Arga duduk di kursi meja makan, menatap roti panggang yang warnanya hampir hitam di piring.
“Tidak ada nasi, Bu?” tanyanya pelan.
“Ini semua gara-gara Melati. Karena dia sakit, akhirnya nggak ada nasi,” sahut Ibu Mega ketus.
Arga menarik napas dalam. Ia tidak ingin memperpanjang keributan yang menyangkut nama istrinya. Ia meraih roti panggang, menggigitnya. Rasanya agak aneh—gosong, hambar, dan sedikit pahit. Namun ia tetap menelannya. Bagi Arga, surga ada di bawah telapak kaki ibu, jadi ia memilih diam.
Ia makan dengan cepat, bukan karena enak, melainkan karena semakin lama roti itu terasa makin tidak bersahabat di lidah.
“Masakan Ibu lebih enak dari Melati, kan?” ucap Ibu Mega sambil tersenyum bangga, salah menafsirkan.
Arga mengangguk singkat tanpa komentar.
Tak lama, Indra keluar dari kamar bersama Kartika. Keduanya melangkah menuju meja makan, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Arga.
“Sarapan aku mana, Bu?” tanya Indra.
“Suruh istri kamu yang buat,” jawab Ibu Mega ketus tanpa menoleh.
Wajah Indra dan Kartika seketika masam. Arga yang sudah merasa kenyang buru-buru mempercepat makannya, karena ia tahu suasana sebentar lagi akan berubah jadi drama rumah tangga.
Saat Arga berdiri dan hendak meraih tas kerjanya, suara Ibu Mega kembali terdengar.
“Arga, nanti cari si Irma. Semalam dia tidak pulang.”
Langkah Arga terhenti. Ia menoleh, wajahnya penuh heran.
“Apa? Irma nggak pulang, Bu?”
“Iya, makanya kalau Ibu telepon itu angkat! Jangan malah sibuk ngurusin Melati!” suara Ibu Mega meninggi, wajahnya penuh kekesalan.
“Mas Indra nggak cari Irma?” tanya Arga sambil menatap kakaknya.
“Suamiku sibuk, Arga,” sela Kartika cepat, membela Indra.
“Ya sudah, Bu, nanti aku yang cari,” ucap Arga singkat. Ia kemudian meraih tas kerjanya dan melangkah keluar rumah.
Di meja makan, Ibu Mega masih asyik mengunyah roti bakar. Kartika menelan ludah, biasanya ia ikut sarapan, tapi kali ini hanya diam saja.
“Tika, buatkan aku sarapan,” pinta Indra dengan nada kesal, matanya melirik istrinya yang sibuk memainkan sendok di atas meja.
“Ih, males aku! Aku ini istri kamu, bukan pembantu kamu. Suruh Ibu aja yang buat,” jawab Kartika ketus, tanpa rasa bersalah.
“Brak!” Ibu Mega menghantam meja dengan telapak tangan keras-keras. Kopi di gelas sampai berguncang.
“Jadi kamu anggap aku pembantu?!” bentak Ibu Mega, berdiri dengan wajah merah padam. Ia tidak tahan lagi melihat sikap menantunya. Dengan langkah lebar, ia meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan keras.
“Ini semua gara-gara Melati…” gumam Kartika lirih, matanya penuh kebencian.
Indra menatap istrinya dengan wajah lelah. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursinya.
“Sudahlah, aku capek. Aku sarapan di kantor saja.” Suaranya dingin, lalu ia melangkah pergi meninggalkan Kartika sendirian di meja makan.