NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 11 Dunia Yang Telah Tiada

Meski langit telah berwarna keunguan, Lya dan Ben tetap berpegang pada tujuan utama mereka selain pantai: sebuah makam. Dari dalam mobil, mereka hanya menatap gerbang yang berdiri sunyi dan mencekam, tanpa ada keberanian untuk melangkah lebih dekat. Mata Lya yang bengkak menatap jauh ke depan, seolah terikat pada sesuatu yang tak bisa dijangkau. Ben menoleh, dadanya kembali diliputi cemas.

“Mungkin sudah tidak pantas berkunjung di jam segini,” ucapnya lembut, mencoba mengalihkan resah yang tampak di wajah Lya. “Tapi jika kau tetap menginginkannya… aku akan tetap menemanimu.”

Kalimat itu meluncur lirih, bukan sekadar janji sederhana, melainkan penegasan halus bahwa ia takkan meninggalkan Lya—bahkan di hadapan sepi dan bayangan yang paling kelam sekalipun.

Lya menggeleng sebentar. Sejurus kemudian, dua irisnya seakan mencari sesuatu di luar sana.

“Aku tidak pernah sekali pun berani mengunjungi Kak Anna...” lirih Lya. “Bahkan sekarang pun, rasanya aku masih tidak ingin. Aku tidak punya keberanian menemuinya setelah semua hal buruk yang kulakukan.”

Ben terdiam. Alisnya menurun, air mukanya murung. Ia ingin berkata bahwa Lya tak perlu menyalahkan dirinya terus-menerus, namun lidahnya kelu, seolah takut kata-katanya justru kembali menjadi desakan untuk hati hancur Lya yang belum sembuh. Perlahan, ia meraih tangan Lya yang dingin, menggenggamnya erat. Setidaknya itu yang bisa Ben lakukan.

”Aku pengecut, ya?” tanya Lya.

Ben reflek menggeleng, dengan sangat meyakinkan. ”Kau bisa pelan-pelan saja. Tidak usah memaksakan diri.”

“Selama ini... tidak ada satu pun dari keluarga kami yang berkunjung ke makam Anna,” sambung Lya, matanya kini jatuh pada sesuatu di luar mobil—sesuatu yang sejak tadi seolah ia cari. Wajahnya kembali sendu, namun kata-katanya berlanjut, pelan tapi tegas, sambil tangannya meraih gagang pintu mobil.

“Sampai sekarang pun hanya Leo.”

Belum sempat Ben menahan, Lya telah membuka pintu dan bergegas turun. Langkahnya berubah menjadi sedikit cepat dengan bantuan tongkat, menghampiri sosok yang baru saja keluar dari gerbang makam yang gelap—sosok lelaki yang ia sebut namanya barusan.

Ben terperangah, tubuhnya yang reflek ikut keluar mobil tegang seketika. Dari pintu mobil yang belum Ben tutup, ia hanya melihat bayangan Leo yang kontras dengan langit keunguan, membuat dada Ben dihimpit rasa cemas—mengingat pria itu mencoba melakukan hal kurang ajar pada Lya tadi pagi sampai gadis itu menangis gemetaran.

Kini kedua teman kecil itu berdiri berseberangan. Tatapan mereka bertemu, seolah jarak dan waktu yang lama terputus begitu saja. Lya menatapnya dengan sorot mata yang jernih—seakan tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka pagi tadi. Justru ketenangan itu yang membuat Leo sempat bereaksi dalam diam—pupilnya melebar sesaat.

Leo menahan napas, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Ada banyak kata yang hendak diucapkan, namun tak satu pun yang berhasil lolos dari bibirnya. Senyap di antara mereka justru terasa lebih nyaring daripada suara senja yang merayap.

Sedangkan gadis di depannya kini tampak mengambil langkah maju, menipiskan jarak mereka hingga membuat kaki pria itu reflek mundur. Lya tetap tak gentar. Dengan tergopoh ia terus maju sehingga beberapa langkah kemudian, tongkat yang ia pakai tersandung tanah berlubang. Tubuhnya sempat oleng ke depan, membuat tubuh Leo secara otomatis meraihnya. Memaksanya melewati garis batas yang ia buat sendiri.

”Hati-hatilah! Kenapa kau sulit sekali untuk tidak membuat dirimu terluka!” bentak Leo kemudian. Di sisi lain, Ben yang juga reflek bergerak dari tempatnya—hendak menangkap Lya yang jaraknya cukup jauh—kembali terdiam di tempat.

”Iya...” Lya memperbaiki posisi berdirinya ”Selama ini, setiap aku terjatuh, terluka, dan menangis... Leo dan Kak Anna akan merasa sangat cemas padaku.”

Gigi Leo bergemeletuk, nadanya bergetar getir, ”Kenapa kau menyebut nama itu?”

Lya menelan ludah, suaranya pecah meski berusaha tegar.

“Sejak Kak Anna pergi, kau pun tetap memperhatikanku” Lya meraih lehernya, menurunkan kerah tinggi itu, menunjukan guratan luka dan bekas kemerahan yang kontras. ”Semua ini, kau lah yang menghentikanku. Sejak kematian Anna, aku hanya sibuk dengan kehancuran diriku sendiri. Berpikir semua hal buruk yang kubuat pada akhirnya akan baik-baik saja karena ada Leo. Aku terlalu egois, menahanmu tetap di dekatku, tidak membiarkanmu mengolah rasa hancurmu sendiri.”

Lya berhenti sejenak, jemari bergetar menekan sisi bajunya. Tatapannya jatuh, tak kuasa menahan rasa sesal yang semakin menyesakkan.

“Aku mengabaikan perasaanmu. Aku berpikir dunia kecil kita masih bisa bertahan, bahwa kita bisa kembali ke masa ketika semuanya sederhana meski hanya berdua… cukup terus mengingat Kak Anna. Aku naif, Leo. Terlalu naif untuk menyadari betapa kau juga hancur karena kepergian Kak Anna.”

Angin senja berembus, membawa sunyi yang menyesakkan. Leo tetap terdiam, rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar amarah. Tatapannya menusuk Lya, namun ada juga luka yang tak pernah tersampaikan.

Lya mendongak, mata bengkaknya berair, memaksa dirinya untuk tetap menatap Leo.

Leo akhirnya bergerak. Ia menghela napas panjang, tapi bukan untuk menenangkan diri—melainkan untuk memberi ruang bagi ledakan yang lama ia pendam.

“Sejujurnya…” suaranya pecah, serak, dan getir. “Aku marah, Lya. Aku marah padamu, pada Anna… pada kalian berdua yang membuatku jadi seperti ini.”

Ia mendekat selangkah, menatap Lya begitu dalam, memberikan sapuan lembut pada pipinya hingga akhirnya turun ke leher. Tangannya tampak mengeras, namun tak ada tekanan yang benar-benar ia berikan—seolah hanya ingin merasakan denyut kehidupan yang selama ini menjauh darinya.

“Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Kalian berdua membuatku percaya bahwa aku punya tempat, bahwa aku berarti. Tapi pada akhirnya? Anna seenaknya pergi, mengabaikan eksistensiku dan memilih pilihan itu. Dan sekarang kau—”

Leo melirik tajam ke arah Ben yang masih berdiri agak berjarak dari mereka, tubuh kaku seperti sedang menahan badai. Lalu tatapannya kembali menancap ke dalam mata Lya, menusuk hingga ke dasar hati.

“—kau berdiri di sini dengan pria itu. Lalu apa?”

Suaranya meninggi, hampir pecah, namun matanya justru berair, berkilat dengan kesedihan yang terlalu lama terkurung.

“Lalu apa yang tersisa dariku, Lya?!”

Keheningan kembali merayap, hanya terputus oleh detak jantung yang bergemuruh di dada mereka. Senja telah jatuh sepenuhnya, menyisakan langit muram yang seakan ikut menatap tragedi kecil itu.

Lya terisak, bahunya bergetar. Bibirnya berusaha merangkai kata, namun kelu. Hingga akhirnya ia berhasil memaksa suaranya keluar, lirih, hampir terputus oleh tangis.

“Selama ini…” ia tersengal, kedua tangannya menggenggam lengan Leo yang masih menempel di lehernya. “Selama ini aku terlalu sibuk menjaga diriku sendiri, tanpa memikirkan betapa kau menderita. Aku pada akhirnya tetap menjadi orang yang egois. Maafkan aku. Maaf membuatmu jadi seperti ini Leo... Maaf karena aku merampas duniamu! Maaf karena aku hadir di antara kalian!”

Leo terdiam, matanya bergetar menatap Lya. Ujung bibirnya ikut bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi tertahan oleh luka yang menyesakkan.

Sementara itu, dari kejauhan, Ben akhirnya melangkah maju ke sisi Lya, dalam diam menyingkirkan tangan Leo dari leher Lya. Sorot matanya tajam, namun wajahnya tetap menyimpan kelembutan—antara ingin melindungi, dan tak ingin memperkeruh luka lama yang terkuak di hadapannya.

”Bagaimana pun... Orang yang hancur tidak bisa menyembuhkan seorang yang hancur lainnya,” ucap Ben. ”Mulai sekarang, percayakan lah Lya padaku. Entah bagaimana caranya, tapi aku tidak akan membuatnya hancur lebih dari ini seperti yang kau perbuat padanya, Leo.” Setelah melemparkan perkataan itu, Ben pun membawa Lya perlahan kembali menuju mobil. Memasukan gadis itu secara hati-hati sebelum menutup pintu penumpang dan kembali melemparkan pandang kepada Leo.

”Bagaimana pun, perasaanmu pada Lya... Itu tidak normal. Kau itu hancur... makanya kumohon, bangkitlah. Saat ketika hari kalian dapat berdamai, mungkin dunia kecil itu tidak akan benar-benar hilang. Kalian selalu bisa menambahkan seseorang di dalamnya, dan Lya, memutuskan untuk melibatkanku di dalamnya."

Kata-kata Ben masih menusuk dalam dada Leo ketika ia ditinggalkan sendiri di depan gerbang makam yang suram. Pandangannya kosong mengikuti mobil Ben menjauh, lalu jatuh ke tanah di hadapannya. Dengan suara rapuh, ia hanya mampu mengucapkan sepatah kalimat, ”Ketika duniaku adalah orang yang telah tiada... Bagaimana caranya lepas dari belenggu ini?”

***

Ben mengantarkan Lya pulang. Kini mereka berdiri dalam diam di depan kamar kos Lya sebelum akhirnya Ben membuka suara, ”Kalau begitu... sampai besok, ya? Aku akan menjemputmu.”

Ketika hendak pergi, Lya lebih dulu menarik ujung baju Ben. Menahan pria itu untuk melangkah menjauh darinya. ”Aku ingin bersamamu lebih lama... bolehkah aku menginap saja di tempatmu?” tanya Lya sungguh mengejutkan Ben. Hanya butuh sedetik untuk membuat pikiran Ben terbang kemana saja mendengar permintaan tersebut dari Lya, apalagi dengan wajah memelas yang menggemaskan.

“Tidak bisa, Lya...” ucap Ben dengan nada bergetar, kedua tangannya mengepal. “Aku takut tak mampu menahan diri. Aku takut... membuatmu menjauh. Dan hari ini... kau sudah cukup terluka.”

“Aku percaya padamu.”

Kata-kata itu meruntuhkan pertahanan Ben. Setengah sadar, ia justru mengantar Lya ke tempat tinggalnya. Setiap langkah terasa janggal. Sesampainya di sana, ia mempersilahkan Lya masuk, lalu dengan gerakan kikuk—hampir mekanis—ia menyiapkan kudapan, seolah dirinya bukan lagi Ben, melainkan sekadar robot yang kehilangan arah.

“Oiya! Aku ada bathtub! Apa kau mau mandi, Lya—”

Kata-kata itu menggantung di udara. Ben tersentak, wajahnya merona panas. Ia sadar, kalimat itu bisa menimbulkan makna yang salah. Otaknya mendadak kacau, dihantam pikiran-pikiran nakal yang buru-buru ia usir, disertai ketakutan untuk berbuat kelewatan.

Dan tepat ketika ia berusaha menenangkan diri, suara Lya datang bagai kilatan petir yang memporak porandakan kewarasannya.

“Ben... mau membantuku membersihkan diri?”

Pada akhirnya, Ben dan Lya berdiri bersama di kamar mandi. Ben tidak berani menoleh, sementara di belakang punggungnya, suara-suara kecil dari Lya membuat dadanya kian bergejolak. Kedua tangannya mencengkeram kuat sisi bajunya, menariknya ke bawah seolah berusaha melindungi diri dari godaan yang menyesakkan. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana bisa menyetujui permintaan Lya. Hanya satu hal yang ia tahu: sebagai seorang pria yang sehat, sulit baginya menahan diri ketika gadis yang disukainya justru menawarkan sesuatu yang mampu mengguncang iman.

”Kenapa kamu menghadap ke sana, Ben?” tanya Lya di belakang sana.

”Ti... tidak apa-apa! Aku hanya ingin saja!” jawab Ben panik.

“Bagaimana kau akan membantuku jika menghadap ke sana? Aku kesulitan karena kakiku...”

Ben tetap membelakangi, berusaha keras menahan diri. Namun tiba-tiba ia merasakan kerah belakang bajunya ditarik, lalu suara air tumpah terdengar mengalir ke lantai.

Seketika tubuh Ben tercelup ke dalam bak mandi. Pakaian yang ia kenakan basah kuyup, dan di hadapannya kini terdapat Lya—tidak berpakaian, hanya samar terlindung busa sabun, dengan gips yang sudah Ben bungkus aman sebelumnya.

Di balik keruh air, sekilas terlihat leher Lya, penuh jejak luka masa lalu. Wajah Ben masih terasa panas, malu tak sepenuhnya hilang. Namun rasa cemas jauh lebih kuat. Tangan yang semula gemetar perlahan terulur, dan sebelum ia sadari, jemarinya sudah menyapu lembut leher Lya, seolah berusaha menenangkan luka yang hanya tersisa garus pucat itu.

”Apakah masih sakit?” tanya Ben.

Lya menggenggam tangan Ben, mengalihkannya dari leher ke pipinya. Ia mengusapkan telapak besar itu perlahan pada wajahnya, seolah mencari kehangatan dan rasa aman. Matanya terpejam, bibirnya tersungging senyum tipis.

“Mungkin... mulai sekarang semuanya akan lebih baik,” bisiknya, sebelum menatap Ben dengan lembut.

Ben tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah Lya yang begitu dekat dengannya. Helaan napas mereka bertemu, menciptakan ruang hening yang justru penuh makna. Tangan Ben masih melekat di pipi Lya, terasa hangat sekalipun tubuhnya sudah basah kuyup oleh air dingin.

“Semua ketenangan yang kurasakan sekarang... semua berkat dirimu, Ben. Terima kasih,” bisik Lya dengan senyum yang tipis namun tulus.

Ben menelan ludah, dadanya sesak oleh campuran perasaan yang sulit ia pahami. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya seakan kelu. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam lembut jemari Lya, memastikan gadis itu tahu kalau ia tidak sendiri lagi.

“Aku... tidak tahu apakah aku pantas menerima ucapan itu,” jawab Ben akhirnya, suaranya bergetar. “Tapi aku janji, aku akan tetap di sini untukmu. Entah bagaimana pun keadaanmu... aku tidak akan pergi.”

Mata Lya terbuka sedikit, menatapnya dalam-dalam. Ada bayangan luka masa lalu yang sempat muncul sekelebat, tapi kini tertutup oleh sinar kehangatan. Ia tersenyum lagi, lebih tenang daripada sebelumnya.

Air di sekitar mereka bergelombang kecil ketika Lya tiba-tiba memeluk Ben erat. Ben membeku sejenak, merasakan tubuh rapuh itu di dalam dekapannya, baru teringat bahwa perempuan itu tidak sedang mengenakan apapun. Tidak ada pembatas di antara mereka. Membuat pikiran Ben hampir kacau jika ia tidak mengingat suasana saat ini tidak pantas untuknya merasa ’bersemangat’.

”Lya... kalau kita teruskan akan berbahaya... bisa lepaskan aku?” Ben mencoba mendorong Lya dengan memegang dua lengan atas gadis itu, akan tetapi ia tidak bisa mengeluarkan tenaganya. Antara cemas jika ia tidak sengaja melukai Lya atau tidak berniat melepaskan diri.

Ben menunduk, berusaha keras menahan gejolak yang berkecamuk di dalam dadanya. Napasnya memburu, sementara kedua tangannya masih menempel pada lengan Lya yang terasa hangat di genggamannya.

Namun Lya tidak bergeming. Ia tetap memeluknya, kepalanya bersandar di pundak kiri Ben, membuat dada mereka saling menekan hingga semakin sulit bagi Ben untuk mengontrol diri meskipun ia harus.

“Ben... aku tidak ingin melepaskanmu. Aku takut jika aku sendiri lagi, semua luka itu akan kembali menghantamku,” suaranya lirih, namun setiap katanya menusuk hati Ben.

Ben pun memejamkan mata sejenak, menenangkan diri. Ia ingin menjauh, tapi sekaligus sadar kalau kini ia adalah satu-satunya tempat yang Lya punya untuk bersandar. Perlahan, genggaman tangannya pada lengan Lya berubah menjadi pelukan lembut, menenangkan. Tangan Ben dapat merasakan lebih jelas kulit Lya yang basah.

“Aku mengerti... aku tidak akan pergi. Dan aku akan menahan diri sebisaku. Aku tidak ingin membuatmu menangis dan takut,” ucap Ben dengan nada tegas, meski wajahnya masih memerah menahan rasa canggung.

Lya mengangkat wajahnya sedikit, menatap Ben dari dekat. Senyum tipis yang tulus tergambar, seolah jawaban atas semua keraguan.

“Kau tidak pernah membuatku takut, Ben... justru denganmu aku merasa aman.”

Ucapan itu membuat Ben terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata lagi, hanya bisa menatap mata Lya yang jujur dan hangat, meskipun tubuhnya masih basah kuyup dan situasi itu jauh dari biasa.

Air yang mulai mendingin membuat Ben tersadar. Ia menarik napas panjang, lalu mengusap pelan rambut Lya yang lembab.

“Kalau begitu... ayo kita keluar. Kau bisa beristirahat dengan tenang, dan aku akan tetap di sampingmu.”

Lya mengangguk kecil, masih enggan melepaskan Ben, tapi akhirnya menuruti ucapannya.

Terimakasih,

Karena bersedia masuk ke duniaku,

Dunia kecilku yang sempat hancur.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!