 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setetes D@R@h
"Mama..."
Prima terbangun tengah malam, berjalan ini informasi ke kamar ibunya. Menyeret sebuah boneka kelinci besar di tangan kirinya. Lampu kamar Anita masih menyala. Sorot lampunya keluar lewat celah dibawah pintu.
Prima meraih gagang pitu, membuka pintu kamar Anita dangan menguap dan mata yang sedikit menyipit.
"Mama,"
"Primor, kamu kok bangun?"
Anita yang sedang duduk menggambar menggunakan Tab di atas kasur, menyambut putrinya yang terbangun tengah malam dan menyusulnya ke kamar.
"Boleh gak Prima tidur sama mama?"
"Boleh dong sayang, sini naiklah."
Prima naik ke atas kasur dan meringkuk di dalam bed cover ibunya yang hangat. Ia lupa kapan terakhir kali tidur dikamar ibunya. Beberapa tahun terakhir ini, Anita sibuk bekerja hingga ia jarang di rumah dan Prima tidak tertarik untuk masuk kamar itu jika kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah.
"Mama sedang menggambar ya?"
"Iya, mama sedang menyelesaikan pekerjaan. Kasian papa kalau tidak ada yang membantu."
"Mama kenapa sih kok suka gambar perabotan rumah tangga?"
"Ya karena mama sama papa, usahanya menjual perabotan rumah tangga. Mama sudah suka gambar dari dulu. Dan papamu pandai bernegosiasi. Jadi kami membuat usaha bersama. Mama yang menggambar modelnya, nanti pabrik yang membuat, Papa yang menjual. Prima paham?"
Prima kecil mengangguk. Penjelasan Anita cukup bisa dipahami untuk prima yang sudah menginjak umur 11 tahun.
Yang ia tahu, selama ini Tuan Pram ayahnya memiliki sebuah pabrik yang cukup besar. Pabrik-pabrik itu berisi kayu-kayu yang disetor dengan kontainer. Lalu perabot-perabot yang telah selesai dibuat, dikemas menjadi bagian-bagian kecil dan dikirim kembali menggunakan kontainer.
Namun Prima tidak tahu ke mana kontainer-kontainer itu membawa beratus-ratus kardus besar yang terlindungi kotak-kotak kayu.
"Apa pekerjaan mama masih lama?"
"Erm, sebentar lagi. Kamu tidurlah dulu nanti mama menyusul kalau sudah selesai."
"Tapi Prima pengen tidur sama mama."
"Kasih Mama waktu sebentar lagi ya, nanti kalau sudah selesai Mama akan memelukmu."
Prima menggangguk dengan senang. Ia membiarkan ibunya menyelesaikan pekerjaannya. Dari tempatnya berbaring Prima memperhatikan wajah ibunya yang terlihat semakin tirus. Garis-garis biru di wajah dan lehernya terlihat sangat jelas.
Ada yang tampak aneh di wajah Anita. Setitik warna merah menyembul di hidungnya. Sesuatu yang ternyata langsung disadari oleh Anita. Diam-diam ia mengelap hidungnya dengan tisu dan bergegas pergi ke kamar mandi.
"Mama sikat gigi dulu ya. Kamu tunggu di situ."
Anita berjalan cepat menuju kamar mandi dan segera mengunci pintu dari dalam. Ia panik. Anita menyalakan kran air dari wastafel untuk membuat Prima tidak merasa curiga. Lagi-lagi hidungnya mengeluarkan darah. Beberapa hari yang lalu dia mengalami hal yang sama. Namun Anita berpikir itu hanyalah mimisan biasa karena ia kecapean.
Namun kini ia mulai merasa khawatir. Anita takut terjadi sesuatu dengan dirinya yang tak dia sadari. Terlebih akhir-akhir ini Anita merasa mudah letih dan tidak nafsu makan.
Beberapa lembar tisu ia gunakan untuk membersihkan hidungnya, ia tidak mau Prima melihat darah keluar dari hidung.
Anita mengatur nafasnya ia berusaha untuk tenang. Ia yakin tidak ada hal serius yang terjadi dengannya. Tidak, tidak boleh, tegasnya dalam hati. Suaminya masih sangat membutuhkannya. Ada mimpi tentang perusahaan desain interior yang sedang ia bangun. Putrinya juga masih sangat kecil untuk menghadapi resiko jika terjadi sesuatu dengan dirinya. Anita meyakinkan diri. Ia keluar kamar mandi dengan wajah yang tenang.
"Mama sudah selesai?"
"Sudah sayang, ayo kita tidur."
Anita mematikan Tab kerjanya ,masuk ke dalam bed cover meringkuk di sebelah putrinya yang dengan setia menunggunya sampai selesai bekerja.
"Mama, kalau Prima sudah besar nanti apa Prima masih boleh tidur sama mama?"
Anita tertawa lembut ia mengusap pipi putrinya dengan kasih.
"Biasanya kalau sudah besar, anak gadis sudah tidak mau lagi tidur dengan ibunya. Kalau Mama sih sampai kapanpun dengan senang hati tidur sama anak mama yang paling cantik ini."
"Nggak Ma, Prima sampai besar pun masih mau tidur sama mama."
"Janji?"
"Ya, Prima Janji. Mama juga harus janji ya. Mama akan hidup sampai besok-besok-besok-besok terus sampai lama sekali, biar mama bisa terus tidur temenin Prima."
"Oke, mama janji."
Keduanya tertawa riang.
"Mama, kapan papa pulang?"
"Papa bilang sih mungkin 10 hari di sana. Kamu yang sabar ya. Kita doakan biar papa sehat, dan urusannya segera selesai, biar Papa bisa segera pulang."
"Iya ma, Prima yakin Papa di sana sehat. Prima cuma kasihan sama Papa, sendirian di sana nggak ada yang nemenin."
"Kan Papa nggak sendirian. Ada Om Samuel, ada om Burhan. Semuanya pasti jagain papa dan bantuin papa. Sudah, sekarang kita tidur yuk. Besok kan kamu harus sekolah."
"Mama nyanyiin lagu Nina Bobo ya biar Prima cepat tidur. Prima udah lama nggak denger lagu Nina Bobo dari mama."
Anita menggangguk. Ia menaikkan bed cover hingga menutup seluruh bagian tubuh putrinya dan mulai berdendang.
Hari sudah malam, mari tidur tenang.
Lupakan risaumu, buanglah lelahmu.
Esok hari indah akan menunggu.
kita akan berpetualang menemui hal baru.
tidurlah anakku, aku bersamamu.
Takkan kubiarkan siapapun mengganggu.
Mata Prima mulai terasa berat, sayup-sayup nyanyian ibunya masih dapat ia dengar. Namun cahaya terang lampu tidur perlahan mulai redup. Hingga akhirnya gaung merdu suara Anita tak lagi terdengar olehnya. Primordia kecil terlelap dalam pelukan ibunya.
***