Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desakan sang ibu.
Tubuh Rosalina masih bergetar hebat ketika pertanyaannya meluncur. Suaranya juga terdengar parau namun penuh dengan luka yang dalam.
"Jawab aku, Mas…!" Rosalina kembali bersuara, kali ini lebih tegas meski diiringi dengan isakan.
"Kenapa ada bau parfum perempuan di tubuhmu? Apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan?"
Handrian menelan ludahnya dengan berat. Rahangnya mengeras dan matanya juga sempat beralih ke arah Rosalina, namun dengan cepat ia menghindar.
Dadanya terlihat naik turun karena berusaha keras untuk mencari kata-kata, yang bisa menyelamatkannya dari tatapan istrinya yang penuh kecurigaan itu.
"Itu… itu cuma kebetulan, Lina," jawabnya terbata.
"Aku semalam… salah memakai baju. Dan baju yang aku pakai semalam merupakan baju yang aku kenakan saat aku pergi kekantor kemarin. Jadi kamu tahu sendiri kan, jika aku pasti bertemu banyak orang? Dan mungkin saja ini bau mereka."
"Bau mereka?" Rosalina memotong dengan nada tajam.
"Jangan bohong, Mas! Aku tahu betul bau parfum apa yang sering dipakai oleh orang-orang di sekitarmu. Tapi bau ini sangat berbeda dengan bau biasanya yang pernah melekat dibajumu! Ini adalah wangi parfum yang asing… Dan bau parfum ini menempel terlalu kuat untuk sekedar kebetulan!"
Handrian menjadi terdiam mendengar perkataan Rosalina. Kini jantungnya terasa berdegup kencang, dan keringat dingin pun mulai membasahi pelipisnya.
Ia mengangkat tangannya dan kemudian menyentuh rambutnya sendiri dengan perasaan gelisah, lalu mencoba melempar senyum hambar kearah Rosalina.
"Lina, kamu itu terlalu sensitif. Aku..."
"Tidak Mas! Jangan mencoba untuk memutar balikkan keadaan seakan-akan akulah yang telah salah menuduhmu!" sergah Rosalina, matanya kini memerah dan sorot matanya itu menusuk seperti sebilah pisau.
"Aku bukan perempuan bodoh, Mas! Jadi jangan remehkan perasaanku. Aku tahu, pasti saat ini ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan."
Suasana kamar menjadi semakin mencekam. Dan dikamar itu, kini hanya terdengar suara isakan yang tertahan dari Rosalina, serta nafas berat Handrian yang mulai terengah-rengah karena merasa terpojok.
"Lina… aku mohon, hentikan menuduhku seperti itu. Aku juga tidak ingin kita terus berdebat seperti ini," kata Handrian dengan nada memohon, namun tangannya terlihat mengepal kuat di samping tubuhnya.
"Tentu saja kamu tidak mau berdebat, karena kamu tidak akan bisa menjawab pertanyaanku!" Rosalina membalas ucapan Handrian dengan cepat. Dan nada suaranya juga mulai meninggi.
"Aku cuma ingin tahu, Mas! Katakan padaku yang sebenarnya. Kalau tidak, maka jangan salahkan aku kalau aku semakin tidak mempercayaimu!"
Handrian mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seolah ia ingin menahan sesuatu agar tidak keluar. Wajahnya kini juga terlihat menegang, dan di matanya terlihat ada rasa putus asa yang bercampur marah.
"Kenapa kamu tidak bisa percaya padaku, Lina?!" akhirnya pertanyaan tersebut keluar, beserta dengan kemarahannya yang tiba-tiba saja meledak.
"Aku ini suamimu! Kenapa kamu harus selalu menyudutkanku?! Apa semua penjelasan yang sudah aku berikan padamu, tidak cukup untuk membuatmu percaya?!"
Rosalina terkejut dengan bentakan itu, dan tubuhnya pun secara refleks berjalan mundur. Namun air mata yang membasahi pipinya sama sekali tidak mau berhenti.
Wanita cantik itu menggigit bibirnya, lalu berkata dengan suara yang bergetar namun masih tetap terdengar tegas.
"Aku sebenarnya ingin percaya, Mas… Sungguh aku ingin percaya dengan penjelasanmu itu. Tapi melihat nada suaramu yang membentakku seperti itu, apa mungkin aku bisa mempercayaimu lagi? Karena kalau kamu tidak menyembunyikan apapun dariku, maka kamu tidak akan mungkin bisa semarah itu!"
Kata-kata Rosalina itu, benar-benar seperti sebuah palu besar yang menghantam tepat didada Handrian. Pria itu kembali memejamkan mata dengan rapat, seraya menahan amarah, dan juga rasa bersalah yang kini bercampur aduk di dalam dirinya.
Namun sebelum ia sempat merespons lagi, tiba-tiba saja terdengar ketukan keras dari arah pintu depan. Dan disusul dengan suara perempuan yang memanggil mereka berdua.
"Handrian… Rosalina…"
Dan keduanya pun sontak menoleh, sambil menatap kearah pintu kamar. Handrian pun melangkah keluar dari kamar tersebut dan bermaksud hendak membuka pintu depan. Karena ia sangat mengenali suara orang yang mengetuk-ngetuk pintu rumahnya itu.
Dan orang tersebut adalah Bu Norma, Ibu kandungnya Handrian.
Sementara itu, Rosalina dengan cepat menyeka air matanya meskipun wajahnya masih terlihat sembab. Namun meskipun begitu, ia tetap tidak mau memperlihatkan kesedihannya dihadapan Ibu mertuanya itu.
Setelah berusaha menenangkan dirinya, akhirnya Rosalina pun melangkah dari kamar, dan menuju kearah pintu depan.
Saat ia baru saja sampai diruang tamu, Rosalina langsung bisa melihat jika Ibu mertuanya sudah berdiri dihadapan Handrian, yang baru saja membukakan pintu.
"Bu… kenapa Ibu tiba-tiba datang?" tanya Handrian, sambil menatap kearah Ibunya yang selalu berpenampilan anggun tersebut.
Namun Bu Norma hanya tersenyum tipis, saat mendengar Handrian bertanya seperti itu.
Memangnya tidak boleh Ibu datang kerumahmu ini tanpa memberitahukan terlebih dahulu? Ibu harap, kamu tidak menutup rapat pintu rumahmu, karena permintaan istrimu, Handrian."
Mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Bu Nurma, Rosalina pun membulatkan bola matanya. Dan ia langsung berjalan mendekat serta berdiri disamping Handrian. Dengan kedua netra yang kini menatap Bu Nurma dengan tatapan tajam.
"Ya Allah Bu! Kapan aku pernah melakukan hal itu? Aku sama sekali tidak pernah menghasut Mas Handrian untuk melakukan hal yang tidak-tidak! Tapi kenapa Ibu tega-teganya berbicara, tanpa berfikir terlebih dahulu."
Mendengar ucapan Rosalina, Bu Norma hanya mendengus kasar. Sementara Handrian malah memberi isyarat untuk Rosalina, agar ia tidak melawan orang tuanya sama sekali.
"Lina. Lebih baik kamu buatkan minuman untuk Ibu, ya?" ujar pria itu sambil menyentuh lembut tangan istrinya. Namun Rosalina malah menepisnya dengan kasar.
Dan tanpa menjawab apapun lagi, Rosalina langsung melangkah kearah dapur untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Handrian.
Dengan perasaan kesal, ia pun mengambil dua buah cangkir teh, lalu meletakkannya dengan kasar diatas meja. Lalu kemudian ia menyeduh air serta membuatkan minuman untuk Bu Norma dan juga Handrian.
Sementara itu diruang tamu, Bu Norma langsung menarik lengan anaknya dan menyuruh Handrian untuk duduk.
"Handrian. Ayo duduk disini dulu! Ibu ingin membicarakan sesuatu denganmu." ucap perempuan itu dengan bola mata yang berbinar.
Handrian merasa keheranan melihat sikap ibunya itu. Namun langkah kakinya tetap berjalan kearah sofa, dan langsung duduk disamping sang Ibu.
"Ada apa sih Bu? Kok sepertinya Ibu terlihat serius sekali? Memangnya Ibu mau membicarakan masalah apa?" Handrian bertanya dengan kening yang berkerut. Sementara bola matanya terus menatap kearah Ibunya itu dengan penuh rasa penasaran.
Bu Norma terlihat menarik nafasnya dalam-dalam sebelum berbicara dengan Handrian.
"Begini Handrian, sebenarnya Ibu ingin bertanya padamu, sampai kapan kamu akan menyuruh Ibumu ini untuk bertahan dan tidak memiliki cucu darimu?"
Pertanyaan dari Ibunya itu membuat bola mata Handrian melebar sempurna. Kemudian kedua tangannya langsung mengusap wajahnya karena frustasi.
"Bu. Kenapa harus pertanyaan seperti itu sih yang selalu Ibu pertanyakan? Hidup berumah tangga itu perlu proses Bu, dan tidak semuanya harus berjalan dengan lancar seperti keinginan kita. Apa lagi soal anak. Aku harap Ibu bisa bersabar untuk hal itu, dan jangan Ibu mempertanyakannya terus-menerus." Handrian mencoba memberikan pengertian terhadap sang Ibu.
Namun, Bu Norma malah menatap tajam kearah Handrian. Bibirnya yang berlipstik merah mulai bergerak, dan ia pun berkata dengan suara yang meninggi dan penuh tekanan.
"Handrian, kamu itu jangan banyak alasan! Ibu sudah cukup sabar menunggu cucu dari pernikahanmu dengan Rosalina. Tapi sampai sekarang, hasilnya benar-benar nihil. Apa kamu tidak merasa malu dengan keluarga besar kita? Semua orang pasti menganggap Rosalina itu mandul!"
Handrian menjadi tertegun mendengar perkataan Ibunya itu, dan tiba-tiba saja wajahnya berubah tegang. Ia sempat melirik ke arah dapur untuk memastikan, jika Rosalina tidak mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari mulut Bu Norma.
Namun dari kejauhan, ia mendengar jelas jika ada suara sendok yang membentur gelas dengan cukup keras, seolah-olah Rosalina sengaja menunjukkan bahwa ia memang mendengar semua pembicaraan itu.
"Bu, tolong jaga bicara Ibu," ucap Handrian dengan suara yang seperti menahan amarah.
"Rosalina adalah istriku. Dan aku sama sekali tidak pernah menyalahkannya soal ini. Kalau memang kami belum diberi keturunan, berarti memang Allah belum mengizinkan kami untuk memiliki seorang anak."
Handrian masih saja menutupi kesalahannya, yang sama sekali belum pernah memperlakukan Rosalina, seperti seorang istri yang sah baginya.
Bu Norma kembali mendengus kasar. Kemudian ia memegangi tangan anaknya, dan meremasnya dengan sangat kuat. Lalu, dari bibirnya itu kembali terlontar perkataan yang sama sekali tidak disangka oleh Handrian.
"Jangan bodoh, Handrian! Kalau kamu terus bertahan dengan perempuan mandul itu, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah mempunyai keturunan. Kamu itu butuh anak untuk meneruskan nama keluarga kita, Ibu juga tidak ingin kamu membuang-buang waktu dengan perempuan yang tidak bisa memberikan apa-apa!"
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk dada Rosalina yang saat itu berada di dapur.
Tangannya yang sedang memegang teko bergetar hebat hingga sebagian air panas hampir tumpah. Dan ia pun menutup mulutnya rapat-rapat, mencoba menahan isakannya agar tidak terdengar.
"Bu!" Handrian tiba-tiba meninggikan suaranya. Dan ia pun menatap tajam kearah ibu kandungnya.
"Jangan pernah menyebut istriku seperti itu! Lina bukanlah seorang perempuan yang tidak berguna. Dia istriku Bu, kalau pun kami belum mempunyai anak, itu bukan alasan untuk Ibu menghinanya seperti itu."
Bu Norma langsung mengeraskan wajahnya, saat mendengar Handrian begitu membela istrinya.
Lalu ia pun berdiri dari tempat duduknya, dan menatap Handrian dengan bola mata melotot.
"Kalau begitu, sekarang juga kamu harus memilih, Handrian."
Lagi-lagi ucapan Bu Norma membuat Handrian terperangah. Sehingga ia menatap kearah Ibu kandungnya itu dengan raut wajah yang kebingungan.
"Apa maksud Ibu?" tanya Handrian tidak mengerti.
Bu Norma pun tersenyum sinis dan kemudian ia berkata lagi.
"Sekarang juga kamu harus memilih, antara Rosalina… atau masa depanmu sendiri? Karena untuk saat ini Ibu hanya ingin kamu menikah lagi. Dan bila perlu, Ibu sendiri yang akan mencarikan untukmu seorang calon istri yang bisa memberimu keturunan. Ibu juga akan memastikan, kalau kamu akan mendapatkan seorang istri yang sehat. Bukan perempuan mandul seperti Rosalina."
"PRAAANGG!"
Bersambung...