Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Segalanya memang berjalan seperti yang ditebak Surya. Malam itu tersiar kabar dari markas bahwa pasukan akan bersiap untuk menerobos ke utara pada dini hari esok.
Namun, bukan karena argumen Surya atau bujukan Mayor Wiratmaja.
Ketika Mayor Wiratmaja kembali ke markas dan dengan berapi-api menyampaikan analisisnya, ternyata ia tidak hanya gagal meyakinkan sang instruktur, malah semakin menguatkan tekad sang instruktur untuk tetap bertahan.
“Situasi sudah jelas, Kamerad Wiratmaja!” ujar instruktur Joko itu dengan penuh keyakinan. “Kalau kita menerobos sekarang, artinya kita meninggalkan kawan-kawan di Pos Tugu sendirian!”
Mayor Wiratmaja sempat tertegun.
“Maksud Anda…?”
“Kalau kita pergi, Belanda akan memusatkan seluruh serangan ke Tugu. Apa kau siap menanggung beban itu? Apa kau siap jadi pengkhianat yang meninggalkan saudara-saudara kita?”
“Tapi, kalau kita terus bertahan di sini…” Mayor Wiratmaja mencoba menjawab, namun nadanya lemah.
“Kau harus percaya pada tanah air kita, percaya pada republik!” potong instruktur itu keras. “Persediaan kita masih cukup setengah bulan. Dalam setengah bulan, tentara kita pasti merebut Yogya kembali, dan saat itu kita akan menjadi saksi sejarah pahlawan yang bertahan!”
Mayor Wiratmaja terdiam. Ia sadar, yang diinginkan sang instruktur bukanlah keselamatan pasukan, melainkan kebanggaan, pengakuan, dan… promosi setelah perang usai.
Andai Surya mendengar langsung, ia pasti tahu betapa berbahayanya ilusi itu. Yogya tidak akan direbut kembali dalam setengah bulan, bahkan tidak dalam satu tahun. Faktanya, republik baru bisa melancarkan serangan besar merebut kembali kota setelah bertahun-tahun perang gerilya.
Mayor Wiratmaja hanya bisa menghela napas panjang. Ia paham tak mungkin melawan perintah instruktur saat itu.
Namun, keadaan justru berubah karena sesuatu di luar dugaan.
Bukan dari dalam markas Lempuyangan, melainkan dari Pos Tugu.
Situasinya di Tugu serupa: kepungan semakin rapat, tetapi berbeda dari Lempuyangan, di sana terdapat banyak keluarga perwira istri dan anak-anak yang tak mungkin diajak menerobos keluar. Komandan di sana, Kapten Zulfan, juga memilih bertahan.
Mereka meyakini bahwa pertempuran ini hanyalah operasi lokal. Jika mereka cukup bertahan, Belanda akan mundur, dan bala bantuan republik segera datang.
Sampai sebuah pesawat muncul di langit Yogya sore itu.
Bukan pesawat Belanda, melainkan biplan tua peninggalan Jepang yang sudah dicat ulang dengan lambang merah putih.
Begitu pesawat itu terbang rendah di atas Pos Tugu, sorak-sorai prajurit dan keluarga mereka meledak. Seakan-akan itulah pertanda: republik kembali, bala bantuan sudah dekat.
Mereka benar-benar percaya.
Padahal kenyataannya, pesawat itu hanya satu, dengan persenjataan terbatas. Tak lebih dari simbol semangat tapi bagi yang terkepung, simbol itu terasa seperti cahaya penolong dari surga.
Namun sebelum sorak-sorai di Pos Tugu reda, dua pesawat tempur Belanda tiba-tiba muncul dari balik awan. Mereka segera menghantam biplan republik itu, dan pesawat tua tersebut pun jatuh dengan mudahnya.
Beruntung, sang pilot sempat melompat keluar dengan parasut. Ia mendarat di area pertahanan dan segera diamankan oleh para prajurit Tugu.
“Bala bantuan sudah tiba, kan?!” tanya Komisaris Zulfan dengan wajah penuh harap. “Di mana mereka?!”
“Bala bantuan apa?” sang pilot menatap heran.
“Pasukan republik!” Zulfan semakin cemas. “Kami terkepung, kami butuh pertolongan!”
Pilot itu terdiam sesaat. Lalu, dengan wajah suram ia menggeleng.
“Maaf, Komisaris… pasukan utama sudah mundur ke timur. Belanda kini menyerang Magelang. Tidak ada bala bantuan. Aku hanya terbang patroli, dan begitu tahu kalian masih bertahan, aku… kehilangan arah.”
Komisaris Zulfan tertegun lama, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah mendengar kebenaran itu, ilusi tentang datangnya bala bantuan pun sirna. Para perwira di Pos Tugu segera sadar: bertahan berarti mati, maka mereka harus keluar.
Arah terbaik tentu ke utara. Selain alasan yang sudah dianalisis Surya sebelumnya perlindungan hutan dan medan yang lebih mudah Pos Lempuyangan di utara juga masih bertahan. Jika dua pasukan itu bisa bergabung, peluang lolos akan jauh lebih besar.
Maka beberapa prajurit penghubung segera dikirim dari Tugu ke Lempuyangan.
Pagi harinya, matahari perlahan menembus kabut di atas Kali, menyinari parit-parit pertahanan Pos Benteng dengan cahaya keemasan yang samar.
Surya terbangun dengan tubuh menggigil. Meski musim kemarau, udara dini hari tetap menusuk tulang. Tidur di parit tanah, memeluk senapan yang dingin, jelas bukan kenyamanan.
Tak lama kemudian, prajurit lain pun bangun. Bukan sinar matahari yang membangunkan mereka, melainkan aroma makanan. Para juru masak lapangan mulai membagikan jatah.
“Lho, hari ini roti!” seru Slamet, si jangkung, sambil terkekeh tak percaya.
“Kau seharusnya berterima kasih pada Kamerad Surya,” ujar Purwanto sambil melirik ke arah Surya. “Itu semua berkat dia.”
“Betul!” sahut yang lain.
Lalu terdengar suara serempak penuh semangat:
“Untuk rotimu, Surya!”
Sang juru masak rupanya menangkap sesuatu dari sikap para prajurit. Ia diam-diam menyelipkan setengah potong roti tambahan ke dalam kaleng makan Surya, lalu menggenggam tangannya erat.
“Merupakan kehormatan bagiku bertemu denganmu, Kamerad Surya!”
“Terima kasih,” jawab Surya tenang, menerima hadiah itu tanpa banyak kata.
Namun sebelum sepotong roti itu sempat ia gigit, suara tembakan keras tiba-tiba pecah di kejauhan.
Surya tidak panik. Ia menutup kaleng makanannya, memasukkannya ke dalam ransel, lalu meraih senapan. Sementara itu, prajurit lain buru-buru menjatuhkan jatah makan mereka, berlari ke parit, dan bersiap di garis tembak.
Ternyata benar apa yang diperkirakan Surya…
Kali ini agak berbeda. Hanya terdengar letusan singkat, tanpa rentetan panjang artileri, dan suaranya datang dari arah selatan. Itu tanda jelas: bukan Belanda yang menyerang.
Tak lama kemudian, suara pun mereda. Hening kembali menyelimuti benteng pertahanan, hanya sesekali terdengar gonggongan keras anjing-anjing gembala milik musuh.
“Itu pasti kawan-kawan dari Pos Tugu!” bisik Okta dengan bersemangat. “Mereka coba menyeberangi Kali semalam, ingin merapat ke sini!”
“Tapi sepertinya gagal,” Surya menggeleng pelan.
Namun ia segera sadar bahwa dugaannya keliru. Tepat ketika para prajurit mulai menurunkan senapan, sebuah titik hitam kecil muncul dari balik kabut tebal. Sosok itu terhuyung-huyung, makin lama makin dekat, langsung menuju parit mereka.