Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 12
Cinta di Bawah Hujan
Hari-hari berikutnya berjalan dengan rasa yang aneh bagi Nayla. Di satu sisi, ia merasakan kembali hangatnya kebersamaan dengan Arka. Namun di sisi lain, bayangan tentang Karin terus membayangi pikirannya. Ia berusaha menepis, meyakinkan diri bahwa Arka sudah jujur. Tapi rasa cemas itu selalu datang tanpa diundang.
Suatu sore, saat mereka duduk di kafe favorit, Nayla mencoba bersikap biasa. Arka sedang bercerita tentang pekerjaannya, sesekali melontarkan candaan kecil yang biasanya bisa membuat Nayla tertawa. Namun kali ini senyum Nayla terasa dipaksakan.
“Kamu kenapa?” tanya Arka, menatapnya heran.
“Kenapa apanya?” Nayla mencoba mengalihkan, menyesap kopinya.
“Wajah kamu nggak seperti biasanya. Ada yang kamu pikirin, kan?”
Nayla terdiam. Ia ingin jujur, tapi takut terdengar cemburu berlebihan. Namun akhirnya ia berkata pelan, “Aku cuma… takut. Takut kalau tiba-tiba kamu pergi lagi. Takut kalau ada orang lain yang bisa bikin kamu berubah pikiran.”
Arka meletakkan cangkir kopinya, menatap Nayla dengan serius. “Nay, lihat aku.”
Perlahan Nayla menoleh, bertemu mata Arka.
“Kalau aku nggak serius sama kamu, aku nggak akan kembali. Aku kembali justru karena aku tahu kamu yang selama ini aku cari. Karin atau siapa pun di masa lalu nggak ada artinya dibanding kamu.”
Ada ketegasan dalam suara Arka, namun Nayla masih sulit menghapus rasa was-was. Ia mengangguk kecil, mencoba menerima penjelasan itu.
Beberapa hari kemudian, kebetulan Nayla harus menghadiri rapat di sebuah hotel tempat acara komunitas berlangsung. Ia tidak menduga akan melihat pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti: di lobi hotel itu, Arka terlihat bersama Karin. Mereka berjalan berdampingan, tertawa seolah sedang membicarakan sesuatu yang menyenangkan.
Nayla spontan bersembunyi di balik pilar, dadanya berdebar hebat. Ia tidak mendengar percakapan mereka, tapi dari raut wajah keduanya, jelas bahwa mereka akrab. Lebih dari sekadar teman biasa.
Setelah rapat selesai, Nayla pulang dengan perasaan kacau. Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Arka:
“Maaf, aku agak sibuk hari ini. Nanti aku kabarin lagi, ya.”
Tangannya gemetar. Nayla menatap layar ponsel itu lama, matanya panas. Kenapa dia nggak bilang kalau ketemu Karin? Kenapa harus ada yang disembunyikan?
Malam itu hujan turun lagi. Nayla berdiri di jendela, air mata bercampur dengan suara derasnya hujan di luar. Ia merasa seperti kembali ke titik awal—keraguan, rasa takut ditinggalkan, dan luka lama yang belum sembuh.
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk jujur. Mereka bertemu di taman, tempat segalanya bermula. Hujan gerimis membasahi daun-daun, suasana seakan mendukung keberanian Nayla.
“Ark,” suara Nayla bergetar. “Aku lihat kamu kemarin… sama Karin di hotel.”
Arka tampak terkejut, lalu menunduk. “Kamu lihat?”
“Iya.” Nayla menahan napas. “Kenapa kamu nggak cerita? Kalau dia cuma teman, kenapa harus sembunyi-sembunyi?”
Arka terdiam lama, lalu akhirnya berkata, “Aku nggak berniat sembunyi, Nay. Aku cuma takut kamu salah paham. Karin memang teman lamaku, tapi dia juga… dulu pernah suka sama aku.”
Jantung Nayla seakan berhenti. Kata-kata itu menamparnya.
“Jadi benar, dia bukan hanya teman.” Suara Nayla parau.
Arka buru-buru menggeleng. “Tapi aku nggak pernah punya perasaan sama dia. Aku ketemu dia kemarin karena dia minta tolong soal pekerjaan. Aku salah karena nggak cerita sama kamu. Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir.”
Nayla menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. “Tapi justru karena kamu nggak cerita, aku jadi makin khawatir, Ark. Aku butuh kejujuran, bukan perlindungan yang malah bikin aku merasa ditutupin.”
Hening panjang tercipta. Arka menunduk, wajahnya terlihat menyesal. Hujan semakin deras, membuat suasana kian berat.
“Aku minta maaf, Nay,” ucap Arka lirih. “Aku janji mulai sekarang aku akan cerita semua, sekecil apa pun itu. Aku nggak mau kamu ngerasa sendirian lagi dalam hubungan ini.”
Nayla terisak pelan, lalu mengangguk. Hatinya masih sakit, tapi ia ingin percaya. Ia ingin memberi kesempatan, meski keraguannya belum sepenuhnya hilang.
Di bawah hujan yang turun semakin deras, mereka kembali duduk berdampingan. Tidak ada kata-kata manis kali ini, hanya keheningan dan janji dalam diam bahwa mereka akan mencoba lebih jujur, lebih kuat menghadapi badai.
Namun jauh di lubuk hati Nayla, pertanyaan itu tetap bergema: Apakah cinta di bawah hujan ini cukup kuat untuk menghadapi masa lalu yang belum sepenuhnya pergi?