Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. Keikhlasan Mama
Karina tertunduk memandangi lantai keramik putih bercorak hijau ruang keluarga rumahnya, berat rasa untuk menegakan kepalanya, memandangi wajah dengan mata berkaca-kaca yang menatap tajam kearahnya. karina bukan tak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ibu Nurma mengenai kepergiannya ke Bandung. Karina sudah bertekad untuk mengatakan dengan jujur alasan kepergiannya, dan ia juga bertekad tidak akan mundur. Hanya saja, ia tak berani menatap mata bu Nurma yang menampakan luka masa lalu yang masih menganga disana. Ia tak mau apa yang akan ia katakan menambah perih luka itu.
“Jawab Karina. Dimas. Kenapa kalian diam saja?”
Dimas yang duduk disebelah Karina juga melakukan hal yang sama, terdiam dan tertunduk. Namun bedanya, Dimas merasa tak memiliki hak untuk menjelaskan kepada ibunya. Bagaimanapun, keselamatan kakaknya lah satu-satunya alasan ia memutuskan untuk pergi ke Bandung mengikuti Karina.
“Apa perlu mama yang cari tau sendiri alasan kalian kesana?”
“Ma, maafin Karin. Karin tuh gak ada maksut apa-apa ma. Karin cuma-“
Ia menatap wajah bu Nurma, akhirnya. Ia tau mamanya tak akan main-main dengan ancamannya. Jika bu Nurma sudah mengatakan ia sendiri yang akan mencari tau, maka itu benar-benar akan terjadi. Dan Karin tak mau jika mama justru mendapatkan hal-hal yang akan menambah penderitaan ibunya.
“Memang salah ya ma kalau Karin pengen ketemu ayah kandung Karin sendiri?”
“Bukan soal salah atau bener Karin, tapi buat apa??”
“Ya pengen ketemu aja ma. Pengen tau papa ada dimana?”
“Trus kalau udah tau papamu ada dimana kamu mau apa?”
“Ya gak apa-apa, yang penting Karin udah ketemu sama papa.”
Bu Nurma menghembuskan nafas berat, ia merasa sedang menghadapi dirinya sendiri. Keras kepala dan keteguhan Karina memang sama persis dengan dirinya. Kalau sudah ada maunya, akan ia kejar terus sampai dirinya sendiri yang merasa cukup dan berhenti. Bu Nurma melipat kedua tangganya di depan dada, menyenderkan punggungnya kesandaran kursi. Mengamati kedua buah hatinya yang sedang ia ‘sidang’ diruang keluarga malam itu. Dimas masih terdiam. Ia mempersilahkan kakaknya untuk sepenuhnya menjelaskan kepada ibunya.
“Karin janji ma, Karin gak akan berbuat sesuatu yang bakal nyakitin mama.”
“Memang kamu tau apa yang bakal nyakitin mama apa yang engga?”
Karin terdiam, pertanyaan bu Nurma ini tentunya bukan pertanyaan yang sebetulnya perlu ia jawab. Ia tahu persis, mengetahui dirinya dan Dimas adiknya pergi ke Bandung mencari ayahnya saja sudah membuka luka lama, bagaimana jika ia kemudian mendapatkan kenyataan-kenyataan lain soal ayahnya? Sudah pasti akan menyakiti hati mama.
“Ma, Karin tau kok, mama masih belum bisa maafin papa. Karin juga setuju, papa bersalah sama kita udah ninggalin kita. Tapi Karin punya hak kan ma, setidaknya untuk ketemu sama papa sekali aja.”
Bu Nurma memperhatikan wajah Karin yang memelas kepadanya, hatinya tak karuan. Sebetulnya bu Nurma jg merasa kasian kepada anak-anaknya. sejak kecil tidak sekalipun mereka merasakan kasih sayang dan figure seorang ayah. Bahkan saat mereka masih bersama, pak Budiman sibuk dengan pekerjaannya diluar pulau dan hanya bisa pulang enam bulan sekali.
“Kita kan juga gak tau gimana kondisi papa saat ini. Apa papa masih hidup apa gak. Apa papa beneran udah punya keluarga lagi atau gak. Karin Cuma pengen tau itu ma.”
“Dimas janji ma, bakal jagain kakak, biar kakak gak nglakuin hal-hal yang mama gak suka.”
Dimas angkat bicara, mencoba turut serta meyakinkan ibunya yang mulai melunak, terlihat dari tatapan matanya.
“Mama cuma gak mau kalian sedih kalau kalian nemuin hal-hal yang gak kalian inginkan. Cukup mama aja yang dikecewain sama papa.”
“Gak ma, kita udah siap kok dengan hal terburuk sekalipun. Yang penting Karin bisa tau keberadaan papa. Selebihnya, Karin gak akan memaksakan apapun kondisinya. Ya ma? Gak papa kan ma?”
Bu Nurma tetiba tertunduk, membungkuk menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang bertumpu diatas paha. Bukan karena menangis, ia hanya sedikit terkejut dengan keadaan yang begitu tiba-tiba ini. Setalah 11 tahun ia merasa hidupnya baik-baik saja, hari ini akhirnya datang juga. Hari dimana anak-anaknya menginginkan ayahnya, setidaknya, kabarnya. Tapi siapa yang bisa menjamin kita esok mereka menginginkan lebih dari sekedar kabar ayahnya?
“Kenapa sih harus tiba-tiba begini?”
Bu Nurma berdiri dari duduknya, lalu ia mondar-mandir di ruangan itu membuat Karin dan Dimas merasa lebih cemas dari sebelumnya.
“Kalian gak cukup ya selama ini hidup dengan mama aja? Apa mama terlalu sibuk sampai kalian merasa gak diperhatiin mama, trus mau cari papa?”
“Bukan mama, bukan itu. Karin sama Dimas beruntung banget hidup sama mama, kami gak keberatan mama sibuk. Kami tau kok semua yang mama lakuin buat kebaikan kami juga.”
“Kami beneran cuma penasaran soal keberadaan papa aja ma.”
Dimas berdiri, menghampiri mamanya. Menggamit kedua lengan bu Nurma dan menuntunnya duduk kembali.
“Kami pengen tau, alasan papa ninggalin kita. Kenapa papa tega ninggalin istrinya sama anak-anaknya yang masih kecil.”
Dimas Duduk pada sandaran tangan kursi tempat mamanya duduk. Mengusap-usap punggung bu Nurma penuh kasih.
“Kalau nanti jawaban papamu nyakitin kalian gimana?”
“Gak ma, kita gak akan gimana-gimana. Kita kan masih ada mama. Toh selama ini kita juga baik-baik aja kan hidup tanpa papa”
“Iya ma, kami beneran Cuma pengen tau keberadaan papa dan alasan papa ninggalin kita. Itu aja. Kami janji, apapun jawaban yang kita dapet dari papa, kita tetap akan melanjutkan hidup kita dengan baik.”
Karin dan Dimas menatap wajah ibunya penuh harap. Berharap kalimat-kalimat itu tidak melukai hati bu Nurma, dan berharap bu Nurma meluluskan permintaan mereka. Bu Nurma menarik nafas, mencoba memahami keinginan anak-anaknya.
“Tapi janji ya, kapanpun kalian merasa sudah cukup, kalian harus berhenti.”
“Janji.”
Ucap Karin dan Dimas bersamaan.
“Dan janji juga, jangan mengusik hidup papa kalian kalau dia sudah punya keluarga baru!”
“janji.”
Ucap mereka lagi, masih bersamaan.
“Mama gak mau mereka menganggap mama yang menyuruh kalian untuk bwa papa kalian balik lagi. Mama gak mau!”
“Iya ma, Karin pastiin itu gak akan terjadi.”
“Trus kapan kalian mau ke Bandung lagi?”
“Jumat depan boleh ma?”
Bu Nurma sudah bisa menebak, Karin gak akan bisa lama-lama menunda kepergiannya jika sudah punya keinginan. Ia tak menjawab, hanya memperlihatkan ekspresi pasrah menghadapi anak-anaknya. membuat Karin tersenyum lebar memahami maksut ibunya. Karin berdiri menghambur memeluk bu Nurma yang masih terduduk dikursinya. Ia menyambut pelukan putrinya den mengusap punggungnya.
“Ingat pesan mama, mama gak mau masa lalu mama juga menyakiti kalian. Selama ini mama sudah bisa menerima kenyataan, dan sudah bahagia hidup hanya bersama kalian.”
Karin melepaskan pelukannya, mendengarkan ibunya dengan seksama.
“Ada ataupun tidak ada papa dalam hidup kita, buat mama sudah tidak penting. Yang penting buat mama ada kalian dihidup mama.”
Mata bu Nurma berkaca-kaca, sementara hati Karin bagai tercabik-cabik. Bagaimana ia bisa meninggalkan ibunya yang sangat menaruh kebahagiaan dipundaknya? Bagaimana ibunya akan hancur jika kematian itu benar-benar datang esok?
Karina menahan air matanya, ini bukan waktu yang tepat untuk menangis. Yang terpenting saat ini adalah memecahkan teka-teki mengenai papanya, dan menemukan keberadaannya. Ia mengangguk, berusaha meredam kekhawatiran ibunya yang mulai menampakan senyum diwajahnya.
“Dimas, jagain kakakmu, jangan biarin kakakmu melakukan hal-hal nekat.”
“Siap bos!!”
Dimas terdiri tegap dengan menaikan tangan kanannya memberi hormat, bak seorang prajurit yang mendapat perintah dari sang jendral. Bu Nurma tersenyum. Lalu ia bangkit dan beranjak menuju kamarnya.
“Satu lagi Karin.”
Bu Nurma menghentikan langkahnya dan berbalik menatap anaknya.
“Laporkan kemama setiap apapun yang kalian dapatkan di Bandung. Tanpa ada yang terlewat.”
Bu Nurma mengacungkan jari telunjuknya, menegaskan bahwa ia tak main-main.
“Siap Bos!!”
Karin dan Dimas menghormat bersamaan, lalu terkekeh begitu ibunya masuk ke dalam kamarnya.
“Yes!!” mereka menepukan tangan kananya ke satu sama lain, ber tos dengan melompat penuh kelegaan.
***