Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Percakapan yang Membuka Luka dan Rasa
Rintik hujan membungkus sudut Jakarta Selatan seperti selimut bening yang enggan lepas. Di balik kaca kafe mungil bernama Libra—tempat yang nyaris tak pernah ramai—lampu gantung keemasan memantulkan cahaya buram, membuat segala yang di dalam tampak seperti adegan film lawas berwarna sephia. Aroma kopi Arabika yang dipanggang ringan menyelusup bersama harum kayu basah dari rak buku tua di sudut ruangan. Di sanalah Kalea duduk, punggung menempel pada dinding bata yang disapu cat putih kusam, seolah ia ingin menyatu dengan kesenyapan.
Cangkir di depannya bukan lagi kopi—airnya sudah dingin, permukaannya memantulkan lampu seperti cermin retak. Hujan di luar menambah lapis suara: debur tipis di trotoar, gesekan wiper mobil, dan sesekali klakson yang teredam air. Setiap nada terdengar jauh, seakan kota sedang berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dipahami orang-orang patah.
Kalea mengenakan hoodie hitam kebesaran—hadiah Aurora lima tahun lalu—dan celana jeans pudar. Rambutnya dicepol, beberapa helai liar menempel di kening sebab udara lembap. Ia menunggu, tapi bukan menunggu dalam arti pasif; ia menyusun ulang peta di kepalanya: bagaimana menarik Aurora keluar, cara menuntut pemaksaan pernikahan, risiko, biaya, kemungkinan gagal. Pikirannya berdenyut seperti mesin yang tak pernah mati.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting, membawa aliran udara basah dan aroma parfum kayu lembut. Arya melangkah masuk, menepuk-nepuk jaket kulit cokelat yang bermanik hujan. Sinar lampu mengenai tetesan air di bahunya, membuatnya tampak seolah ia membawa gugusan bintang kontan mati di mantel.
“Maaf, lalu lintas cukup padat,” ujarnya ketika sampai di meja. Suaranya teredam namun hangat—seperti selimut tipis di dini hari.
Kalea menegakkan badan. Wajahnya pasif, tetapi matanya menyimpan lelah yang tak disembunyikan. “Aku terbiasa menunggu,” jawabnya lirih. “Di hidup kami, menunggu sering kali jauh lebih mudah daripada bertindak gegabah.”
Arya melepaskan jaket, menyampirkannya di sandaran kursi. Ia mengambil serbet kertas, menyeka tetes air yang turun dari ujung rambutnya, lalu baru duduk. Lampu menyinari garis rahang tegasnya; ada lembut yang kontras dengan cuaca.
“Menunggu Aurora?” tanyanya, meski ia jelas sudah tahu jawabnya.
Kalea mengangguk pelan. “Menunggu apa pun yang bisa membawanya kembali.”
Hening sebentar. Hujan menggugurkan daun flamboyan di trotoar, setiap helai jatuh seperti tanda baca dalam paragraf panjang hari ini.
Arya membuka map plastik bening, menaruh di tengah meja bundar. Di dalamnya, kertas‐kertas rapi—dokumen legal beraksara tebal, lambang notaris, materai merah. “Ini dokumen yang ku maksud waktu menelepon. Beberapa kontrak bisnis atas nama Tristan, salinan kepemilikan rumah Menteng, dan akta nikah terbaru.”
Kalea menyentuh map itu dengan jari telunjuk—sentuhan yang nyaris sayang pada kertas, seakan di sana tersimpan nyawa Aurora. “Apa benar ada celah?”
Arya membuka halaman tertentu. “Lihat tanggal berselang empat puluh delapan jam antara penandatanganan pernikahan dan pengajuan ke catatan sipil. Itu janggal. Seharusnya langsung didaftarkan hari itu, kecuali terjadi revisi atau… penahanan berkas.”
Kalea menunduk, menyimak. Suara hujan seperti tirai tipis yang melindungi percakapan mereka dari dunia luar.
“Kau berpikir ini bisa dipakai menggugat?”
“Bisa,” jawab Arya mantap. “Ditambah kesaksian tentang tekanan psikologis—kita punya pondasi kuat.” Ia berhenti sejenak, menatap Kalea lebih saksama. “Tapi Aurora harus menyatakan sendiri bahwa ia menolak pernikahan tersebut.”
Kata “menolak” melayang di udara, terasa berat. Kalea menarik napas panjang. “Sejauh ini ia belum menyerah. Setiap malam ia mengirim satu kata lewat pesan. Itu cukup bagiku untuk tahu hatinya belum mati.”
Arya menutup map, memberi kesempatan Kalea mencerna. Lampu kafe berkedip kecil, lalu stabil kembali, seolah menandai bergantinya babak.
“Kau sahabat yang setia,” katanya. “Kesetiaanmu mengingatkanku pada… sesuatu yang hampir hilang di kota sebesar ini.”
Kalea menyandarkan punggung, menatap jendela tempat riak hujan membentuk pola acak seperti not musik. “Kesetiaan bukan perkara pilihan. Bagi kami—aku dan Aurora—itu adalah satu‐satunya cara agar dunia tidak menelan kami bulat‐bulat.”
“Tetap saja melelahkan.”
“Lelah itu relatif,” Kalea menoleh. Kilau humor tipis untuk pertama kalinya muncul di sudut bibirnya. “Yang melelahkan bagi orang lain, mungkin sudah jadi kebiasaan bagi kami.”
Arya terkekeh, suaranya lirih namun tulus. “Boleh aku jujur? Aku sempat mengira kau tidak bisa tertawa.”
“Aku tertawa kalau ada alasan.”
“Bagaimana kalau aku membuat alasan baru?” Arya mengangkat alis, lalu meraih menu, pura‐pura serius. “Katakanlah… memesan roti bakar cokelat keju jam sembilan pagi di kafe sepi, jelas pelanggaran moral.”
Kalea tersenyum sungguhan—senyum yang jarang keluar. “Roti bakar bisa dinegosiasi. Pelanggaran moralnya terletak pada keju yang meleleh terlalu banyak.”
Arya tersenyum kecil, lalu menambahkan, “Atau mungkin fakta bahwa aku membawa buku puisi setiap kali keluar rumah. Apa itu terdengar mencurigakan di zaman sekarang?”
“Sedikit. Tapi mungkin justru karena itu aku tidak sepenuhnya menolak duduk di sini denganmu.”
“Jadi, aku masih punya harapan?”
“Tidak besar. Tapi kau belum ditolak total.”
Arya tertawa pelan. “Itu sudah cukup. Sejujurnya, sejak pertemuan pertama kita, aku tahu kau bukan seseorang yang mudah diyakinkan.”
“Karena aku bukan seseorang yang ingin diyakinkan dengan mudah.”
“Lalu bagaimana kalau aku tidak mencoba meyakinkanmu… melainkan mendampingi mu sampai kau memutuskan sendiri?”
Kalea terdiam, membiarkan kalimat itu meresap. Di dalam dada, ada pintu kecil yang lama terkunci. Tangkai kuncinya berkarat, tapi kata‐kata Arya seperti pelan‐pelan melumerkan logam tua.
Ia mengangguk, nyaris tak terlihat. “Mari mulai. Untuk Aurora, dan untuk semua yang pernah merasa terperangkap.”
Arya meraih tangannya singkat—saling jabat, bukan genggam—namun sentuhan singkat itu cukup untuk menyalakan percikan di udara lembap.
Mereka menyusun peta pelarian dengan tenang: daftar bukti, jalur komunikasi rahasia, jadwal pertemuan dengan pengacara, serta rencana cadangan jika satu pintu ditutup. Dan di sela‐sela diskusi yang padat, kadang mata mereka bertemu, tersenyum samar tanpa alasan jelas. Seperti dua prajurit yang menemukan secuil kebahagiaan di tengah medan perang.
Ketika kafe menyalakan lampu senja, hujan berhenti sepenuhnya. Di luar, langit memancarkan warna tembaga lembut. Kalea menutup map, berdiri bersama Arya. Sebelum mereka keluar, Arya menatap Kalea—tak lama, tapi cukup untuk menyampaikan bahwa dalam perjalanan panjang ini, ia tidak akan membiarkan Kalea berjalan sendiri.
Kata-kata tidak terucap, tapi hati kadang memahami bahasa yang lebih sunyi. Dan Kalea, untuk pertama kalinya sejak Aurora terseret badai Tristan, merasa kalaupun malam menjadi gelap, akan ada sepasang mata lain yang menunggu cahaya fajar bersamanya.
.
.
.
Bersambung