Farraz Arasy seorang pemuda biasa tapi mempunyai kisah cinta yang nggak biasa. Dia bukan CEO, bukan direktur utama, bukan juga milyarder yang punya aset setinggi gunung Himalaya. Bukan! Dia hanya pemuda tampan rupawan menurut emak bapaknya yang tiba-tiba harus terikat dalam hubungan cinta tak beraturan karena terbongkarnya rahasia besar sang calon istri sebelum pernikahan mereka terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pare buatmu
Dewi hanya bisa gigit jari ketika Arraz dan Zea pergi dari rumah Adi. Dia ingin ikut tapi harus menghadapi rentetan pertanyaan yang nggak berkesudahan dari sang mertua yang dulu mengidam-ngidamkan nya menjadi menantu kesayangan.
"Jadi Arraz nggak pernah sentuh kamu??" Lagi-lagi Dewi menggeleng. Dia nggak berani bicara.
"Lalu kenapa dari kemarin kamu keukeuh bilang kalau Arraz udah menodai kamu, Dewi?! Kamu tahu semarah apa ibuk sama Arraz?! Kamu tahu gimana kecewanya Arraz sama ibuk karena lebih percaya orang lain dibandingkan dia, anak ibuk sendiri?! Kok tega kamu sama ibuk Wi!"
Adi mengajak istrinya duduk. Dari pada tensinya naik ye kan? Mending diajak ngopi tipis-tipis sambil makan brownies.
"Sekarang bubur udah jadi tai, mau bagaimana pun kamu sekarang sudah jadi istri Arraz. Jadi ibuk harap kamu bisa lebih jaga sikap mu! Jangan lagi bersikap kekanakan seperti tadi! Kamu tau berapa usia Zea?? 16 tahun, tapi dia bisa menempatkan diri dengan baik! Dia dilecehkan Arraz tapi nggak koar-koar kayak mulutmu itu! Dia menjaga reputasi Arraz, dia diam! Tapi kamu..?? Kamu nggak disentuh aja bilang kalau Arraz menodai kamu. Kalian memang beda."
Nah mulai ini penyakit mamak mertua, suka beda-bedain manusia ini dan itu. Emang harus kayak gitu ya bu Yani?? Kurang dong ah, masa segitu doang?! Lanjutin marahnya!! Gas nyampe satu episode kalo bisa!
"Aku terpaksa lakuin itu buk, aku cinta banget sama Arraz! Tapi, Arraz tiba-tiba mau batalin pernikahan yang udah kami rencanakan jauh-jauh hari. Buk, aku kayak gitu juga terpaksa! Emang siapa sih yang mau pernikahannya batal beberapa hari sebelum hari itu tiba? Malu buk! Aku malu, orang tuaku juga pasti akan malu!!"
Bukannya introspeksi diri, Dewi malah membenarkan apa yang dia lakukan. Yani kembali berdiri, dia ingin maju dan menampar Dewi tapi dicegah Adi. Adi menggeleng pelan.
"Kalau Arraz tidak melakukan tindakan asusila padamu, lalu siapa yang menularkan jengger ayam itu padamu Dewi? Arraz sudah aku cek di klinik kemarin, dia bersih. Dia nggak kena penyakit apapun. Lalu kamu dapet kutil itu dari siapa?" Kali ini Fai datang sebagai inspektur prindapan. Datengnya telat tapi tetep keliatan seperti pahlawan.
"Aku diperkosa mbak!" Jawab Dewi lantang.
"Diperkosa? Sama siapa? Kenapa kamu nggak lapor polisi aja?" Fai berjalan mendekati Dewi saat ini.
"Jika bener kamu diperkosa, harusnya dari awal kamu cerita sama aku. Apa kamu pikir aku sebodoh itu Wi? Jelas-jelas kamu selingkuh. Dan jengger ayam punyamu itu adalah hasil sumbangan sukarela dari orang yang udah nidurin kamu. Iya kan?"
Ternyata dari tadi Arraz nggak bener-bener pergi. Dia dan Zea hanya pergi ke depan kompleks naik motor buat beli wedang ronde, sama cilok. Abis itu balik ke rumah bapak Adi lagi.
Mendengar suara Arraz yang ada di luar rumah, Dewi langsung bergegas menuju ke sana. Yang Dewi lihat saat ini adalah pemandangan ketika Arraz meniupkan pentol-pentol yang ditusuk lidi lalu disuapkan pada Zea. Zea sih nggak peduli ya, mau ada perang Baratayudha atau tsunami menerjang di dalam rumah mertuanya, yang penting perut kenyang hati pun senang. Lah, lagian kan Zea emang nggak punya ranah ikut campur urusan Dewi. Jadi bocah itu ya woles woles aja ketika Dewi menghampirinya.
"Aku beneran diperkosa Ar! Kamu kenapa nggak percaya sama aku?? Pasti kamu dihasut sama bocah berdada rata ini kan?? Wajahnya aja yang polos tapi pinter menghasut orang!" Dewi menuding Zea. Dia hanya sedang mencari kesalahan orang lain agar orang lain tidak lagi fokus pada pembahasan jengger ayam miliknya.
"Dada rata? Nggak juga ah. Ukuran saya 34C. Masih bisa gede kalo di treatment dengan baik."
Zea yang ngomong tapi Arraz yang malu. Dia sampai tersedak lidi tusuk pentol yang dia pakai buat nyolokin cilok dari plastiknya tadi.
"Lagian mana mungkin Zea menghasut Arraz, sih Wi? Zea aja nikah sama Arraz juga karena dibobol Arraz duluan. Nggak ada tuh Zea merengek minta dinikahi, lagian sebelum ini juga Arraz dan Zea nggak saling kenal kok!" Fai membela adik iparnya terang-terangan. Zea tersenyum mengangguk menghargai apa yang dilakukan Fai padanya.
"Kemarin bilang ke semua orang kalo aku udah nidurin kamu. Sekarang bilang kalo kamu diperkosa sebelum nikah sama aku. Besok-besok mau bohong apa lagi? Dan.. Satu yang harus kamu tanamkan di otak mu.. Zea nggak ada sangkut pautnya sama perubahan sikap ku ke kamu. Kalo kamu bisa mikir, harusnya kamu sadar.. Kenapa aku kayak gini. Bukan malah mencari kesalahan orang lain." Ucap Arraz kesal setengah meninggal.
Arraz mau pergi, tapi dilarang Adi. Katanya sudah terlalu malam. Jadi mereka disuruh menginap saja di rumah Adi. Delta juga sudah ada di sana, tadinya Fai ingin menjemput Geni bocah laki-laki 6 tahun yang adalah anak kandungnya untuk pulang ke rumah setelah tadi dititipkan bersama kakek neneknya, Adi dan Yani. Alasan Geni dititipkan adalah, tadi tiba-tiba saja ada ibu-ibu mau melahirkan setelah drama memaksa Arraz untuk periksa perkutut nya.
Zea tersenyum melewati Dewi. "Mbak." Panggil Zea pada Dewi.
"Kata saya sendiri ini ya, lebih baik sok polos dan dianggap nggak tau apa-apa. Dari pada sok baik tapi sifatnya kayak jurig." Zea lalu melebarkan senyumnya.
"Kamu!!" Dewi menuding Zea. Rasanya ingin menampar gadis kecentilan itu ribuan kali. Tapi apa daya, baru mau maju aja udah ada Arraz yang jadi pager pelindung untuk Zea.
"Ar, dia kurang ajar banget tau nggak!!"
Tapi yang diajak bicara sudah mau masuk kamar ngajak Zea. Kali ini Yani dan Adi sudah pergi ke kamar masing-masing. Udah capek mereka, capek tenaga, capek pikiran, capek di finansial juga. Habis ratusan juta buat nikahin anak bungsu mereka tapi nyatanya malah dapet mantu kutilan binti jenggeran. Oh kesian.. Oh kesian.. Aduuh kesiaaan!
"Ar! Malam ini kan malam pertama kita. Kamu harus tidur sama aku! Kamu nggak bisa ngelak lagi Ar! Kalo kemarin-kemarin kamu bilang kita nggak bisa melakukan itu karena belum ada ikatan, sekarang kan kita udah nikah! Aku istri kamu. Kamu bisa dengan bebas nyentuh aku!!" Dewi menarik tangan Arraz.
"Kamu gila ya?! Masih mikir aku bakal lakuin itu sama kamu padahal jelas-jelas kamu punya penyakit menular??" Ucap Arraz menghempaskan tangan Dewi.
"Tapi aku nggak sakit Ar!! Kamu bisa coba sekali dulu, aku jamin kamu bakal ketagihan! Ar, kamu harus adil dong! Zea udah kamu kasih liat itu nya kamu, tapi aku yang pacaran lebih dulu sama kamu malah belum pernah kamu apa-apain, belum pernah kamu kasih liat itu mu. Harusnya kan kamu bisa jaga perasaan ku Ar, aku kecewa sama kamu.." Muka Dewi udah mimbik-mimbik minta ditampol papan baliho.
"Kecewa? Iya sama.. Itu juga yang aku rasain ketika tahu kalo kamu udah disentuh orang lain. Minggir, aku mau tidur. Capek ngadepin kamu."
Dewi masih ngotot menarik tangan Arraz, dia bahkan tak segan mendekatkan bibirnya ke arah bibir Arraz, Dewi yakin meski di bibir bilang menolak tapi jika terus diserang Arraz pasti akan luluh juga. Sayangnya, Arraz bisa membaca pergerakan liar Dewi. Arraz menghindar dan berujung Dewi yang jatuh nyungsep nabrak kursi.
"Apa kamu nggak malu? Ini rumah orang tuaku. Ada keluarga ku di sini, kenapa kamu terus membuat keributan?"
"Ya karena aku ingin hak ku!! Aku ingin disentuh juga seperti kamu nyentuh Zea!! Aku istri mu, dan ini malam pertama kita!! Harusnya kita bulan madu di hotel bintang lima atau di rumah kamu aja!! Bukan malah kayak gini!!" Dewi teriak lagi.
Arraz menatap ke arah Zea yang sejak tadi ada di ambang pintu. "Ze, bisa minta tolong ambilin pare di kulkas?" Ujar Arraz.
"Ya?" Zea sedikit bingung.
"Pare. Tolong ambilkan pare. Yang paling besar. Makasih ya, Ze." Kalau ngomong sama Zea, Arraz kalem banget. Soft spoken sekali. Tapi kalo udah pindah frekuensi ke si Dewi, cara ngomong Arraz udah beda lagi. Sangar mode on!
"Ini pak guru." Zea memberikan pare yang memang ada di kulkas di dapur rumah Adi.
"Makasih, Ze." Zea mengangguk.
"Buat apa, Ar?? Maksud kamu apa ngasih ini ke aku??"
Iya, Arraz menaruh pare tersebut ke tangan Dewi. Memberikan Dewi sayur bergelombang itu, meski tak paham Dewi tetap memegang pare dingin trecep-trecep yang baru aja keluar dari kulkas.
"Pakai itu. Punyaku segitu. Bayangin aja kalo lagi dimasukin sama punyaku." Bisik Arraz di dekat telinga Dewi. Dewi diam beberapa detik lalu sadar kembali ketika Arraz dan Zea sudah masuk kamar. Mengunci kamar dari dalam. Membiarkan Dewi teriak-teriak sendirian di luar sana. Palingan juga nanti diem sendiri kalo mbak Fai atau ibu udah mulai kesal dengan tingkahnya. Bakal dicentelin di gapura kalo udah berhadapan sama mbak Fai.
"Tadi pak guru bilang apa sama mbak Dewi?" Tanya Zea yang udah siap-siap mau tidur.
Arraz gelar kasur lantai di bawah tempat tidur Zea. Sambil terpejam, dan tangan kanan dipakai untuk menutupi matanya, Arraz berkata... "Jangan panggil saya pak guru kalo lagi nggak di sekolah, Zea. Saya suami kamu. Bukan guru kamu."
"Oowh.. Oke. Mas guru." Arraz tersenyum mendengar suara imut Zea.
"Panggil yang bener, Zea. Nama saya Arraz bukan guru."
"Siap! Mas Arraz. Seperti itu?" Tanya Zea lagi.
"Iya. Sekarang tidur ya. Mas juga mau tidur."
Lho eh.. Lho.. Panggilan 'saya' 'saya' nya kok ilang, kok jadi 'mas' 'mas'. Ini gimana ceritanya?
maaf aku yg polos ini bertanya dengan nada dering selembut2nya.. tolong dijawab, jangan dijokiin😐
ora mangan nongko keno pulute awakmu arr kuapokkkkk