di dunia zentaria, ada sebuah kekaisaran yang berdiri megah di benua Laurentia, kekaisaran terbesar memimpin penuh Banua tersebut.
tapi hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, pada saat malam hari menjelang fajar kekaisaran tersebut runtuh dan hanya menyisakan puing-puing bangunan.
Kenzie Laurent dan adiknya Reinzie Laurent terpaksa harus berpisah demi keamanan mereka untuk menghindar dari kejaran dari seorang penghianat bernama Zarco.
hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, kedua pangeran itu memiliki jalan mereka masing-masing.
> dunia tidak kehilangan harapan dan cahaya, melainkan kegelapan itu sendiri lah kekurangan terangnya <
> "Di dunia yang hanya menghormati kekuatan, kasih sayang bisa menjadi kutukan, dan takdir… bisa jadi pedang yang menebas keluarga sendiri <.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENERIMA ARAHAN BARU
“Kenzie… Ada hubungan apa kau dengan kekaisaran Laurent?.."
"apakah kau pangeran dari kekaisaran laurent yang telah hancur itu?” katanya sambil menatapku
Suara Wulan terdengar pelan, namun matanya menatapku tanpa berkedip.
Aku tidak langsung menjawab.
Tenggorokanku seperti mengering.
Ada sesuatu yang ingin kutahan… tetapi tatapan Wulan tidak memberiku ruang untuk lari.
“Kenzie Laurent… jawab aku.”
Nada suaranya tidak keras, namun tegas—seolah ia menyentuh pintu yang telah kututup selama bertahun-tahun.
Perlahan aku mengangkat wajah.
Mata memerah, napas berat.
Dan untuk pertama kalinya…
Aku siap menceritakan semuanya.
__________.._________
__________.._________
Keheningan menggantung.
Identitas yang seharusnya menjadi kebanggaan—
kini bagiku hanyalah masa lalu yang kubenamkan dalam dasar jiwaku.
Udara di dadaku seakan tertahan.
Hari yang tenang berubah menjadi ruang sempit penuh bayangan yang selama ini kukunci rapat.
Apakah saat ini… aku harus mengatakannya?
Apakah hidupku akan berubah lagi setelah ini?
Apakah dia akan pergi kalau tahu siapa aku sebenarnya?
Namun Wulan hanya menatapku.
Bukan takut.
Bukan curiga.
Melainkan tenang… seolah memberi tahu bahwa aku aman untuk berbicara.
Pada akhirnya,
keheningan itu kupecahkan dengan suara yang hampir bergetar.
“… Iya.”
Aku menarik napas panjang.
“Aku adalah pangeran pertama Kekaisaran Laurent.”
Suara itu keluar pelan—
namun setiap kata menusuk dadaku seperti bilah dingin.
“Aku… Kenzie Laurent. Putra Valerius Laurent.”
Wulan tidak terkejut.
Tidak mundur.
Ia hanya menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis.
“Aku sudah menduganya,” katanya lembut.
“Pertama kali kita bertemu di Gunung Celestara…kau mengucapkan ‘Laurent’ dengan cara yang berbeda. Seolah nama itu ingin kamu ucapkan.”
Aku terdiam.
Jadi ia sudah merasa sejak awal?
“Lalu…”
Aku menelan ludah.
“Kenapa kau tidak menanyakannya dulu?”
Wulan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Karena identitasmu tidak mengubah apa pun.”
Tatapannya lembut, namun kukuh.
“Kalau pun semua orang melupakan kejayaan Kekaisaran Laurent…
kau tetap Kenzie.”
Ia mendekat selangkah.
“Bukan berarti kau harus menyembunyikan semuanya. Menanam kebencian dalam diri… sama saja dengan menghancurkan dirimu sendiri.”
Aku menunduk.
Andai semuanya sesederhana itu…
“Aku harus menyembunyikannya, Wulan.”
Nada suaraku hampir seperti gumaman.
“Jika ada yang tahu aku ada disini… aku akan diburu.
Zarco masih hidup.
Pemburu bayangan mungkin masih mengincar keturunan Laurent.”
Aku mengepalkan tangan.
“Dan aku… belum cukup kuat untuk menghadapinya”
Wulan tidak membantah.
Ia hanya mengangguk pelan.
“Kalau begitu,” katanya, “mulailah dari satu hal, belajar dari apa yang sudah kau lalui.”
Aku menatapnya.
Ia melanjutkan:
“Kemarahan tidak membuatmu kuat.
Penyesalan tidak membawamu maju.
Yang membuat seseorang meningkat adalah pengalaman, dan keberanian untuk menerobos batasnya sendiri.”
Ia mengangkat tangannya, menempelkan dua jarinya ke dadaku—tepat di pusat Ki.
“Kekuatanmu besar, Kenzie.
Tapi kau belum tahu cara mengendalikannya.”
Ada sesuatu di dadaku bergerak.
Ki-ku seperti bergetar merespons sentuhan itu.
“Untuk naik tingkat,” lanjut Wulan,
“ada dua cara:
Pertama, memaksa Ki-mu menembus lapisan batas tubuh.
Kedua, menyerap inti monster yang cocok dengan tahapmu, seperti inti monster level 3 yang paling tepat.”
Aku mengangguk.
Semuanya masuk akal.
"sebelumnya aku telah membunuh monster level 4 dan level 5.... Aku meninggalkan inti monster itu untuk kalian, bahkan inti monster level 6 aku tak mengambilnya sama sekali" ucapnya sambil mengingat kan kami
"apakah kalian telah mengambilnya.... Seharusnya semua inti monster itu bermanfaat untuk dirimu dan kedua teman mu itu".
Aku sedikit terkejut...
Kalau aku mengetahui manfaat inti monsternya seharusnya aku tak menjual semuanya.
"sebenarnya Wulan..." kataku dengan rasa canggung, "belum lama ini kami telah menjual semua ini monsternya.... Dan tidak ada satupun inti monster tersisa"
aku merasa bersalah karena telah menjual semua inti monsternya di toko itu
"apa... Kalian menjual semuanya!.." katanya dengan terkejut, "aduh...." Wulan menghela nafas panjang lalu berkata kembali, "baiklah kalau Begitu tak masalah.."
"maafkan aku Wulan"
Aku merasa lebih canggung karena tidak mengetahui hal yang sangat penting itu.
Tapi sesuatu dalam diriku tiba-tiba mendorong keluar sebuah keinginan yang sudah lama kupendam.
Keinginan ini.. selalu menjadi kemauan ku karena ingin menguji batas kemampuanku.
“… Wulan.”
“Hm?”
“Bertarunglah denganku.”
Wulan terkejut mendengarnya.
"apa yang ingin kamu coba lakukan?." tanyanya
"aku ingin melihat sampai mana batas kemampuanku!."
"Baiklah... kalau begitu ayo mulai.... Aku juga akan kasih kamu arahan jika ada yang kurang dari gerakamu"
Wulan tidak menolak permintaan dariku.
Ia juga siap memberikan yang terbaik untuk memberikan arahan padaku.
Pedangnya terangkat,—bersinar lembut di bawah cahaya matahari.
“Baik,” katanya, senyumnya samar.
“Mari kita lihat seberapa jauh batasmu.”
DUEL DI HUTAN ELYNDOR
Kami berdiri berhadapan.
Hanya lima langkah memisahkan kami.
Angin berhembus menusuk kulit, membawa aroma tanah lembap.
Aku menggenggam pedangku.
Ini bukan sekadar pertarungan.
Ini adalah langkah pertama menuju hidup yang baru.
“Serang kapan pun kau siap,” ucap Wulan.
"Baik aku mulai!... Persiapan dirimu"
Aku melesat.
Benturan pedang kami memecah udara, seperti petir yang saling menghantam.
Namun Wulan menangkisnya dengan mudah.
“Gerakanmu terlalu terburu-buru.”
Ia bergeser.
Ayunanku melebar.
“Kau memakai tenaga, bukan teknik.”
Aku menekan lebih kuat.
Ia hanya memutar tubuh dan menepuk pedangku dari samping hingga aku terhuyung.
“Kenzie… alur Ki-mu kacau.”
Aku menggertakkan gigi.
Tapi aku tidak berhenti.
Aku menyerang lagi.
Dan lagi.
Namun Wulan seperti membaca pikiranku sebelum gerakan itu terjadi.
Sampai akhirnya—
Ki-ku memantul ke dalam tubuhku sendiri.
“Ugh—!”
Aku terpental.
Namun Wulan menangkapku sebelum jatuh.
Duel berakhir dengan kesalahanku sendiri.
“Kenzie… ada yang aneh dalam tubuhmu,” katanya.
“Seperti penyimpanan Ki-mu terlalu besar untuk tahapmu.”
Aku menutup mata.
Merasakan dalam diriku…
Dan untuk pertama kalinya,
aku melihatnya:
DUNIA DALAM DIRIKU
Bukan titik energi.
Bukan ruang kosong.
Melainkan lautan.
Lautan Ki yang luas tanpa daratan.
Tanpa batas.
Tanpa pusat.
Gelombangnya tinggi…
dahsyat…
siap meledak kapan saja.
“… Ki-ku terlalu besar,” gumamku.
Wulan mengangguk.
“Dengan kondisi ini… kau butuh kontrol yang sangat ketat.
Jika tidak, Ki-mu akan selalu berusaha mengamuk. Saat pertarungan berlangsung".
Aku duduk bersila.
“Lalu ajari aku.”
Wulan tersenyum tipis, lembut.
“Tentu.”
Ia duduk di depanku, ujung jarinya kembali menyentuh pusat Ki.
“Tarik napas.
Fokus.
Dengarkan suara Ki-mu.”
Dunia luar mulai memudar.
Hanya ada detak jantung…
napas…
dan lautan tak bertepi di dalam diriku.
Gelombangnya mulai menurun.
Untuk pertama kalinya…
Ki itu mengalir dengan rapi.
Namun tiba-tiba—
gelombang besar muncul dari dasar lautan Ki.
Tubuhku bergetar.
Panas.
Wulan tersentak. “Kenzie—!”
Tapi aku sudah tenggelam terlalu dalam.
RAVA DAN LIERA DATANG
“Kenzie!!”
“Aku melihat cahaya di arah timur!”
Suara mereka samar, tapi semakin dekat.
Rava memegang batu giok putih kebiruan yang berdenyut kuat.
Liera membawa batu kembarannya yang menuntut mereka ke token yang aku miliki.
“Kami mengikuti pancarannya!” teriak Liera.
Mereka berhenti tepat di tepi lingkaran Ki.
Dan terdiam.
Aku duduk bersila di tengah pusaran Ki yang berputar seperti badai senyap.
Tanah retak.
Daun-daun melayang membentuk spiral.
Wulan berdiri di sampingku, menjaga agar energi itu tidak meledak.
“Dia… sedang menerobos batas,” ucap Wulan, suaranya penuh ketegangan dan kekaguman.
“Ini bukan kultivasi biasa.
Dunia dalam tubuhnya sedang berubah.”
Rava ternganga.
“A-apa ini normal…?”
“Tidak.”
Wulan menggeleng pelan.
Tatapannya melembut.
“… tetapi inilah Kenzie Laurent.”
Dan hutan Elyndor bergemuruh pelan…