NovelToon NovelToon
Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Poligami / Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Ilmu Kanuragan
Popularitas:348
Nilai: 5
Nama Author: Dimas riyana

Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERSIAP

Rangsam sudah tidak sabar, ia sangat bersemangat mengangkat peti-peti berisi tarkul, senjata api jenis senapan yang pendek, untuk pertarungan jarak dekat, dan inilah tugas tambahan yang prajurit senior katakan, mereka harus mengolesi bagian tarkul dengan minyak, agar performa tarkul dapat maksimal, tidak macet saat digunakan, tidak hanya itu tugas mereka, masih ada ribuan bola meriam yang harus dipoles agar mengkilap, karena dapat berpengaruh dengan kecepatan laju tembak. Walaupun kedengarannya melelahkan, Rangsam, Lodra dan kawan-kawan merasa senang dan penuh semangat menjalankan perintah.

“ Rangsam, bagaimana pendapatmu tentang kapal-kapal itu?”. Lodra bertanya kepada Rangsam yang asyik menggosok-gosok bola meriam.

“ Ku rasa kau sudah tau jawabanku, kita sama sama-sama mangap tadi”, Rangsam tidak sedikit pun menoleh ke Lodra ia tetap asyik dengan bola meriamnya. “ Seandainya seluruh penduduk desa ku di pulau Bawean, diajak naik kapal itu, mungkin masih ada sisa untuk kambing dan sapi, hehehehe”.

Pletaaaaakkkk !!!!

“ Hey bocah hitam kenapa kau memukul kepalaku, awas kau ya, jangan lari!!!”.

“ Hahahahahahahaha, maaf aku tidak sengaja, aku Cuma gemas saja hahahaha”, Lodra berlari sambil tertawa, diikuti Rangsam yang mengejarnya sambil melempar terompah miliknya.

“dasar kah bocah hitam, awas, jangan kabur!!!”.

“ hahahahaha, aku kan sudah minta maaf hahaha”..

“ tidak bisa semudah itu, hey, kemari kau, berhenti,!! Tunggu!!!!”.

“ Siapa mereka, tampaknya bersemangat sekali?”. pangeran Unus teralihkan perhatian kepada Rangsam dan Lodra.

“ampun gusti, hamba akan segera menegur dan menghukum mereka”.

“ Tidak usah keker, biarkan mereka bersenang-senang, karena sebulan kemudian yang akan mereka hadapi adalah pertempuran, pertempuran yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, aku pun tidak tahu, bagaimana nanti di medan perang, yang pasti, kita harus saling menjaga dan waspada”.

“ trimakasih atas kebijaksanaan gusti kepada prajurit, hamba sangat bersuka hati”.

“ Baiklah keker, persiapkan perjamuan, kita akan mengadakan doa bersama nanti malam”.

“ ngestuaken dawuh gusti ”.

Pangeran Unus, Putra mahkota dari Kesultanan Bintara, sosok yang gagah berani, kesatria dan berbudi pekerti luhur. Lahir di lingkungan istana tidak menjadikannya seorang yang sombong dan angkuh, bahkan sebaliknya, ia adalah calon raja yang bijaksana, ilmu agamanya tinggi, ilmu bela diri dan navigasi pun mumpuni, sudah tidak ada keraguan lagi bagi rakyat, bahwa Bintara akan jaya berada dalam naungan pangeran Unus.

“ keker, tolong panggilkan paman Wigardakusuma, ke bilikku, sedari tadi ia selalu menatap laut”.

“ baik gusti”. Sambil mundur dengan berjalan jongkok, Kapitan Joko keker meninggalkan bilik pangeran Unus, selang beberapa waktu, Raden Wigardakusuma menghadap.

“ Apa gerangan yang membuatmu memanggilku, wahai keponakanku?”.

“ paman, kenapa engkau selalu menatap laut belakangan ini, adakah sesuatu yang kau pikirkan?”.

“ Aku memikirkan saudaraku, pamanmu juga, apakah kau masih ingat?, kau masih kecil saat itu, dan Bintara masih menjadi vasal dari Kerajaan terdahulu yang dipimpin Ayahku. saat itu kami sedang mengadakan pelayaran menuju sebrang, kami sandar dulu di sini, ayahku bilang ingin minum air kelapa, setelah sandar, kami melanjutkan perjalanan, namun di tengah lautan kami menjumpai badai yang amat dahsyat. semua orang panik, hanya ayah dan kakakku yang terlihat tenang. ayahku bilang ini bukan badai biasa, dan benar saja, gulungan ombak berubah menyerupai manusia, dan perlahan-lahan jelas menjadi sesosok manusia tua yang bertengger di atas ombak. kami semua tercengang, hal yang di luar akal sehat manusia. kakakku berlutut di hadapan ayah, lalu memohon izin, ayah merestuinya, kemudian kakakku melompat ke lautan. seakan lautan adalah tanah yang keras, ia berlari menghampiri pak tua misterius itu, ombak bergulung menyerupai kurungan, dan sekejap melenyapkan mereka berdua”.

“ aku pernah mendengar cerita itu paman, seingatku paman Katong yang menceritakannya”.

“ ya, benar, ia berada di sana. ayah mu tidak mengetahui hal ini, bliau sedang ada di Palembang, hatiku sedih sekali, aku kehilangan saudara, aku kehilangan kakak, ayah pun sepertinya menyesal, namun ayah tetap percaya bahwa ia masih hidup”.

“ Kira-kira siapa si kakek tua itu paman? “.

“ Aku tidak tahu, yang jelas sepertinya ayah mengenal kakek tua itu, aku pun pernah menanyakan perihal ini, ayah hanya menjawab, ia adalah orang dari masa lalu yang diberkati Tuhan menjaga lautan, hanya itu yang kakekmu katakan”.

“ apakah paman beranggapan bahwa sekarang ia masih hidup?”.

“ Iya, aku selalu menanti kepulangannya”.

“ Jadi, itu alasan paman selalu menatap lautan, maafkan aku paman, aku membuat dirimu bersedih dengan pertanyaan ini, sekali lagi hamba mohon maaf paman”.

“ tidak papa anakku, kau menanyakan hal yang perlu kau ketahui, tidak papa, bangunlah”.

“ mohon maaf paman, niatku memanggilmu kemari adalah, aku ingin menanyakan kesiapan prajurit, kapal dan beberapa orang sebagai kelasi”.

“ Insyaallah semuanya sudah siap, dua puluh ribu pasukan inti, ditambah tiga ratus pasukan pendobrak, masing-masing dipersenjatai senapan pemuras dan tarkul. Tiga ratus kapal, masing-masing terdiri dari dua puluh Jung raksasa, delapan puluh Jung sedang, dan dua ratus kapal layar kecil dayung, setiap kapal Jung raksasa dipersenjatai enam puluh cetbang ukuran besar, setiap Jung sedang dipersenjatai sepuluh cetbang sedang dan empat cetbang besar, dan untuk kapal dayung layar kecil, dipersenjatai lima buah cetbang sedang. setiap kapal memiliki awak prajurit berkeahlian kelasi layar dan tukang kayu, jadi pangeran tidak usah khawatir, semuanya sudah siap dan dipersiapkan”.

“ Alhamdulillah, trimakasih paman, bagaimana dengan pasukan pendobrak bagian telik Sandi?”.

“ malam ini mereka berangkat, tujuan Sunda Kelapa, kemudian merapat ke Palembang, dan bergabung di hari penyerangan”.

“ trimakasih paman, nanti malam kita kenduri doa bersama, sekaligus melepas keberangkatan pasukan telik sandi”.

Selepas sholat isya, lapangan latihan dipenuhi dengan makanan, pisang, nangka, belimbing, jambu, tak lupa ingkung ayam, nasi tumpeng, bubur ketan, segala rupa ada, malam. Ini doa bersama, sekaligus melepas keberangkatan regu walet hitam. Kapitan Uzglu nampak tenang seperti biasanya, penuh dengan misteri, disanding dengan kapitan Joko keker, kapitan Raden Adji Soemitro, dan kapitan Raden Mas Oerip. Di barisan pengageng, tentu saja ada pangeran Unus, pangeran sepuh Wigardakusuma, Raden Mas Ulugoro, pembukaan kata diawali oleh Pangeran Unus.

“ Assalamu’alaikum warohmatulohi wabarakatuh, saudaraku sekalian, alangkah mulia dan luhurnya pengorbanan yang kalian berikan untuk negara, entah bagaimana kami membalasnya, walau dengan darah, kesetiaan kalian takkan terbayar, aku, menaruh hormat setinggi-tingginya pada kalian, saat ini kita masih Allah berikan kesempatan untuk bertemu, entah nanti selepas pertempuran, mungkin ada dari kita yang gugur, syahid dan bahagia berjumpa dengan-Nya, aku ucapkan terimakasih, aku mewakili negara, banyak berhutang budi pada kalian, nama dan jasa kalian akan selalu dikenang, sebagai sekarang bangsa, tak lekang harumnya, tak luntur namanya, selalu ada di sanubari setiap insan yang kalian perjuangkan, mulai saat ini, tinggalkanlah semua keraguan, pasrahkan jiwa dan raga kalian kepada sang pemiliknya, karena tugas suci yang teramat mulia ini, tidak semua orang mampu memikulnya, semoga Allah selalu beserta kita”.

Suara takbir menggema, menggetarkan hati-hati yang mendengarnya, tak ada lagi susah dan gelisah, yang ada tinggallah semangat perjuangan, mendapatkan bonus berupa syahid, itulah tujuan yang tertanam di hati mereka. Agama harus dibela, bangsa harus dijaga, tak ada satu bangsa pun yang boleh menorehkan noda, dengan segenap jiwa dan raga, mati pun mungkin adalah suatu hal awal hidup yang bahagia. Jikalau panah sudah lepas dari busurnya, pantang untuk kembali, jiwa-jiwa kesatria, perlahan tapi pasti, menjalar di setiap denyut dan rongga tubuh mereka, perang sabil, inilah kesempatan langka, belum tentu ada sekali seumur hidup. Bayangan bidadari sudah melambai-lambai di daun pintu surga, tak sabar rasa hati ingin menghampiri, namun tidaklah mudah, semua ada harga yang harus dibayar, melalui ridho Allah dan perjuangan diri, kenikmatan Surga adalah janji yang pasti.

Malam itu sangat sakral, seakan pintu langit terbuka, bintang-bintang seraya ikut bertakbir, menambah rasa dan getar alam Seantero Jawa, andai saja manusia dapat menyaksikan, mungkin triliunan malaikat ikut berkumpul dan mendoakan kejayaan Islam. Langit begitu terang, awan menyingkir memberikan jalan bagi doa-doa yang hendak naik ke langit, bahkan angin pun malu berhembus, membiarkan daun tetap pada tangkainya, agar zikir mereka menghiasi doa prajurit fii sabilillah.

Doa pun usai, takbir mulai meredup, semua orang berdiri, berpelukan satu sama lain, melepas sahabat dan sanak, regu walet ireng, malam ini berlayar, mengawali misi mulia, semoga dapat berjumpa lagi di laut melayu.

Layar sudah terkembang, jangkar sudah bersarang, saatnya bertawakal kepada pemilik langit, bumi dan lautan, berharap apa yang diperjuangkan, menjadi hak semua orang.

Rangsam hanya terdiam, melihat dari jauh siluet kapitan Uzglu yang lama-kelamaan menghilang ditelan malam, entah apa yang terjadi setelah malam ia dan Kapitan Uzglu bicara, apakah Uzglu benar-benar bertemu syech Abdul Karim, jika ia, mungkinkah itu pertemuan mereka yang terakhir, hanya Allah yang tau apa yang ada di langit dan di bumi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!