Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, royal, arogan, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untung banyak
Pusing kepala Arumi memikirkan kemana pergi keranjang dagangannya. Padahal setiap sudut rumah telah di cari, tapi tetap saja keranjang berisi dagangannya tidak juga di temukan. Dia juga sudah meminta bantuan tetangga untuk mencari keranjang jualannya itu, siapa tahu lupa meletakkannya dimana. Tapi sama saja, keranjang itu tidak juga ketemu.
''Perasaan tadi keranjang itu kuletakkan diatas meja. Tapi kok bisa hilang ya?'
***
Sore itu, Daniel singgah ke Rival Global, putrinya mengatakan kalau Ayang masih berada di sana. Turun dari mobil, Daniel, segera melangkah masuk ke dalam lobi. Meski usianya tidak lagi muda tapi pria lima anak itu tetap tegap dan gagah. Perutnya masih rata, meski tanpa ada ukiran garis garis melintang di sana.
Sapaan para karyawan di balasnya dengan senyum ramah. Raut wajah tidak lagi dingin seperti dulu. Sekarang dia lebih ramah pada orang-orang kecil, terlebih pada para karyawan di perusahannya. Ibarat padi, semakin berisi semakin menunduk.
Tiba di puncak tertinggi gedung, kakinya melangkah keluar dari lift, menuju ruangan yang dulu pernah di tempatinya.
"Tuan," sapa Regan yang kebetulan keluar dari ruangannya.
Daniel menghentikan langkah, menoleh ke arah ruang kerja yang bersebelahan dengan ruangnya dulu. Tadinya ia ingin lansung menemui istrinya, tapi malah bertemu dengan tangan kanannya. "Regan, aku ingin bicara sebentar."
Regan yang tadinya ingin ke ruangan Azkia, cepat-cepat kembali keruang kerjanya dan membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Daniel masuk. "Silahkan, tuan!"
Daniel mengangguk sebelum masuk ke ruangan itu. Sofa panjang yang ada disana menjadi tempatnya melabuhkan duduk.
"Regan, duduk lah," perintah Daniel menunjuk sofa di depannya menyuruh Regan yang masih berdiri mematung agar duduk.
Regan mengangguk, lalu mengikuti perintah tuannya. Dia tidak akan berani duduk sebelum di perintahkan. Begitu lah ia menghormati tuannya itu.
"Apa kau sudah menyuruh orang mencari keberadaan putraku?" tanya Daniel memulakan obrolan.
"Sudah tuan, tadinya saya ingin keruangan non Azkia, menyampaikan dimana keberadaan tuan muda sekarang," jawab Regan. Ponsel dalam saku di keluarkan, lalu membuka galeri ingin menunjukkan video yang di kirimkan anak buahnya sebentar tadi. "Silahkan dilihat, tuan."
Daniel mengambil ponsel yang di ulurkan Regan dan melihat video yang tampil di layar.
Berkerut keningnya melihat putra semata wayangnya yang sedang membawa keranjang merah dan menawarkan pada orang-orang barang di dalam keranjang itu. "Apa yang dia lakukan?" tanyanya masih memperhatikan video.
"Menurut orang yang saya perintahkan, katanya tuan muda sedang menjual nasi goreng."
"Menjual nasi goreng?" Kening Daniel semakin berkerut mendengar jawaban Regan.
"Menurut anak buah kita memang begitu, tuan."
Lama-lama Daniel tertawa kecil tidak percaya jika putranya yang satu itu mau berpanas-panasan menjajakan nasi goreng pada orang-orang. Tidak merasa gengsi dan malu sama sekali.
Regan menggaruk alis, heran melihat tuannya yang malah tertawa sendiri. "Tuan," panggilnya. Takut saja tuannya itu stres atau kesurupan jin.
Sekilas Daniel melirik Regan, lalu kembali melanjutkan menonton video sambil senyum-senyum sendiri.
"Sekarang bagaimana, tuan?" tanya Regan.
"Bagaimana apanya?" Daniel balik bertanya.
"Hmm, maksud saya, apa tuan muda harus di bawa pulang sekarang?"
Daniel menggeleng tanda tidak setuju. "Jangan Biarkan saja. Aku mau tahu apa yang dia inginkan. Karna aku lihat, dia seperti senang melakukan hal itu tanpa ada paksaan. Kau tahu sendiri bagaimana dia selama ini. Jangankan untuk bekerja, datang kesini saja dia tidak mau. Dan kau tahu, Regan? Seharian ini dia juga tidak ada menggunakan uang dalam kartu yang ada padanya. Artinya, seharian ini dia bertahan hidup menggunakan uang hasil usahanya sendiri. Bukankah itu perubahan yang bagus?"
Regan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tidak mengerti yang di maksud tuannya.
"Ah, sudahlah. Nanti kau juga tau. Jangan beritahukan keberadaan Azam pada istriku. Kalau dia bertanya bilang saja, orang-orangmu masih berusaha mencarinya. Aku mau melihat apa yang dia inginkan."
"Tapi, tuan. Apa tidak bahaya? Bagaimana kalau ada orang yang tahu siapa tuan muda sebenarnya dan memanfaatkannya?"
"Perintahkan orang untuk menjaga dia. Tapi jangan sampai ketahuan. Berikan laporan apa saja yang di lakukannya di luar sana."
Regan mengangguk mulai paham dengan maksud tuannya. "Baik tuan."
***
Uang 200.000 di tangan di ciumnya berkali-kali sambil menenteng keranjang jualan.
'Ternyata mencari uang itu gak sulit. Kalau begini setiap hari, pasti gak lama lagi gue akan sukses dengan usaha sendiri. Seandainya dalam sehari, gue berhasil menjual 20 kotak nasi goreng. Gue akan dapat untung 350000. Ini saja 8 kotak nasi goreng, gue sudah dapat untung 140. 000. Coba tadi kalau nasi gorengnya gak gue makan 2 kotak, pasti penghasilan gue sehari ini 175. 000. Tapi gak apa-apa, yang penting perut gue kenyang.'
"Kalau di pikir-pikir, kasihan juga si buta, seandainya gue bayar satu kotak nasi gorengnya seharga 7500. Masa untung gue lebih besar dari dia. Kalau begitu nanti gue letakkan saja harga satu kotak nasi gorengnya seharga 10.000. Kalau begitu uang 200.000 ini untuk dia 100. 000. Dan untuk gue 100.000."
Uang di masukkan ke dalam saku dengan tempat yang terpisah. Uang miliknya di letakkan di saku depan, sedangkan untuk Arumi di letakkan di saku bagian belakang.
'Sekarang gue harus kemana lagi ya? Ah, mending gue ke tempat bocah itu saja, sekalian mau traktir dia. Kan gue lagi untung banyak.'
***
Aril tertegun memandang makanan yang terhidang di hadapannya. Semua makanan-makanan di atas piring itu begitu menggugah seleranya.
"Lu kenapa bengong aja? Lu gak suka makanannya?" tanya Azam yang duduk berhadapan dengan bocah laki-laki yang masih menggunakan rompi Juru Parkir.
Aril tersentak, lalu menggeleng. "Bukan. Aril suka. Tapi..."
"Tapi apa?" potong Azam tak sabaran.
"Semua makanan ini boleh di bungkus nggak. Aril mau makan sama kak Rumi di rumah. Pasti Kakak suka dengan semua makanan ini."
"Ishk, ribet banget hidup lu. Mau makan aja pakai ingat orang segala. Ya udah, sekarang lu makan aja semua makanan ini. Nanti gue bungkusin juga buat Kakak lu."
"Benaran?" tanya bocah itu memastikan.
"Iya. Sudah, cepatan makan. Keburu sore ntar, lu gak mau kan di marahi Kakak lu."
Bocah itu mengangguk. Sekilas ia melirik meja di depan Azam yang hanya ada segelas air putih. "Abang kok gak makan?"
"Gue masih kenyang. Sudah, cepat habisin makanan lu."
Bocah itu pun menurut, tangan di masukkan ke dalam kobokan, lalu kedua tangan di tadahkan membaca doa sebelum menyantap makanan di dalam piring.