Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Cinta yang Utuh
Matahari sudah bergeser ke barat. Sinar oranye mengintip dari jendela kamar mereka yang terbuka sedikit. Di dalam, Radit dan Rumi duduk bersandar di tempat tidur. Rumi menyandarkan kepala di bahu suaminya, merasa nyaman dalam keheningan yang damai.
Tiba-tiba, Radit bangkit pelan.
"Eh, Mas mau ke mana?" tanya Rumi setengah malas.
"Bentar aja," jawab Radit sambil mengambil kotak kecil berwarna biru dari laci nakas.
Ia kembali ke ranjang, duduk menghadap Rumi. Wajahnya serius, tapi sorot matanya tetap hangat.
"Aku pengen kasih ini dari kemarin, tapi belum nemu waktu yang pas," ucapnya sambil menyerahkan kotak itu.
Rumi mengerutkan dahi. "Apa ini?" tanyanya pelan.
"Buka aja."
Dengan tangan sedikit gemetar, Rumi membuka kotak itu.
Isinya adalah sebuah kalung berlian halus, dengan liontin dua huruf 'R' kecil berbalut emas putih─Rumi dan Radit. Gemerlapnya menangkap cahaya sore, berkilau di mata Rumi yang kini memerah karena haru.
"Mas ..." bisik Rumi, nyaris tak percaya.
Radit tersenyum tipis. "Aku tahu ini cuma benda. Tapi aku pengen kamu pakai ini setiap hari, biar kamu gak pernah lupa satu hal."
"Apa?"
"Kalau kamu adalah satu-satunya wanita yang bisa bikin aku percaya lagi. Dan kamu bukan cuma istri kontrak. Kamu adalah bagian dari aku sekarang."
Rumi tak bisa menahan air mata. Tapi bukan karena sedih. Karena hatinya penuh.
"Boleh aku pasangin?" tanya Radit lembut.
Rumi hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.
Radit berdiri pelan, menyibakkan rambut Rumi ke samping, lalu mengalungkan kalung itu ke lehernya. Jari-jarinya hangat, sentuhannya pelan. Setelah terpasang, Radit mengecup lembut bahu istrinya.
"Cantik banget," gumamnya.
Rumi menoleh. "Kalau aku bilang aku cinta kamu ... terlalu cepat gak?"
Radit menatap dalam, lalu menjawab pelan. "Nggak ada kata terlalu cepat untuk sesuatu yang nyata."
Ponsel Radit bergetar. Rumi yang sedang duduk di dekat Radit menoleh cepat karena suara getarannya cukup keras di ruang yang hening.
Radit mengambil ponselnya dan layar menyala. Tapi yang terlihat hanya setengah, karena dia buru-buru menutupnya. Terlambat. Rumi sudah membaca sepintas.
- Nauval
Dit, kontrak itu tinggal beberapa hari lagi. Udah siap dengan keputusanmu?
Rumi diam. Senyumnya langsung pudar. Tangannya yang tadi memeluk lengan Radit, kini menggantung.
"Mas ...." Suaranya pelan. "Aku lupa. Kita masih hidup di bawah kontrak, ya?"
Radit berhenti. Menghela napas. Ia tahu, cepat atau lambat, percakapan ini harus terjadi.
"Rum, aku minta maaf. Harusnya aku yang bilang duluan. Aku—aku enggak mikirin kontrak itu lagi."
Rumi tertawa kecil, getir. "Tapi kontraknya tetap ada, Mas. Hitungan mundurnya tetap berjalan."
Radit mendekat, menarik Rumi hingga jatuh ke pelukannya. "Biarin hitungannya selesai. Karena setelah itu, aku mau semuanya dimulai ulang. Tanpa perjanjian. Tanpa tanda tangan. Cuma aku dan kamu. Sebagai suami dan istri yang sesungguhnya."
Kemudian Radit berdiri. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sesuatu dari laci meja. Selembar kertas kontrak yang selama ini membatasi hubungan mereka.
Rumi menoleh, melihat Radit berdiri dengan tatapan penuh tekad.
"Rum," suara Radit berat tapi mantap. Ia mengangkat surat itu. "Ini kontrak yang dulu kita sepakati. Tentang waktu, tentang syarat, tentang batas. Tapi sekarang …"
Srakk.
Radit merobeknya menjadi dua bagian, lalu meremas sisa-sisanya hingga tak lagi terbaca. Ia meletakkan potongan itu di meja.
"Sekarang, aku enggak mau ada batas lagi antara kita."
Rumi menatapnya. Matanya berkaca. "Mas .…"
Radit mendekat, menggenggam tangan istrinya.
"Mulai hari ini, kamu bukan lagi istri kontrak. Kamu istriku. Penuh. Utuh. Tanpa syarat."
Rumi tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya memeluk Radit, membenamkan wajah di dadanya. Dan di situ, ia tahu. Radit bukan lagi pria yang menyembunyikan perasaan.
...****************...
Hari itu matahari bersinar cerah. Rumi berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah ringan. Pipinya tampak lebih segar, senyumnya muncul tanpa dibuat-buat. Anak-anak menyapa seperti biasa, tapi tak sedikit yang memperhatikan gurunya dengan tatapan penasaran.
Di ruang guru, Novi sedang menyeruput kopi sambil memandangi Rumi dari ujung meja.
"Tumben aura kamu cerah banget, Bu Rumi," godanya dengan senyum penuh makna. "Habis disiram air bunga kali ya semalam?"
Rumi tertawa kecil sambil membuka buku pelajaran. "Ngaco, deh."
"Tapi serius," Novi meletakkan cangkirnya, bersandar sambil menyilangkan tangan. "Kamu beda. Tatapanmu lebih lembut, bahumu enggak setegang biasanya. Kayaknya ada yang bikin kamu bahagia, ya?"
Rumi terdiam sebentar. Wajahnya memerah. Tangannya berhenti mengambil alat-alat untuk kesiapan mengajar pagi ini.
Novi memajukan tubuhnya, berbisik, "Jangan-jangan ... kamu dan Mas Radit?"
Rumi akhirnya tersenyum malu. "Iya."
Novi berseru pelan, "Astaga! Beneran?! Cerita, dong!"
Dengan sedikit kikuk tapi bahagia, Rumi mulai bercerita. Tentang malam itu, tentang pelukan yang bukan sekadar fisik tapi juga hati, dan tentang kontrak yang sudah tidak ada lagi.
"Aku akhirnya merasakan dicintai tanpa ragu. Dia benar-benar nunjukin kalau aku berarti. Bukan karena surat, bukan karena kesepakatan, tapi karena aku adalah istrinya."
Novi menatapnya lama. "Akhirnya," bisiknya, lalu tersenyum penuh haru. "Kamu pantas bahagia, Rum. Dan kamu dapet itu sekarang."
Di ruang kerjanya yang modern dan luas, Radit berdiri menghadap jendela kaca besar, memandang gedung-gedung tinggi di kejauhan. Cahaya matahari menyinari setelan jas hitamnya. Wibawanya tak main-main hari ini.
Pintu diketuk. Nauval masuk sambil membawa tablet.
"Semua dokumen tender sudah ditandatangani, Dit. Selamat, proyek besar ini resmi jadi milik kita."
Radit menoleh dan tersenyum tipis. "Alhamdulillah .…"
Tapi senyumnya bukan sekadar karena bisnis. Ada yang lain.
"Aku mau rayain ini, Val," ujarnya tiba-tiba.
Nauval mengangkat alis. "Pesta?"
"Iya. Tapi bukan cuma untuk proyek." Radit duduk, menyilangkan kaki. "Aku mau kenalin Rumi. Di depan semua kolega dan rekan bisnis. Biar mereka tahu, dia istriku. Satu-satunya."
Nauval tersenyum mengerti. "Wah, akhirnya keluar juga pengumuman resminya. Aku senang, kamu berani membuat keputusan."
"Pilih ballroom hotel kita yang paling besar. Aku mau acara ini berkelas, elegan, tapi tetap hangat. Tidak hanya pesta kemenangan perusahaan, tapi juga momen aku menempatkan Rumi di tempat yang seharusnya."
Nauval mencatat sambil mengangguk. "Baik, Dit. Aku akan siapkan semuanya. Tema, undangan, catering, dekorasi—full glamor tapi tetap romantis."
Radit menatap sahabatnya, kali ini lebih lembut. "Dia sudah terlalu lama merasakan hanya sebagai ‘istri kontrak.’ Sekarang saatnya semua orang tahu, Rumi adalah bagian dari hidupku. Sepenuhnya."
...****************...
Suasana riuh dengan anak-anak TK yang baru saja dijemput. Rumi berdiri sambil menunggu jemputan. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang. Dari dalam, keluar seorang pria tinggi, rapi, dan berwajah serius, Nauval.
"Selamat siang, Bu Rumi. Saya diminta Pak Radit buat jemput, beliau ada meeting mendadak."
"Oh, iya. Makasih banyak, Mas Nauval."
Dari arah lain, Novi menghampiri. Baru saja keluar dari ruang guru dan langsung terpaku melihat Nauval.
Novi berbisik cepat ke telinga Rumi. Ekor matanya melirik-lirik Nauval yang juga menyadari itu. "Astaga, Rum, siapa itu?! Ganteng banget kayak keluar dari drama Korea!"
Rumi tersenyum geli. Sahabatnya ini memang tidak bisa melihat yang bening-bening. "Itu asisten pribadinya Mas Radit. Namanya Mas Nauval."
"Hah? Asistennya? Astaga, Rum, please, kamu harus dapetin nomor dia buat aku. Sumpah demi persahabatan kita."
"Novi, aku belum tentu bisa minta, lho."
Ekspresi Novi berubah memelas. Dirinya juga bergelayut manja pada lengan Rumi. "Kalau kamu nggak bantu, aku mogok ngajarin anak-anak seminggu penuh!"
Rumi tertawa pelan. Bisa repot dia kalau Novi benar-benar mogok kerja. "Aku usahain, ya. Tapi jangan lebay, ah."
Senyum Novi merekah lebar. Wajahnya berubah ceria. "Dia tipe aku banget, Rum. Matanya tuh kayak nyimpen rahasia gitu. Aduh ...."
Nauval tersenyum lembut, sabar menunggu Rumi hingga selesai.
"Kita jalan, Bu?" tanya Nauval dengan sopan.
Rumi mengangguk, lalu melirik Novi yang berusaha nahan senyum saat Nauval tak sengaja melihat ke arahnya.
"Namanya Nauval. Tunggu aku, calon cinta pertamaku yang kesekian," jerit Novi dalam hati.