Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Malam ini di mansion keluarga Anderson yang sunyi, Petricia mondar-mandir di kamarnya yang gelap. Jam di dinding terus berdetak, setiap detik terasa seperti siksaan. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara kecemasan dan antisipasi yang membakar. Sudah beberapa jam sejak Reza meneleponnya, mengonfirmasi bahwa mereka akan bergerak malam ini. Ia sudah tidak bisa tidur. Bayangan Max dan Leticia yang sedang tidur pulas di apartemen mereka, lalu tiba-tiba diserbu oleh anak buah Reza, memenuhi benaknya. Ia membayangkan Leticia ketakutan, berteriak, dan akhirnya... menghilang. Seringai tipis muncul di bibirnya. Ini adalah akhir dari Leticia yang telah mengambil segalanya darinya.
"Semoga ini berhasil," gumamnya, jari-jarinya meremas ponselnya. Ia tahu Reza adalah orang yang kejam, tapi kali ini ia benar-benar membutuhkannya. Taruhannya terlalu tinggi. Jika Reza gagal, konsekuensinya akan jauh lebih buruk daripada yang bisa ia bayangkan. Dalang di baliknya tidak akan mengampuni.
Sedangkan di apartemen mewah Max, suasana terasa mencekam. Suara 'klik' dari pintu depan tadi telah mengkonfirmasi ketakutan Leticia. Ia segera bertindak, naluri jenderalnya mengambil alih. Max yang masih setengah mengantuk kini sepenuhnya siaga, pistol di tangannya terasa dingin dan berat.
"Max, cepat! Pakai bajumu!" Leticia berseru, suaranya rendah namun penuh urgensi. Ia sudah mengambil posisi siaga, memegang lampu tidur yang berat sebagai senjata darurat.
Max dengan cepat memakai celana dan kausnya. "Tetap di belakangku, Tia. Aku akan periksa," katanya, menunjuk ke arah pintu kamar tidur.
"Tidak! Kau di belakangku!" Leticia menukas tegas, melangkah maju. Matanya menyala dengan tekad. "Kau tidak punya pengalaman bertarung seperti ini. Biar aku yang di depan."
Max menggelengkan kepalanya keras. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu di depan. Aku suamimu, Tia. Melindungimu adalah tugasku." Ia melangkah di depan Leticia, menutupi tubuh mungil istrinya dengan tubuhnya yang kekar. Pistolnya terangkat, siap.
"Max, dengarkan aku!" Leticia mencoba menarik lengannya. "Aku tahu apa yang kulakukan. Aku lebih berpengalaman dalam situasi seperti ini. Kau mungkin punya senjata, tapi—"
"Tidak ada tapi!" Max memotongnya, pandangannya lurus ke depan. "Kita tidak punya waktu untuk berdebat. Tetap di belakangku. Itu perintah." Suaranya tidak bisa dibantah.
Leticia menggertakkan giginya. Ia tahu Max keras kepala. Dalam situasi normal, ia akan membantah dan merebut posisi di depan. Tapi kini, ada rasa aneh yang campur aduk: kekesalan karena Max meremehkannya, namun juga rasa tersentuh oleh tekadnya untuk melindungi. Ia memutuskan untuk mengikuti Max, untuk saat ini. Ia bisa bertindak jika Max dalam bahaya.
Suara langkah kaki di koridor apartemen semakin jelas, diiringi bisikan-bisikan kasar. Max mengepalkan pistolnya, menahan napas. Pintu kamar tidur sedikit terbuka, dan bayangan-bayangan mulai terlihat.
"Siapa di sana?!" Max berteriak, suaranya menggelegar.
Tiga sosok berbadan besar dengan topeng ski hitam (ala ala perampok hahahaha) di wajah mereka menyerbu masuk. Mereka membawa pisau dan tongkat besi. Max tanpa ragu menembakkan pistolnya ke arah salah satu penyerang. Peluru itu mengenai bahu penyerang, yang sontak menjerit kesakitan dan ambruk.
Dua penyerang lainnya langsung menyerbu Max. Max menghindar dengan cekatan, menembakkan satu peluru lagi yang mengenai kaki penyerang kedua.
Namun, penyerang ketiga lebih cepat. Ia mengayunkan tongkat besi ke arah kepala Max.
Leticia melihatnya. "Max! Awas!" teriaknya, mendorong Max dengan seluruh kekuatannya, membuat Max kehilangan keseimbangan. Tongkat besi itu hanya mengenai bahu Max, menimbulkan suara buk yang keras dan membuat Max meringis.
"Sialan!" Max mengumpat, berbalik dan menembak penyerang ketiga. Kaki penyerang itu tersandung, dan ia terjatuh.
"Kau tidak apa-apa, Max?!" Leticia bertanya panik, mendekat ke Max, mengabaikan bahaya di sekeliling.
"Aku tidak apa-apa! Jangan khawatirkan aku!" Max balas berteriak. "Fokus!"
Mereka tidak menyadari, di balik semua kekacauan ini, ada sebuah pengkhianatan yang mendalam. Para penjaga yang seharusnya siaga di pos-pos mereka di lantai apartemen dan lobby utama, kini terkapar tak berdaya. Beberapa dari mereka mengerang, yang lain sudah tak sadarkan diri sepenuhnya.
Penyebabnya adalah obat tidur dosis tinggi yang dimasukkan ke dalam minuman dan makanan mereka. Dan pelaku penyusupan ini adalah Rendi, salah satu orang kepercayaan Max yang bertanggung jawab atas logistik dan makanan pengawas malam.
Rendi, yang selama ini terlihat loyal, ternyata telah membelot ke kubu Reza, termakan godaan uang dan ancaman dari dalang yang jauh lebih besar. Dialah yang memasukkan obat tidur itu, dan dia juga yang memberikan denah detail apartemen serta jadwal pergantian shift penjaga.
Di tengah pertarungan, Max berhasil melumpuhkan penyerang ketiga dengan tendangan tepat ke dada. Namun, saat itu, pintu kamar terbuka lebih lebar.
Sosok tinggi tegap melangkah masuk. Ia mengenakan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya, hanya menyisakan celah untuk mata yang tajam dan dingin. Aura mematikan terpancar darinya. Ya! dialah Reza
Reza melirik sekilas pada anak buahnya yang terkapar, tanpa ekspresi. Matanya terpaku pada Max dan Leticia. Ia mengangkat pistolnya, mengarahkannya langsung ke dada Max.
Leticia melihat gerakan itu. Secepat kilat. Ia tahu Reza adalah penembak jitu. Waktu terasa melambat. Insting sang jenderal berteriak. Ia tidak bisa membiarkan Max terluka.
"MAX! MINGGIR!" Leticia menjerit, mendorong Max dengan seluruh sisa tenaganya, sambil menarik tubuh Max sedikit ke samping.
DOR!
Suara tembakan menggelegar memecah keheningan malam. Max tersentak. Ia merasakan panas menyengat di sisi tubuhnya. Ia melihat ke bawah, darah mulai merembes dari bahu kirinya. Tembakan itu meleset dari jantungnya, tepat ke bahunya, bukan alat vital yang berbahaya. Itu berkat dorongan Leticia.
"MAX!" Leticia menjerit, kali ini jeritan kepanikan yang tulus. Ia melihat darah Max. Wajahnya memucat, matanya berkaca-kaca. Air mata mulai mengalir. Dia tidak peduli dengan bahaya, yang ia pedulikan hanya Max. Panik. Tangan dingin sang jenderal, kini bergetar hebat.
Reza melihat kepanikan di mata Leticia. Ia menyeringai di balik topengnya. Ini adalah kesempatan. Ketika seseorang panik, pertahanannya melemah. Ia mengarahkan pistolnya lagi, kali ini ke arah Leticia, membidik kepalanya.
Namun, sebelum jari Reza berhasil menarik pelatuk, tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras dari pintu utama apartemen. Beberapa sosok berseragam hitam, jauh lebih terlatih dan bersenjata lengkap, menyerbu masuk.
"Serahkan dirimu, Reza!" suara Bram menggelegar. Tim Bram, yang dipimpin langsung oleh Bram sendiri, bergerak cepat dan terorganisir.
Reza terkejut. Ia tidak menyangka ada pasukan tambahan yang bisa menembus keamanannya. Ia sempat bingung, sejenak kehilangan fokus. Tim Bram memang bergerak cepat karena Bram sudah merasa ada yang tidak beres sejak ia tidak bisa menghubungi beberapa anggotanya yang berjaga di apartemen Max. Firasatnya, dan kekhawatiran Max, telah menyelamatkan mereka.
Seketika itu juga, dua anggota tim Bram melompat ke arah Reza, melumpuhkannya dalam hitungan detik. Reza meronta, namun cengkeraman mereka terlalu kuat. Pistolnya terlempar, dan topengnya terlepas, memperlihatkan wajahnya yang datar namun kini dipenuhi kemarahan.
Sementara itu, Leticia dengan air mata bercucuran memegangi bahu Max yang berdarah. "Max... Max, kau tidak apa-apa? Bertahanlah!"
Max tersenyum samar, mencoba menahan rasa sakit. "Aku... aku baik-baik saja, Tia. Aku tidak akan kenapa-kenapa." Ia mengelus pipi Leticia dengan tangannya yang tidak terluka. "Syukurlah kau aman."
Bram segera menghampiri mereka. "Tuan Max! Nona Leticia! Kalian baik-baik saja?" Ia melihat Max yang terluka dan Leticia yang panik.
"Segera panggil tim medis! Dan amankan tempat ini!" Bram menatap Reza yang sudah diikat.
"Kalian cari tahu siapa Rendi! Bawa dia kemari!"
Di tengah kekacauan, Leticia menatap Reza yang sudah tak berdaya, lalu ke arah Max yang kesakitan. Amarah dan dendam membara di hatinya. Ini belum berakhir. Ia tahu dalang di balik semua ini masih berkeliaran bebas. Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah keselamatan Max.