Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Dinding yang Mengawasi
Menjadi tabib utama di istana ternyata lebih melelahkan daripada yang Seraphyne bayangkan. Pagi belum benar-benar menjelang saat para pelayan sudah mengetuk pintu ruangannya, membawa daftar panjang penyakit, permintaan ramuan, hingga permohonan penyembuhan langsung dari keluarga kerajaan maupun bangsawan istana.
Balai pengobatan di sayap timur kini tidak pernah sepi. Para pengawal yang luka dalam latihan, dayang-dayang yang terserang demam musim, hingga para penasihat tua yang mulai digerogoti penyakit usia—semuanya datang dan berharap keajaiban dari tangan Seraphyne.
Rae dan Mareen setia membantu, meski wajah mereka tampak kelelahan seperti dirinya. Rae mengelola catatan obat dan menerima keluhan pasien, sementara Mareen sibuk meracik ramuan dan mengatur antrian para pasien agar tidak kacau. Tapi tetap saja, tangan dan energi Seraphyne terkuras jauh lebih cepat dari biasanya.
Hari itu, ia hampir tak sempat duduk sejak fajar. Tangannya terasa mati rasa karena terlalu lama menekan luka, menyembuhkan tulang yang patah, dan menyalurkan energi batu api secara terkontrol.
"Ini pasien ke dua puluh enam hari ini, Ephyra," bisik Rae khawatir sambil membawa seorang anak kecil yang menggigil demam tinggi. “Mungkin kita perlu istirahat sejenak.”
Seraphyne hanya mengangguk pelan, menaruh tangan di dahi anak itu. Energinya mulai tipis, tapi ia tak bisa berhenti.
Yang membuat semuanya lebih berat adalah kehadiran Thalean—atau lebih tepatnya, absennya yang menyebalkan.
Meski pria itu jarang muncul langsung, Seraphyne tahu ia diawasi. Dinding istana... bisikan lorong... udara yang membeku setiap kali ia menyalurkan kekuatan batu api... semua adalah mata dan telinga Thalean. Bahkan saat ia sendirian, ia merasa ada sesuatu yang memperhatikan. Seakan bayangan Thalean menempel pada setiap ukiran tembok, pada setiap kain yang tertiup angin, pada setiap lantai marmer yang dipijaknya.
Seraphyne tak berani menyentuh terlalu banyak kekuatan batu. Ia takut Thalean mencurigainya. Tapi di saat bersamaan, istana menuntut keajaiban darinya—dan hanya kekuatan itu yang bisa menyelamatkan banyak nyawa dalam waktu singkat.
Sore hari, saat Mareen memberinya secangkir air jahe hangat, Seraphyne akhirnya terduduk di kursi. Bahunya lunglai, pelipisnya basah oleh keringat.
“Kalau terus begini, kau akan jatuh, Ephyra,” gumam Mareen, nada suaranya tak sekadar prihatin. “Istana ini bukan tempat bagi penyembuh biasa... apalagi penyembuh yang tengah sakit hati.”
Seraphyne menatap kosong ke arah jendela yang menghadap taman istana. Ia pernah menjadi ratu di tempat ini. Kini ia hanya pelayan yang diawasi setiap gerakannya.
Dan entah sampai kapan ia bisa bertahan di dalam jeruji megah bernama istana.
...****************...
Alvaren berdiri di koridor belakang istana, tempat angin berhembus lebih dingin dan sunyi dari lorong-lorong lainnya. Ia bersandar pada tiang batu, matanya mengarah ke sayap timur—balai pengobatan tempat Seraphyne kini menghabiskan hari-harinya. Sudah tiga hari sejak mereka terakhir berbicara lebih dari beberapa patah kata. Dan tiga hari itu cukup untuk menanamkan gelisah yang mencengkeram di dalam dirinya.
“Dia belum keluar lagi,” gumamnya.
“Karena ia sibuk menyelamatkan semua orang, seperti biasa,” jawab Rae yang mendadak muncul dengan langkah cepat dan sekotak linen bersih di pelukannya.
Alvaren menoleh cepat. “Dia masih di dalam?”
Rae mengangguk. "Dia bahkan belum makan apa-apa hari ini."
"Apa dia tidak memikirkan dirinya sendiri?"
Rae menghela napas sambil memperhatikan Seraphyne di dalam balai pengobatan. Saat tengah malam, setelah mereka selesai mengobati orang maka Seraphyne akan berendam dalam air es untuk menetralkan batu api di dalam tubuhnya. Dia dan Mareen sadar jika air es tidak selalu bisa menjadi solusi karena tubuh itu sudah melemah dan cepat lelah.
Hari-hari berikutnya semakin membuat Alvaren khawatir.
Alvaren berdiri di balkon sayap barat istana, tempat para prajurit biasa berlatih pagi hari. Namun, matanya tidak tertuju pada arena latihan. Ia menatap jauh ke arah bangunan balai pengobatan—tempat di mana Seraphyne menjalani hari-harinya.
Laporan yang ia terima dari pasukannya membuat dadanya sesak. Seraphyne bekerja sejak fajar hingga malam tanpa jeda, menangani puluhan pasien dalam sehari. Ia mendengar dari Rae bahwa tubuh Seraphyne sempat menggigil hebat beberapa malam lalu, dan dari Mareen bahwa Seraphyne sempat muntah darah diam-diam.
"Ini bukan pengabdian," gumam Alvaren. "Ini pengorbanan buta."
Ia berjalan cepat menuju balai pengobatan, tak peduli pada jadwal pelatihan yang semestinya ia pimpin. Begitu tiba, ia harus menunggu sejenak karena antrian di dalam masih panjang. Tapi saat melihat Rae keluar untuk mengambil ramuan tambahan, ia segera memanggilnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Alvaren langsung.
Rae tampak ragu, lalu berkata pelan, “Dia menolak istirahat, panglima. Bahkan tadi sempat linglung. Kami sudah mencoba membujuknya. Tapi dia... keras kepala.”
Tanpa menunggu lebih lama, Alvaren melangkah masuk. Di sana, ia melihat Seraphyne tengah berlutut di samping seorang pria tua dengan luka bakar di dada. Tangan Seraphyne gemetar saat menyentuh kulit melepuh itu, bibirnya pucat, napasnya berat.
“Cukup,” suara Alvaren menggema, tegas namun penuh ketakutan.
Semua orang di ruangan itu menoleh. Seraphyne mendongak pelan, kaget melihat sosok tinggi berjubah hitam berdiri di ambang pintu.
“Alvaren...”
Ia melangkah mendekat, menyingkirkan semua pandangan kaget. Tanpa berkata apa pun, ia membungkuk, meraih kedua lengan Seraphyne, dan mendongakkannya pelan. Tubuhnya dingin. Matanya merah. Napasnya berat.
“Lihat dirimu,” bisiknya lirih. “Kau membakar dirimu sendiri demi mereka... tapi siapa yang akan menyembuhkanmu, Ephyra?”
"Ini sudah menjadi tugasku, Alvaren. Aku tidak bisa berhenti.."
"Atas dasar apa ini menjadi tugasmu, Ephyra? Kau bukan dewi, kau manusia, dan kau juga butuh istirahat, butuh sembuh!" dada Alvaren bergemuruh, dia benar-benar tidak tega melihat keadaan Seraphyne.
"Jika kau tidak bisa berhenti, aku akan memaksamu untuk berhenti!" Alvaren akan mengangkat tubuh Seraphyne, tapi wanita itu menahannya.
"Dia.. dia akan membangkitkan batu itu jika aku berhenti.." lirih Seraphyne yang hanya bisa di dengar oleh Alvaren.
Alvaren mengerutkan dahi, tapi ia semakin mendekap Seraphyne.
"Ini tidak ada apa-apanya dibanding aku harus melihat kejadian di masa lalu yang terulang lagi. Sakit ini, derita yang aku alami saat ini tidak sebanding dengan sakitnya hari itu. Aku masih bisa menahannya, Alvaren."
"Menahan sampai kapan, Ephyra? Apa sampai tubuhmu meleleh dan menghilang begitu saja? Aku tidak bisa membiarkanmu!"
Seraphyne tidak bisa berkata lagi, energinya benar-benar sudah terkuras habis.
"Aku akan melindungimu, Ephyra. Percaya padaku bahwa kau akan baik-baik saja."
Ia menggenggam tangan Seraphyne erat.
Keheningan menggantung di antara mereka. Dan di tengah tatapan para pasien dan pengikutnya, Seraphyne akhirnya bersandar pelan di bahu Alvaren, matanya terpejam, tubuhnya goyah.
Ia tak mampu menyangkal lagi—bahwa dirinya pun butuh diselamatkan.