Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diabadikan Seseorang
Pelarian terbaik adalah pekerjaan. Tak peduli berapa banyak orang yang setuju dengan kalimat tersebut, tetapi itulah yang menjadi pegangan Carla saat ini. Persetan dengan Esson, persetan dengan Vero, dia hanya akan bekerja dan menghibur otak serta hati dengan merangkai bunga, pun bersenang-senang dengan uang yang ia dapatkan.
Dalam seminggu yang telah berlalu, Esson tak pernah muncul lagi di hadapannya. Entah karena sibuk atau memang sengaja menghindar. Hanya Vero yang dengan tidak malunya terus datang ke hotel. Terkadang pagi, terkadang siang, terkadang juga petang. Ada saja alasannya.
Meskipun Carla selalu menyiratkan penolakan tegas dan kasar, tetapi Vero tak ada kapoknya. Tetap saja menemui Carla demi interaksi yang terkadang tak genap satu menit.
Mungkin dia kurang kerjaan, pikir Carla. Mungkin pula urat malunya sudah putus, makanya tidak paham dengan kalimat 'jangan menemuiku lagi, aku muak melihatmu!'.
Baru hari ini Carla bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, untuk pertama kali Vero tidak datang ke hotel. Ahh, atau mungkin belum.
Carla memang pulang lebih awal, tepat pada jam makan siang. Pekerjaan sudah selesai dan semalam pula sudah lembur sampai larut, jadi hari ini Zayn memberinya kelonggaran.
Demi menyenangkan diri sendiri, Carla singgah sebentar di restoran mewah sebelum kembali ke apartemen, memesan sushi dan green tea untuk mengganjal perutnya siang itu.
"Tempat ini tidak banyak berubah, bahkan warna interiornya masih sama seperti dulu," batin Carla sembari menikmati green tea di tangannya.
Masih tergambar jelas dalam ingatannya, di saat dia dan Esson pernah singgah di restoran tersebut dan menikmati seafood asam pedas yang menjadi kesukaan mereka. Sampai sekarang tempatnya masih sama, keadaan Carla saja yang sudah jauh berbeda. Sudah tak ada Esson, tak ada pula pernikahan seperti impiannya.
Carla terlalu pesimis untuk menjalin hubungan lagi dengan lelaki lain. Dirinya hanyalah perempuan yang telah kehilangan keperawanan, perempuan yang belum selesai pula dengan masa lalunya. Lantas, lelaki mana yang bisa menerima perempuan sepertinya?
"Hidup sendiri juga tidak buruk. Asal rajin bekerja, pasti ada tabungan untuk masa tua. Dan aku tidak akan terlantar," batin Carla ketika mengingat lagi tentang Esson, pun tentang hidupnya yang sudah jauh dari sebuah pernikahan.
Di sela-sela ingatan tersebut, mata Carla tak sengaja menangkap dua pria dengan pakaian formal. Tangannya membawa beberapa map, tampaknya mereka baru saja mengadakan pertemuan penting di private room. Dulu Carla juga pernah ikut pertemuan di sana, menemani Esson yang kala itu sedang membahas kontrak kerja sama dengan salah satu relasi.
Senyum tipis nan masam terkulum di bibir Carla ketika mengingat kenangan itu. Ya, kenangan, yang sampai kapanpun tidak akan pernah terulang.
"Sudahlah, lupakan saja," gumam Carla dengan pelan. Lantas ia mengembuskan napas panjang dan kemudian menyuap sushi di piringnya, berusaha kembali untuk menikmati makanan tersebut.
"Kalau jodoh emang nggak kemana ya, Mbak, ada aja kesempatannya untu ketemu."
Carla langsung tersedak dan gagal menelan sushi di mulutnya. Ia sangat kenal dengan suara barusan, suara milik lelaki yang sama sekali tidak ingin ia temui.
Benar saja, ketika Carla menoleh, di belakangnya sudah berdiri seorang Alvero Barnard. Ia sedang tersenyum dan memamerkan lesung di keduanya pipinya.
"Nggak nyangka loh aku bisa ketemu Mbak Carla di sini, sepertinya ... Tuhan emang merestui kita, Mbak."
Vero tersenyum lagi, lantas melangkah menuju kursi di depan Carla, lalu tanpa permisi duduk di sana.
"Aku haus, Mbak. Habis jelasin ini itu sama orang-orang yang tertarik dengan properti kami. Nawar mulu, ada aja alasannya untuk minta harga rendah. Minum segelas doang nggak cukup, masih kering tenggorokanku, Mbak." Vero nyerocos sendiri, seolah tak melihat tatapan sinis yang dilayangkan Carla.
Bahkan, tanpa basa-basi Vero langsung memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman.
"Meja lain masih banyak yang kosong, kenapa harus duduk di sini?" Carla bicara tegas, mengungkapkan keberatannya atas keberadaan Vero di sana.
Namun, bukan Vero namanya jika punya malu. Lelaki itu justru tersenyum tanpa rasa bersalah.
"Di meja lain aku bakal sendirian, kalau di sini kan bareng Mbak Carla. Ya ... biar ada teman ngobrol, Mbak. Biar Mbak Carla juga nggak sendirian."
"Aku lebih suka sendirian daripada berdua dengan kamu. Pergilah!" usir Carla.
Kini meski sushi dan green tea miliknya masih tersisa setengah, tetapi sudah tak ada keinginan lagi untuk menyantapnya. Naf-su makan dan minumnya mendadak hilang karena kehadiran Vero.
"Mbak Carla tadi dari mana?" tanya Vero, seakan-akan tidak mendengar ucapan Carla barusan.
Melihat sikap Vero yang benar-benar bebal, Carla menarik napas panjang dan melipat tangan di dada. Lantas menyandarkan punggung dan menatap Vero dengan tajam.
Kemeja panjang digulung asal-asalan, jas hanya ditenteng di tangan, tidak ada dasi, tidak ada jam tangan. Hanya cincin perak di ibu jari sebelah kiri dan kalung yang sedikit menyembul dari balik kemeja. Rambut agak gondrong dan kurang rapi, sungguh bukan penampilan seorang pebisnis.
Vero lebih mirip lelaki remaja yang masih dalam fase pencarian jati diri. Kebetulan pula wajahnya memang tampan dan manis, sehingga tampak lebih muda dari usianya. Andai bukan tuan muda dari keluarga Barnard, siapa yang akan percaya bekerja sama dengannya? Dengan penampilan yang seperti itu, pasti akan sulit bekerja di kantoran.
"Mbak Carla kenapa menatapku kayak gitu? Aku ganteng ya?" goda Vero sambil menaik-turunkan alisnya. Sejak Carla tidak trauma lagi ketika melihatnya, Vero memang kerap melontarkan rayuan, meskipun tanggapan Carla tak pernah baik.
"Aku hanya heran, kenapa ada orang yang sangat bebal dan tidak mau malu sepertimu!"
Usai menjawab demikian, Carla langsung bangkit dan meninggalkan Vero. Persetan dengan makanan dan minuman yang masih tersisa, Carla ingin secepatnya hengkang dari hadapan Vero.
Namun, tanpa sepengetahuan Carla ataupun Vero, momen kebersamaan mereka beberapa detik lalu sudah diabadikan di ponsel seseorang. Entah dengan motif apa, orang tersebut mengambil beberapa foto. Termasuk sekarang, ketika Vero mengejar Carla dan berusaha menahan tangannya.
Bersambung...
Carla kenapa? beres2 barang?
Penderitaan Carla sungguh sungguh menyakitkan 🥲🥲🤗🤗
Jadi untuk apa memperdalam kisah yng sdh lewat ikhlas kan aja Son , cerita mu dngn Carla sdh selesai 😠😠🤣