Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
merinding
Jangan tanyakan bagaimana perasaan kian saat ini. Bahkan Gunung Everest yang menjulang tinggi itu pun tak mampu mewakili luapan bahagianya.
Sepulang jeevan dari rumahnya. . semangat Kian seperti api yang baru disiram bensin. Berkobar. Menyala-nyala. Ia tak peduli lagi pada jam atau waktu. Ia semakin semangat untuk terus mengirimi pesan apapun kepada om gantengnya.
Katanya, om gantengnya itu akan membalasnya ketika senggang. Agak aneh memang . Tapi bukankah itu termasuk lampu hijau dari sedikit perjuangannya?
“ ada yang lagi seneng seneng pas gue gaada nih!!” Rohit muncul dari jendela samping. Dan benar saja, kalo dilihat dari seragam yang udah agak lecek, cowok satu itu baru pulang sekolah. Masih pakai sepatu, tapi udah lepas beban hidup.
Kian yang awalnya ingin merayakan kebahagiaannya tertunda karena ada anak aneh yang muncul tiba tiba . Bahkan pagar besinya tak bersuara ketika ia menggeser masuk. “ lewat mana tikus ini?” Guman kian melirik kesal.
“Minum dong. Haus nih” pinta rohit tanpa embel embel.
Punya dua sahabat karib, tapi sayangnya… dua-duanya seperti hasil kombinasi antara WiFi gratis dan dosa kecil. gampang ditemui, susah ditolak. Dan dari seluruh umat manusia yang dikenal Kian, gelar "teman dengan minus akhlak paling akut" cuma bisa jatuh ke dua nama yaitu rohit dan Adip.
Yahh.. mereka satu set sejak dulu. Teman main sejak kecil mereka sepertinya semakin awet. Bahkan sifat mereka hampir mirip bak pinang dibelah susah.
Kalau ditanya kenapa masih temenan?
Jawabannya simpel ya karena terkadang, orang paling nyebelin justru yang paling bikin hari rame. Dan Kian tahu, seaneh-anehnya mereka… hidupnya nggak akan lengkap tanpa dua biang kerok itu.
“ masuk lewat pintu ya njir. Jangan lewat jendela. Nanti pegangannya putus gara gara kebanyakan muatan” kian pergi ke kamar mandi. “ oiii hit. Kalau mau makan nunggu mama sama adip dulu. Jangan langsung ngibrit pulang” ingatnya.
Rohit mengangguk. Ia segera melepaskan seragam dan berganti kaos cadangan yang selalu ia sembunyikan di jok motornya. “ ngegame ahh” mengguman.
Sambil fokus menatap layar ponselnya " Lu bahagia kenapa emangnya, Ki? Jangan bilang om ganteng udah ngebales ya?" . Rohit melirik sebentar ke arah kian yang barusaja keluar dari kamar mandi.
Rohit ngangkat alis. “Dia bales apa sih, paling juga ‘ya’ doang.” keponya
"Ya gapapa. Daripada gadibales." Lirihnya
"Lah beneran 'ya' doang?" Rohit penasaran dengan muka kian. Ia meletakkan ponselnya.
Rohit berdiri, dan berpura-pura berpikir dalam, “Coba gue tanya… senggang itu satuan waktu berapa lama ya? Sejam? Seminggu? Tiga purnama? Atau setahun sekali kayak event tahunan ?"
Kian lempar bantal ke arah Rohit. Kena.
.
.
......................
.
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Angin bertiup pelan, tapi cukup untuk membuat tirai jendela bergoyang seperti disentuh oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Di ruang makan, Kian, Adip, Rohit, dan Anvita duduk mengitari meja bundar, menikmati makan malam yang untuk sesaat penuh tawa. Sampai Saat anvita menyendok sayur "Kalian tau nggak? Tadi pas kumpul sama ibu-ibu komplek, istrinya Pak Rubi keliatan lebih kurus, gitu lho, Dip,"
Adip mengambil air disamping piringnya. “ katanya sakit sih tan”
Tok tok tok
“ bu vita.. bu vitaa… “ suara intan tetangga sebelah sedikit tergesa.
Adip segera bangun untuk membuka pintu diikuti kian , rohit , dan anvita yang berada di posisi paling belakang.
“ kenapa bu intan ?”
“ ayo layat bu. Istrinya pak rubi udah gaada umur”
...Degh!! ...
“ loh.. baru aja dibicarain. Udah gaada? Beneran ? “ kata rohit terkejut. Tiba tiba saja ia merinding sebadan.
“ iya. Baru aja. Tadi bu risma sama yang lain udah pada berangkat” bu intan buru buru masuk kedalam rumah ikut berdesak diantara adip dan rohit.
"Ada apasih Bu Intan?" tanya Kian, kali ini pelan.., pelan sekali. Seolah takut suaranya memanggil sesuatu yang lebih besar dari mereka.
“ saya takut banget “ lirih bu intan. “ katanya dia gantung diri. Saya takut”
“ anjir” spontan rohit dan adip tutup mulut syok.
Akhirnya kian tahu permasalahannya. Dari kehebohan beberapa minggu yang lalu , inilah ending dari segalanya...Kematian.
Semua terdiam. Suasana makin dingin. Angin lewat begitu saja, membawa aroma bunga melati yang entah dari mana datangnya.
“ tapi . Istrinya pak rubi kan ga ngapa ngapain Kenapa dia bunuh diri” kian mencoba membuka suara.
Adip dan rohit menengok kian yang sepertinya tidak takut sama sekali. “ biasanya depresi kalo sampai begitu ki” kata rohit dan diangguk oleh adip.
“ bukannya yang lebih depresi pak rubi ya? Kan usahanya pak rubi yang bangkrut” kian mencoba ikut berpikir. Entah apa yang terjadi otak kian mulai mengikuti alur gosip mereka.
“ coba deh pikirin. Suami istri kan satu rumah. Kalau satunya kena masalah pasti satunya ngerasain juga ki” rohit mencoba menjelaskan.
“ tapi yang gue denger dari si santi. Bu tika istrinya pak rubi itu juga make "itu". Terus gara gara ga ngasih tumbal "itu" akhirnya dia sendiri yang numbalin diri hit.” Jelas kian
Rohit dan adip saling menatap. “ santi?”
Intan mendekat sedikit berbisik ke kian. "Santi? Pembantunya Pak Rubi? Dia udah pulang kampung dari minggu lalu, Ki..."
Kian membatu. "...pulang kampung?" bisiknya.
Intan mengangguk benar.
Adip mendekat ke kian dengan nadanya cemas ” lo ketemu santi.. kapan? “ ia takut kalau kian halusinasi. Karena sangat jarang bagi kian untuk bersosialisasi dengan beberapa orang.
“ waktu kita kelapangan. Sisanti duduk disebelah gue. Sambil gemeter dia ngobrol sama temennya” kian menjeda sambil melihat wajah mereka satu persatu seakan memastikan mereka semua mendengarkan apa yang kian katakan.
“ terus dia bilang apalagi?” Tanya anvita penasaran.
“ pencucian uang, penggelapan dana. Terus katanya tumbal apa ya namanya 'gula merah' ”
“ gula merah?” Serentak.
“ astaga jangan becanda dong ki. Mau buat dawet kali pake gula merah” sungut bu intan.
Adip berpikir keras. “ gula merah” gumannya.
“Kian salah ya?” Katanya polos. Ia menggaruk rambut sambil mengusap lembut telinganya.
“ tunggu tunggu.. gula merah ?” Adip terbelalak .Dan saat itu juga Adip terdiam kaku. Matanya melebar. Tubuhnya bergidik dari ujung jari kaki sampai tengkuk.
Angin malam seolah ikut berhenti. Suasana menjadi berat… seakan sesuatu sedang mendengarkan. Raut wajah takut adip membuatnya sedikit memucat.
“ biasanya. Orang yang pake ilmu ilmu atau belajar begitu pasti ada syarat syaratnya. Nah si santi bilang gula merah itu bukan gula merah yang biasanya buat masak kolak bu intan. “ suara adip sedikit tersendat.
“ hahh!!! “ sentak intan dan anvita bersamaan.
“ yang bener kamu dip” Intan bertanya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, nyaris seperti bisikan di ruang pemakaman.
“ sumpah ga bohong. Kalo ga percaya ayo kita pastiin bareng bareng. “ adip meyakinkan ucapannya.
Dip..." bisik Kian, "gula merah itu... maksudnya... darah, ya?"
Adip tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Sekali.
Dan di luar sana... entah kenapa... lampu jalan depan rumah padam tiba-tiba.
Gelap.
Sunyi.
Seolah malam menelan semua suara.
Kian menunduk. Ia tahu, ini bukan lagi cerita.
Ini bukan lagi gosip.
Ini sudah nyata.
Dan mungkin... mereka semua sudah terlalu dalam ikut masuk.
.
.
......................
.
Hening..
Setelah lampu jalan padam, cahaya yang tersisa hanyalah dari lampu ruang tamu yang mulai meredup, seperti ikut ketakutan. Angin kembali berembus lebih dingin, lebih tajam. Dan entah kenapa, aroma seperti dupa hangus tercium samar-samar.
Anvita menahan napas. “ kalian denger sesuatu?"
Mereka semua terdiam.
Tok tok tok.
Suara itu kembali terdengar. Bukan dari pintu utama. Tapi... dari belakang rumah.
“Siapa sih malem-malem begini?” bisik Bu Intan gemetar, tangannya reflek menggenggam lengan Rohit yang juga tak kalah panik.
Adip perlahan bangkit, wajahnya masih pucat. “Gue cek belakang…”
“GILA, LU GILA?!!” bisik keras Rohit. “Kalau itu bukan orang, terus lu mau ngapain, Dip?!”
Namun Adip tetap berjalan. Kian dan Rohit mengikuti di belakangnya. Anvita dan Bu Intan saling berpegangan erat, tidak berani menoleh.
Mereka menembus lorong dapur yang gelap, dan ketika sampai di pintu belakang, Adip berhenti.
Tangan kirinya gemetar saat memutar gagang pintu.
KREK…!
Pintu terbuka perlahan.
Perlahan mulai tampak Gelapnya malam.
Kian menahan napas. Jantungnya berdetak kencang. Dan saat matanya menyesuaikan dengan gelap, dia melihatnya.
Krek. Kreeek. Kreek.
Kian menggenggam sendok kayu, satu-satunya ‘senjata’ yang bisa dia capai. Rohit berdoa dalam hati, Adip udah pasrah. Anvita memejamkan mata.
Langkah itu makin dekat.
Makin dekat
Makinn dekatt
Bayangan panjang muncul di dinding.
Wujudnya tinggi. Rambut panjang. Berjalan pelan. Tertunduk.
Satu langkah lagi.
Satu detik lagi.
Satu suara lagi.
.....
.....
"DORRR!!!"
"AAAAAAAAAAAAA..." Teriak serentak
"sialan babi Ng*nt*t!!!" umpat adip
"Abel ?"
“Gue mau pipis, kaget banget sumpah!” Abel sambil terkekeh
Semua langsung terduduk.
Rohit nyaris nangis.
Adip lemas.
Kian ngedumel pelan: “Astaga Abel… hampir nyisa arwah doang lo barusan.”
Anvita masih berdiri bengong, sementara Bu Intan langsung duduk di lantai, pegang dada. “YA AMPUN ABEL, KIRAIN KUNTI!!”
.
.
.
.
...****************...