Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Menyuapi
"Kalau begitu, Nona Clara, mari makan," ucap Herald dengan nada ringan, memasang senyum yang ia coba buat tampak bersahabat.
Clara mengerutkan kening. Ada sesuatu yang terasa aneh.
Herald yang biasanya sinis dan sedikit kasar kini tiba-tiba berubah menjadi ramah? Padahal kemarin mereka sempat bertengkar hebat. Seharusnya, Herald masih menyimpan rasa kesal terhadapnya. Tapi yang ia rasakan saat ini justru sebaliknya—tidak ada tanda-tanda amarah atau dendam sama sekali.
Clara merasa ada yang tidak beres.
Dengan waspada, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju meja makan di dekat jendela. Herald mengikuti dari belakang sambil mendorong meja dorong yang berisi makanan.
Tak lama kemudian, Clara sudah duduk. Herald mulai memindahkan piring-piring dari meja dorong ke atas meja makan. Gerakannya cekatan, tanpa sedikit pun membiarkan makanan tertata berantakan. Setelah semuanya tersusun rapi, ia menegakkan punggungnya dan tersenyum puas.
"Nona Clara, aku sudah menyiapkan semuanya. Silakan makan," katanya dengan nada yang dibuat sehangat mungkin.
Namun, Clara tidak bergerak.
Tangan yang seharusnya terulur untuk mengambil sendok dan garpu tetap diam di pangkuannya. Ia hanya duduk di sana, tanpa suara, membuat Herald mulai merasa bingung.
[Kenapa dia tidak mau makan?] pikirnya.
Alih-alih menebak-nebak, Herald akhirnya memilih bertanya langsung.
"Ee… Nona Clara, kenapa tidak mulai makan? Nanti makanannya dingin. Tidak enak kalau sudah dingin."
Clara masih diam. Lalu, perlahan, kepalanya menunduk lebih dalam. Ekspresinya sulit ditebak, tapi dari sudut matanya, Herald bisa melihat rona gelap mulai menyelimuti wajahnya.
Kruuuuk.
Suara perut yang berbunyi nyaring memecah keheningan ruangan. Bahkan sempat menggema.
Herald menatap Clara dengan ekspresi tercengang. Sementara itu, Clara perlahan mengangkat kepalanya. Pipinya yang biasanya pucat kini berubah merah, seperti tomat matang.
Setelah jeda beberapa detik yang terasa panjang, ia akhirnya membuka mulut dan berbicara dengan suara pelan.
"Aku… tidak bisa makan sendiri," katanya dengan lirih.
Herald berkedip. "Eh?"
"Aku biasanya disuapi oleh Susan," lanjutnya, kini menatap Herald dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Tapi sekarang yang ada malah kamu."
Clara menggigit bibirnya sebentar, lalu dengan sangat pelan—seolah sedang mengatakan sesuatu yang paling sulit di dunia—ia berkata:
"J-jadi… tolong suapi aku."
Herald membeku.
Napasnya tercekat, pikirannya terasa seperti meledak oleh satu kata yang terus berputar-putar di dalam kepalanya.
['Suapi aku dia' bilang?!]
Wajahnya yang semula tenang langsung memanas. Mata dan mulutnya sedikit terbuka, ingin berkata sesuatu tapi tak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
Clara tetap menatapnya, menunggu jawaban. Namun, sekarang dengan wajah yang merona menahan malu.
Sementara itu, di luar ruangan, suasana berbeda terasa. Di tangga menuju lantai satu, Susan dengan langkah ringan berjalan menuju dapur, melantunkan lagu kecil dengan nada ceria. Kelegaan terasa jelas di wajahnya.
"La~ lalalala~ lalalala~ lala~"
Hari ini, dia punya banyak waktu luang. Tugas rutin mengantarkan makanan untuk Clara telah digantikan oleh Herald, jadi dia bisa menikmati sedikit kebebasan dari kewajiban sehari-harinya.
Namun, saat kakinya mulai menuruni tangga, tiba-tiba sesatu terlintas di pikirannya.
"Eh, tunggu... Apa aku sudah memberitahu Tuan Herald kalau Nona Clara itu harus disuapi pas makan?" Susan berhenti sejenak, merasakan rasa ragu yang menggelayuti dirinya.
Dia mencoba mengingat kembali percakapan antara dirinya dan Herald, berusaha mengingat apakah ia sudah sempat menyampaikan tentang kebiasaan Clara yang tidak bisa makan sendiri. Itu sudah menjadi rutinitas yang ia lakukan selama ini, karena Clara kesulitan melihat. Susan selalu menyuapinya dengan sabar setiap kali.
Tapi semakin dipikirkan, semakin sulit dia mengingat detail itu.
"Ah, biarlah. Pasti Herald juga sadar nanti," ujar Susan dengan nada percaya diri, mengusir kekhawatirannya dengan cepat.
Dengan senyuman ceria dan langkah riang, Susan kembali melanjutkan jalannya menuju dapur, tanpa merasa sedikit pun bersalah atas kelalaian kecil itu.
***
Kamar Clara.
Herald mulai mengambil kursi dan duduk di samping Clara. Dengan ragu-ragu, ia meraih sendok, mengambil sedikit makanan, lalu mengangkatnya perlahan. Namun, tangannya sedikit bergetar, mencerminkan kegugupannya.
"N-nona Clara, tolong buka mulutnya...."
Ia menyodorkan sendok ke arah wajah Clara dengan gerakan kaku. Clara, yang sudah terbiasa dengan rutinitas ini, membuka mulutnya dan mengikuti arah suara sendok. Begitu makanan menyentuh lidahnya, ia menutup mulutnya perlahan, mengambil semua yang ada di atas sendok. Herald pun menarik kembali sendoknya dengan canggung.
[Tidak kusangka, wanita pertama yang kusuapi setelah ibuku adalah dia...]
Herald merasa janggal dengan situasi ini. Wajahnya mulai memanas, tetapi ia tetap berusaha menyelesaikan tugasnya. Suapan demi suapan ia berikan, dan tanpa sadar, matanya mulai memperhatikan wajah Clara yang sedang makan. Ada sesuatu yang imut dari caranya mengunyah, bibirnya yang tipis bergerak lembut, kulitnya tampak bersih dan halus. Herald menelan ludahnya tanpa sadar. Ini adalah ujian besar baginya.
Namun, akhirnya, ia berhasil melewatinya dengan penuh kesabaran. Makanan di piring Clara hampir habis, hanya tersisa setengahnya. Herald memandang sisa makanan itu dan merasakan perutnya mulai keroncongan.
[Kukira aku akan mencicipi sedikit...]
Tiba-tiba—
"Kriuk-kriuk!"
Suara perut Herald berbunyi keras, memecah keheningan ruangan. Herald membeku di tempat, wajahnya memerah karena malu. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya, tetapi suara itu sudah terlanjur terdengar jelas.
[Ah, malunya...!]
Terdengar suara benda bergeser di atas meja. Herald melirik sedikit, dan melihat Clara menggeser sendok serta garpu ke arahnya.
"Nih, kamu juga makanlah," ucap Clara dengan nada datar.
Herald menatapnya dengan terkejut. [Sial, dia pasti mendengar suara perutku.] Ia ingin menolak, tapi merasa tidak enak karena Clara sudah menawarkan.
"A-apakah boleh?"
"Iya, makanlah," jawab Clara singkat.
"Kalau begitu, aku akan makan."
Herald pun mengambil piring baru dan mulai makan. Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar suara gesekan sendok dan garpu dengan piring. Clara tidak berkata apa pun, hanya duduk diam dengan tatapan kosong yang sulit diartikan. Herald tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Beberapa menit kemudian, Herald selesai makan. Ia bersandar ke kursi dengan lega, tetapi karena terlalu santai, ia kehilangan keseimbangan dan—
"Brukk!!"
Ia jatuh ke lantai.
"Aduh, aduh, aduh... sakitnya..."
Baru saja ia merasa puas dengan makanannya, kini ia malah terkapar di lantai dengan punggung yang terasa nyeri.
[Ah, aku selalu saja sesial ini...]
Ia menatap langit-langit kamar sambil mengeluh dalam hati. Namun, tiba-tiba bayangan seseorang menutupi pandangannya. Clara kini berada di atasnya, wajahnya tampak khawatir.
"Herald, apakah kamu tidak apa-apa?"
Sebelum Herald bisa menjawab, Clara mulai meraba wajahnya, seolah mencoba memastikan kondisinya. Ia mencubit pipinya, menariknya sedikit, lalu menelusuri garis rahangnya.
"Ah, Nona Clara, aku tidak apa-apa! Sekarang tolong menyingkir dari situ!!"
Clara pun segera menjauh. Herald bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya. Ia menatap Clara, mencoba memahami gadis ini. Di satu sisi, ia pendiam dan tampak dingin. Di sisi lain, ia juga perhatian, bahkan sedikit jahil dan polos. Seorang gadis dengan banyak sisi yang tersembunyi.
Sekarang, Clara tampak sedikit canggung, mungkin karena nada bicara Herald tadi sedikit kasar.
"Nona Clara, maaf kalau tadi aku sedikit kasar, dan terima kasih karena mengkhawatirkanku."
"...."
Clara tidak menjawab, hanya diam. Namun, Herald bisa merasakan bahwa suasana di antara mereka sudah berubah sedikit lebih hangat.
Merasa tugasnya selesai, Herald mulai merapikan piring-piring dan sisa makanan di meja. Ia kemudian membantu Clara kembali ke kasurnya. Setelah memastikan semuanya beres, ia menghela napas lega, memberi salam, dan pergi meninggalkan ruangan.