Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon menarik napas panjang, membiarkan adrenalinnya meresap ke dalam setiap urat nadinya. Dia bukan lagi sekadar anak magang bodoh yang bisa mereka permainkan. Sekarang, dia adalah bayangan di balik layar, pengamat yang tak mereka sadari, sekaligus ancaman yang siap meledak kapan saja.
Dengan langkah santai, seolah tak terjadi apa-apa, Deon berjalan kembali ke area kantor. Senyum tengilnya kembali terpasang, matanya tetap bersinar dengan kejahilan khasnya. Tapi kali ini, itu bukan sekadar sikap santai, itu adalah topeng.
Saat melewati Bayu dan geng seniornya, dia sengaja bersiul kecil. Bayu menatapnya dengan curiga. "Lo ngapain senyum-senyum sendiri, bocah?"
Deon berhenti, memiringkan kepalanya, lalu mengangkat bahu seakan tak peduli. "Nggak ada, Bang. Gue cuma lagi mikir... kadang, dunia ini penuh kejutan, ya?"
Bayu menyipitkan mata, mencoba membaca maksudnya, tapi Deon sudah berlalu sebelum pria itu sempat berkata apa-apa lagi.
Sesampainya di mejanya, Deon langsung membuka laptopnya. Tangannya dengan cekatan mengetik, mencari akses ke beberapa dokumen internal.
Tentu, akun magangnya punya banyak batasan, tapi siapa bilang itu masalah? Dia sudah belajar cukup banyak dari para senior di IT, cukup untuk tahu celah-celah kecil yang bisa dia manfaatkan.
Dan benar saja. Dalam hitungan detik, dia menemukan sesuatu yang menarik. Laporan keuangan yang seharusnya transparan tetapi memiliki terlalu banyak angka yang tidak masuk akal. Ada aliran dana besar yang terus menghilang ke akun-akun tak dikenal.
Deon menyandarkan tubuhnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
"Jadi ini permainan lo, ya?" gumamnya.
Dia melirik ke arah ruang kerja ayahnya di lantai atas.
Pertanyaan yang mengganggunya sejak awal kini mulai menemukan jawabannya. Tapi masalahnya, dia masih belum tahu satu hal. Seberapa dalam ayahnya terlibat dalam semua ini?
Dan yang lebih penting dari itu semua...
Apakah dia siap untuk mengetahui jawabannya?
Senyumnya perlahan memudar. Ini bukan lagi sekadar permainan iseng. Ini adalah perang, dan Deon baru saja menarik pelatuknya.
Tetapi...
Baru saja Deon bersiap memainkan permainannya, takdir dengan kejam menamparnya lebih dulu.
Sekelompok pria bersetelan jas tiba-tiba muncul, langkah mereka mantap, ekspresi mereka dingin dan tak terbaca. Di antara mereka, berdiri seseorang yang sudah terlalu familiar, sekretaris pribadi ayahnya.
Deon mengangkat alis, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan dugaannya terbukti benar ketika pria itu membuka mulut.
"Tuan Deon," suara sang sekretaris terdengar tenang, namun penuh ketegasan. "Mulai detik ini, Anda bukan lagi bagian dari perusahaan ini. Silakan tinggalkan gedung sekarang juga."
Seketika, ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya. Semua yang mendengar langsung berhenti beraktivitas, mata mereka secara naluriah melirik ke arah Deon, menunggu reaksinya.
Namun Deon hanya terkekeh pelan, menyeringai miring seperti seseorang yang baru saja dipermainkan oleh dunia.
"Serius? Gue dipecat?" katanya santai, meski matanya berkilat penuh bahaya.
Sang sekretaris tetap tenang, tidak terpancing. "Ini perintah langsung dari Presdir. Kami harap Anda bisa pergi tanpa menimbulkan keributan."
Deon menyapu pandangan ke arah para karyawan yang masih mencuri-curi pandang, ke arah Bayu dan gengnya yang tampak kaget, dan ke pintu keluar yang kini terasa seperti gerbang menuju sesuatu yang lebih besar dan mungkin bisa saja lebih berbahaya.
Lalu, dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya, Deon memasukkan kedua tangannya ke saku.
"Sampaikan ke ayah gue," katanya dengan nada rendah namun menusuk, "kalau dia pikir ini cukup buat menghentikan gue, sumpah dia salah besar."
Dengan langkah santai yang seakan menantang dunia, Deon berjalan keluar, meninggalkan keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya.
__
Begitu dia melangkah keluar dari gedung megah itu, udara sore yang hangat menyambutnya, namun Deon tak merasakan kenyamanan sedikit pun. Ini bukan kekalahan. Ini hanya jeda sebelum pertarungan yang lebih besar.
Dia menatap lurus ke depan, otaknya bekerja cepat, menyusun langkah berikutnya. Jika ayahnya berpikir bisa menyingkirkannya dengan cara seklasik ini, maka Deon harus membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar anak magang yang bisa dipermainkan.
Tapi sebelum dia bisa tenggelam dalam pikirannya sendiri, suara familiar terdengar dari samping.
“Lo dipecat?”
Deon menoleh dan mendapati Gwen bersandar di dinding, kopi di tangan seperti biasa, ekspresi santainya tidak berubah.
Dia mendengus. “Gue nggak dipecat, gue ditendang keluar.”
Gwen terkekeh kecil. “Sama aja ege kalau gitu, lo di pecat namanya.”
"Gue di tendang bukan di pecat!"
"Terserah lo deh."
Deon menyipitkan mata, menyadari sesuatu. “Lo udah tau ini bakal kejadian, ya?”
Gwen mengangkat bahu, tak mengiyakan tapi juga tak menyangkal. “Gue mungkin cuma tau satu hal, kalau lo serius mau main di level ini lo butuh rencana yang lebih dari sekadar jadi anak magang tengil.”
Deon menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menyeringai.
“Lo ada ide?” tanyanya.
Gwen menyeruput kopinya pelan sebelum menjawab dengan nada santai yang justru terdengar semakin berbahaya.
“Bukan ide.” Dia menatap Deon tajam. “Gue punya pintu ke sesuatu yang lebih besar.”
Deon mengangkat satu alis, tertarik. "Sesuatu yang lebih besar, huh? Kedengarannya menarik. Tapi lo yakin gue bakal tertarik?"
Gwen menyeringai, tatapan matanya berkilat penuh misteri. "Gue nggak butuh lo tertarik. Gue cuma butuh lo siap."
Deon terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. Hanya dalam hitungan jam, hidupnya berubah drastis dari anak magang yang berencana bermain-main dengan sistem, menjadi seseorang yang kini benar-benar berada di luar lingkaran.
Tapi jika dia sudah sampai di titik ini, tidak ada alasan untuk berhenti.
"Coba jelasin sama gue." Deon melipat tangan di dada, menatap Gwen dengan penuh ketertarikan.
Gwen meneguk kopinya sekali lagi, lalu menatap Deon dengan tatapan yang lebih serius dari sebelumnya.
"Lo pikir ini cuma tentang lo yang dibuang dari perusahaan?" Gwen berbisik, suaranya nyaris tertelan bising kota. "Lo pikir lo cuma ngebongkar satu kasus penggelapan dana biasa?"
Deon menyipitkan mata. "Maksud lo?"
Gwen mendekat, suaranya semakin rendah. "Apa yang lo bongkar itu cuma permukaan. Lo baru lihat bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih dalam."
Deon merasakan bulu kuduknya meremang. "Gue nggak suka drama, Gwen. Kalau lo punya sesuatu buat gue, katakan sekarang."
Gwen menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum miring. "Baiklah," katanya pelan.
Dia memasukkan tangan ke dalam saku jaketnya, mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal yang tampak sudah lusuh.
"Lihat sendiri," Gwen menyerahkan amplop itu ke Deon.
Deon menerimanya, membuka lipatan atasnya dengan hati-hati. Dan begitu dia melihat isinya, sejumlah dokumen dengan segel resmi, beberapa foto yang tampak diambil secara diam-diam, serta sebuah kertas dengan tulisan tangan seseorang yang mencoret-coret angka dan nama. Seketika Deon langsung merasa dadanya menegang.
Sial.
Ini lebih besar dari yang dia duga.
Dia mengangkat pandangannya ke arah Gwen, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.
"Lo siap buat main di liga yang sebenarnya?" Gwen bertanya, suaranya penuh tantangan.
Deon menutup amplop itu perlahan, napasnya sedikit berat. Kemudian, dia tersenyum.
"Bukan cuma siap," katanya, matanya berkilat dengan api yang baru. "Gue udah nggak sabar."
Gwen menyeringai kecil. "Bagus."
Dia berbalik, mulai melangkah santai meninggalkan Deon yang masih berdiri memegang amplop itu erat-erat.
"Lo nggak mau tahu dulu isinya apa?" tanya Deon, suaranya setengah penasaran, setengah menantang.
Gwen berhenti sejenak, menoleh sedikit. "Gue udah tahu semuanya, bocah. Justru pertanyaannya..." Gwen mengangkat dagunya sedikit. "Apa lo cukup kuat buat nerima kenyataan yang bakal lo temuin di dalam sana?"
Deon menatapnya tajam. Tangannya sedikit mengeratkan genggaman di amplop itu.
"Gue bukan anak kecil, Gwen," ucapnya mantap. "Dan gue nggak takut sama apa pun yang ada di dalam amplop ini."
Gwen tertawa pendek, namun bukan tawa mengejek. Lebih seperti seseorang yang tahu permainan baru saja dimulai.
"Bagus," katanya, sebelum kembali melangkah. "Kalau gitu, lo tahu harus ke mana besok malam."
Deon mengernyit. "Besok malam?"
Tanpa menoleh, Gwen hanya mengangkat tangannya, melambaikannya ke udara. "Coba lo baca baik baik. Lo pasti bakal tahu sendiri."
Dan begitu saja, Gwen menghilang di tengah keramaian kota.
Deon menatap amplop itu sekali lagi. Lalu, tanpa ragu, dia menyelipkannya ke dalam jaketnya dan mulai berjalan ke arah yang berlawanan.
Satu hal yang pasti, ini bukan lagi sekadar permainan kecil.
Ini bisa di katakan perang!