Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki Kaya
"Ayok, Yul!" ajak Gita seraya menarik temannya itu beranjak dari tempat persembunyian mereka tadi.
Tanpa banyak tanya, Yuli kembali manut, aura 'maksa' seorang Gita sulit untuk ia lawan.
"Yah ... kok ke sini sih?" protes Yuli saat mereka menuju ruang kelas.
"Iya lah, gue masih mau naek kelas. Gak boleh sering bolos," tutur Gita bijak.
Gadis itu lalu mengetuk pintu dan masuk seraya meminta izin ikut pelajaran. Tak dihiraukannya wajah Yuli yang masam karena gagal bolos.
Dengan santun Gita menghampiri meja guru dan menjelaskan mengapa ia dan Yuli terlambat masuk kelas.
Karen mengamati cara Gita bicara yang percaya diri dengan seksama. Biasanya dalam situasi gak enak, dia ngomongnya tergagap-gagap, tapi kenapa saat ini dia ngomongnya jadi lancar banget? Apa bener dia Gita yang biasa gue bully?
Ketika melintasi tempat Karen duduk, Gita berhenti sejenak.
"Kenapa liat-liat? Nge-fans Lo sama gue?" desisnya sambil menyeringai sinis.
Karen yang akhrinya tersadar dirinya masih menatapi Gita, hanya bisa mendengus kesal. Gita pun melewati gadis cantik tapi kejam itu dengan santai, lalu ia melirik keberadaan sebelah kaki terjulur ke jalur yang hendak ia lalui.
Dengan cueknya ia terus berjalan dan kemudian menginjak kaki itu sekuat tenaga.
"Aww!" pekik Ara.
"Kenapa Ara?" tanya bu guru, beberapa siswa pun menoleh ke arah Ara yang meringis sambil menarik kakinya kembali ke bawah meja.
"Eng ... enggak apa-apa, Bu. Ini sa, saya kepentok meja," jawab Ara sambil menatap tajam pada Gita yang sudah kembali duduk cantik di kursinya. Sialan Gita! Harusnya dia nyungsep dan diketawain anak-anak sekelas sampe kena mental. Eh ini malah kaki gue yang jadi korban. Aaarrgh kesel!
"Oh ya sudah, hati-hati ya. Ayo siapa yang mau lanjut membaca paragraf-" Guru bahas Indonesia berhijab itu pun kembali melanjutkan kelasnya.
"Si Gita sadis bener," gumam Yuli yang tadi sempat melihat Gita menginjak kaki Ara dengan wajah datar.
"Lo kok belakangan ini sering sama dia sih, Yul?" tanya teman semeja Yuli dengan suara pelan.
"Seru ternyata si Gita itu anaknya, coba deh Lo juga main sama dia," ujar Yuli balas berbisik.
Temannya itu hanya menggedikan bahu. Males ah, nanti gue ikut dibully Karen dan Ara.
Sayup suara siswa yang bergantian membaca paragraf sebuah karya tulis memenuhi udara kelas, sementara itu Gita menatap papan tulis dalam diam. Ia tak membawa buku paket dan Yuli pun terlanjur duduk di meja asalnya.
Namun dengan demikian, Gita jadi bisa leluasa berpikir tentang hal-hal yang mungkin terkait dengan Rudi sang guru fisika.
Diliriknya buku sketsa rusak di laci meja. Gue coba cek nanti, apakah Rudi emang adalah sosok dalam mimpi gue, yang udah nulis kalimat ancaman itu atau bukan.
***
Jam istirahat makan siang, Yuli mengajak Gita ke kantin. Gadis yang berpipi agak chubby menggemaskan itu pun langsung setuju.
"Enak lho siomay Bandung di sini," ujar Yuli.
Kini mereka sudah duduk dengan dua porsi batagor dan es jeruk peras pesanan masing-masing.
"Makanan kantin ini emang enak dan sesuai dengan selera gue, sayang waktu dulu cuma beberapa kali aja makan di sini waktu masih kelas satu. Setelah itu lebih sering bawa bekal sendiri. Agak nyesel jadinya," tutur Gita sambil menyendok makanannya.
Ia teringat kembali dirinya versi dewas saat memasuki kantin SMA Pelita. Kala itu ia tengah berada di tengah proses renovasi sekolah, dan sejak saat itu siomay Bandung ini menjadi pavoritnya.
Dua puluh tahunan yang lalu, Gita belum mencicipi banyak menu kantin, karena banyak geng-gengan sok keren dan sok berkuasa yang menempati beberapa titik secara terus menerus seolah itu merupakan wilayah mereka. Membuat orang-orang yang tidak menonjol seperti Gita merasa minder untuk duduk di sana.
"Tapi itu kan Gita yang dulu, kalau sekarang ... gue bertekad bakal kulineran sepuasnya sampe lulus!" seru Gita dengan mata berkilat-kilat semangat.
Yuli geleng-geleng kepala melihat Gita yang sangat antusias dengan makan siangnya.
"Eh Git, tadi kita ngapain ngumpet sih waktu mau ketemu sama pak Rudi?" tanya Yuli usai siomay mereka habis.
Gita menyeruput es jeruknya. "Gua rada bingung jelasinnya. Yul, menurut Lo pak Rudi itu orangnya gimana?" tanya Gita.
"Bagi gue dia pinter, kalau enggak ya gak mungkin lah jadi guru!" jawab Yuli yang langsung dipelototi Gita.
Yuli pun buru-buru mengoreksi jawabannya, "Ehem, di mata gue ... dia itu cool banget! Ngomong seperlunya aja kalau sama murid-murid, jarang gue liat dia senyum apalagi ketawa. Tapi justru itu yang bikin pada penasaran kan! Kesannya misterius gitu, mana ganteng banget!" ujar Yuli dengan mata berbinar.
"Pake pelet kali tu orang," cebik Gita, "gak pernah ada masalah ya sama murid?" cecar Gita.
"Dih! Lo negative thinking banget. Setau gue sih enggak, eh ... tapi pernah ada gosip sih beberapa waktu lalu," ujar Yuli ragu.
"Gosip apa? Apa ada hubungannya sama gue?" Gita jadi penasaran.
Yuli menoyor kepala Gita. "Gak usah ketinggian kalau ngayal! Lo bukan Jaka Tarub yang bisa kawin sama bidadari," cibir Yuli.
"Ya kan gue nanya! Siapa juga yang mau kawin, deh?" Gita memutar bola matanya. Capek juga ngomong sama remaja labil.
"Eh Git, itu tuh yang namanya kak Tomy!" tunjuk Yuli dengan dagunya ke arah kiri kantin.
Gita menoleh dan mendapati seorang remaja tampan dengan tampilan yang entah bagimana, terlihat memancarkan kekayaan di matanya. Seketika gadis itu tertegun kala mengenali fitur wajah Tomy yang tidak pasaran.
"Tomy ... Tomy yang lo maksud itu Tomy Bahtiar yang anaknya eksportir kayu jati itu?" Mata Gita membola.
"Eh gak tau deh, emang iya ya? Gue taunya bapaknya pengusaha sih, cuman gak tau usaha apaan. Tajir aja gue taunya dia itu, hehe." Yuli terkekeh.
"Kok Lo kayaknya tau banget? Katanya gak kenal sama dia, jadi curiga gue. Jangan-jangan lo pura-pura gak tau waktu gue cerita tadi," selidik Yuli.
Gita menggaruk kepalanya. Ya kenal dong gue! Si Tomy di masa depan itu salah satu vendor furniture kayu yang sering kantor gue ajak kerja sama.
"Heh! Malah diem ... ngaku deh Lo Git! Jangan-jangan Lo salah satu cewek yang suka sama dia? Mau Lo kemanain si Gio!" Yuli melotot garang.
"Mana ada, kenapa bawa-bawa Gio dah!" cebik Gita.
"Waktu Lo cerita tadi itu, gue kira yang Lo maksud Tomy itu ... Tomy ... ng Tse! Ya itu ... dia kan ganteng," kilah Gita yang teringat drama Taiwan yang populer di awal-awal tahun 2000-an ini.
Yuli terbahak. "Yaelah, Lo kira Meteor Garden!" seru Yuli lalu dia menyanyikan soundtrack series tersebut sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.
Gita senyum-senyum saja. "Ya intinya gue pernah denger lah kalau soal Tomy yang itu dari obrolan orang-orang."
Gadis berwajah campuran keturunan ke-sekian dari nenek moyangnya yang berdarah Belanda itu mengamati kembali Tomy yang berjarak sekitar tiga meter darinya.
Gue emang tau dia ... pas dia udah gede dan mapan tapi hehe. Kalau pas SMA mah boro-boro. Huft! Coba aja gue kenalan dan jadi bestie Tomy dari dulu, pasti bisa nego harga lebih murah dan dapet cuan pas kerja sama.
Tomy yang gue kenal di dunia kerja itu ... agak dingin orangnya, kalau Tomy versi remaja apa sifatnya begitu juga?
"Git! Dia ke sini Git!" Yuli berseru heboh.
Gita gelagapan mendapati kehadiran Tomy yang tiba-tiba sudah berada beberapa langkah dari tempat duduk mereka berdua.
Bergegas Gita mengumpulkan kesadarannya karena tadi tengah melamunkan prosepek masa depan. Di mana ia bisa mendapat keuntungan rupiah bahkan dolar dari menjalin relasi dengan Tomy muda saat ini.
"Hai Kak!" sapa Yuli ceria dengan senyum lebar sementara kakinya heboh menyenggol kaki Gita, yang ditanggapi Tomy dengan senyum samar.
"Aw!" pekik Gita kala Yuli menginjaknya sekuat tenaga. Astaghfirullah ini balasan atas serangan gue ke Ara tadi kayaknya.
Gita hendak marah, namun Yuli memberi kode agar Gita menyapa Tomy yang berdiri di samping meja.
"Eh Tomy, eh maksud gue Kak Tomy, duduk Kak," ujar Gita seraya memberi ruang untuk lelaki tampan itu.
"Gimana kabarnya ... Lo udah baik-baik aja?" tanya Tomy menoleh pada Gita.
"Alhamdulillah Kak, makasih ya waktu itu udah nolongin gue," ucap Gita tulus.
Tomy menatap lurus manik Gita. Satu sudut bibirnya terangkat. "Ternyata Lo ceria ya orangnya. Agak enggak nyangka bisa begitu," tandas Tomy.
Gita menelan ludah, ia merinding. Sungguh tidak ada yang salah dengan kata-kata Tomy, bahkan wajah lelaki muda itu pun tersenyum. Namun Gita tidak merasakan keramahan dari ucapan Tomy, bahkan terdengar bagai sindiran di telinganya.
Gadis itu mendadak gelisah. Apa gue ada salah sama Tomy?
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/