"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Aku meletakkan guling di tengah-tengah ranjang sebagai pembatas di antara aku dan Mas Erik. Sebenarnya pembatas itu tidak terlalu berguna karna ukuran ranjangku tidak besar. Jika bergeser ketengah sedikit saja, maka akan bersentuhan. Meski begitu, setidaknya Mas Erik bisa mengerti kalau aku serius ingin menjaga jarak.
Mas Erik hanya memperhatikan ketika aku meletakkan guling kedua, lalu merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Tidak sekalian kamu pasang dinding di tengah-tengah?" Ledeknya dengan wajah datar.
"Seandainya bisa, aku ingin membelah ranjang ini menjadi dua!" Sahutku malas. Aku segera berbaring dan memunggungi Mas Erik.
Mas Erik malah tertawa kecil. "Butuh bantuan?" Ujarnya sambil menahan tawa. Aku berbalik dan menatapnya kesal. Bisa-bisanya dia tertawa, padahal aku serius.
"Mas Erik pikir aku sedang bercanda?"
"Hanya terdengar lucu." Sahutnya. "Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa tidur di lantai. Ada bedcover tidak?" Tanyanya seraya bangun dari ranjang.
"Tidak tau, coba saja cari di lemari paling bawah." Aku menarik selimut sampai menutupi kepala meskipun masih memakai kerudung. Mataku sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Aku juga tidak mau tau malam ini Mas Erik mau tidur di ranjang atau di lantai, asal tetap menjaga jarak denganku.
...*****...
Aku terbangun di sepertiga malam. Mungkin karna sudah menjadi rutinitas, jadi meski tanpa alarm, aku terbangun dengan sendirinya. Sejak dulu aku selalu memohon dan mengadukan apapun pada sang pencipta di sepertiga malam. Disaat sebagian banyak orang mungkin tertidur pulas, aku menengadahkan tangan dan duduk di atas sajadah. Tidak ada yang lebih menenangkan selain memanjatkan doa.
Terkadang kita lupa bahwa semua yang kita miliki tidak pernah lepas dari campur tangan sang pencipta, lalu melupakan begitu saja apa seharusnya menjadi kewajiban kita.
Malam ini aku tidak bisa menggelar sajadah karna masih kedatangan tamu bulanan. Aku berbalik badan ingin mengubah posisi tidur, seketika ingat dengan Mas Erik ketika melihat guling masih rapi di tengah-tengah ranjang.
"Dia benar-benar bawah." Lirihku. Dengan rasa penasaran, aku merangkak perlahan ke sisi ranjang yang kosong untuk melihat ke bawah. Mas Erik tampak tidur meringkuk dilantai yang hanya di alasi selimut.
Aku turun dari ranjang dan menyalakan lampu utama karna samar-samar melihat tubuh Mas Erik seperti menggigil. Ternyata penglihatan ku tidak salah, Mas Erik benar-benar menggigil dengan wajah yang memerah.
Suhu udara di kamar ini memang cukup dingin. Aku menurunkan suhu ruangan paling dingin karna harus tidur menggunakan baju serba panjang dan kerudung. Ditambah lagi semalam hujan lebat, membuat suhu di kamar ini semakin dingin. Melihat Mas Erik tidur di lantai dengan beralaskan selimut, tidak heran jika tiba-tiba dia demam.
"Mas Erik, bangun." Aku mengguncang pelan bahu Mas Erik. Tubuhnya benar-benar panas, padahal aku hanya menyentuh bahunya sedikit, tapi bisa merasakan hawa panasnya.
Mas Erik menggeliat. Matanya yang terpejam, perlahan terbuka. "Kenapa?" Lirihnya serak.
"Pindah ke ranjang, badan Mas Erik panas." Aku hampir menyentuh tangan Mas Erik untuk membantunya bangun, tapi mengurungkan niat dan membiarkan Mas Erik bangun sendiri tanpa aku suruh dua kali.
"Kalau tidak ada bedcover kenapa memaksa tidur di lantai?. Jangan salahkan aku kalau sekarang Mas Erik demam." Aku jadi tidak tahan untuk mengomel. Mas Erik tidak sebodoh itu, harusnya dia bisa berfikir jika malam ini sangat dingin san cukup beresiko kalau tetap tidur di lantai hanya beralaskan selimut yang tidak seberapa tebalnya.
Mas Erik menghela nafas dan menggulung dirinya menggunakan selimut. "Besok saja marah-marahnya, kepalaku makin sakit dengar kamu mengomel."
Aku memilih diam. Kondisi Mas Erik tampak lemah, aku jadi sedikit kasihan untuk menegurnya lagi.
Aku mengambil remote untuk mematikan AC karna tubuh Mas Erik masih menggigil meski sudah pindah ke ranjang.
"Jangan tidur dulu, aku akan mengambil obat dan air hangat." Aku buru-buru pergi ke dapur dan kembali ke kamar lagi setelah membawa air putih hangat, obat penurun panas, termometer dan air hangat untuk mengompres.
Pria itu mengubah posisinya menjadi duduk saat melihat aku berdiri di samping ranjang. Aku menyodorkan obat dan air hangat padanya.
"Makasih." Mas Erik mengembalikan gelas yang sudah kosong. Pria itu terlihat tidak berdaya untuk berdebat denganku seperti biasanya. Dia langsung merebahkan tubuhnya lagi selesai meminum obat.
Aku mengarahkan termometer ke kening Mas Erik untuk mengukur suhu tubuhnya dan mencapai 41 derajat. Pantas saja aku merasakan hawa panas meski hanya berdiri di dekatnya.
"Tidurnya jangan miring biar aku bisa mengompres keningnya." Cegah ku.
Mas Erik membenarkan posisinya karna tadi hampir menyamping.
"Tiba-tiba sekali kamu jadi baik." Lirihnya.
Aku berdecak, rupanya dia masih punya tenaga untuk memancing ku berdebat.
"Apa perlu aku telfon pacar Mas Erik agar datang kesini, biar dia saja yang mengompres." Sembari mengomel, aku memasukkan kain ke dalam air hangat dan memerasnya sebelum di letakkan di kening Mas Erik.
Tidak ada jawaban lagi, Mas Erik tampak memejamkan mata rapat-rapat. Entah karna sudah malas bicara, atau memang tidak punya tenaga lagi.
...******...
Aku bangun pukul 5 pagi dalam keadaan berkeringat karna membiarkan AC tetap mati agar Mas Erik bisa tidur dengan nyaman. Semalam aku memutuskan tidur lagi pukul 3 setelah memastikan suhu badan Mas Erik turun.
Pagi ini aku kembali memeriksa suhu tubuhnya dan sudah turun menjadi 38 derajat. Walaupun masih panas, tapi tidak separah tadi malam.
Aku pergi ke dapur setelah mandi. Mas Erik masih tertidur pulas dan tidak ada tanda-tanda akan bangun. Sampai di dapur, ada Ibu yang sudah sibuk berkutat dengan bahan masakan.
"Mau ambil apa sayang?" Tanya Ibu.
"Mas Erik demam Bu, aku mau buatin bubur." Aku mengambil wadah dan mengisinya dengan sedikit beras.
"Demam? Bukannya tadi malam sehat-sehat saja." Ujar Ibu terkejut.
"Sakit kan bisa datang kapan saja Bu. Mungkin Mas Erik kecapean dan sejak kemarin kurang tidur."
Anggap saja Mas Erik demam karna memang kelelahan dan kurang tidur, bukan gara-gara tidur di lantai.
"Sudah kamu kasih obat?"
"Sudah Bu. Sekarang sudah turun demamnya."
"Apa perlu periksa ke dokter? Nanti Ibu suruh Abang mu mengantar ke klinik." Tawar Ibu.
Aku menggeleng. "Tidak usah Bu, nanti juga sembuh setelah sarapan dan minum obat lagi."
"Ya sudah kalau begitu."
...*****...
Aku membawa nampan berisi semangkuk bubur, air hangat dan obat. Mas Erik sudah bangun ketika aku masuk ke kamar. Dia berdiri di dekat jendela yang terbuka dan menoleh saat aku menutup pintu.
"Sudah sembuh?" Aku memperhatikan wajah Mas Erik yang tidak lagi kemerahan.
"Masih sedikit pusing."
"Kalau begitu sarapan dulu dan minum obat lagi. Suka bubur kan?" Aku bertanya karna tidak tau Mas Erik suka bubur atau tidur.
Pria jangkung itu mengangguk dan mendekat ke ranjang karna aku meletakkan nampan di meja rias.
"Aku akan pulang ke Jakarta jam 9 nanti." Ujarnya.
aku mengangguk. "Terserah Mas Erik saja kalau memang sudah kuat menyetir. Aku akan ke dapur membuat sarapan, panggil saja kalau butuh sesuatu." Aku beranjak dari sana. Tiba-tiba Mas Erik memanggilku saat aku sudah membuka pintu kamar.
"Bulan."
"Ya?" Aku berbalik badan menatapnya. Mata kami sempat beradu selama beberapa detik dan Mas Erik tidak mengatakan apa-apa.
"Makasih buburnya." Ucapnya setelah terdiam cukup lama.
Aku hanya mengangguk kecil dan keluar dari kamar.
Kalo perlu latihan mandi bareng dulu di bawah shower🤭