Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Selalu Salah
Bab 12. Selalu Salah
POV Author
Pagi-pagi rumah Bu Ida sudah ramai oleh kedatangan cucu-cucunya. Seperti tidak memiliki kegiatan yang lain, pagi itu Tatik sudah bertandang ke rumah Ibunya.
"Bu, curiga tidak sih Bu sama Hendra? Tiap malam dia pergi keluar, mana dandannya rapi dan wangi lagi." Tukas Tatik.
"Curiga gimana?" Tanya Bu Ida yang masih belum paham.
"Itu loh Bu, si Hendra itu apa jangan-jangan ada wanita lain ya Bu, alias selingkuh?"
"Halah, kamu tahu dari mana?"
"Duh Ibu! Ibu perhatikan deh sikapnya akhir-akhir ini! Beda Bu...Tapi apa di Lastri dekil itu tidak merasa dan tidak tahu ya?"
"Kalau ada dia disini, kamu jangan berbicara begitu tentang Hendra. Kalau dia ngambek terus kabur kita juga yang repot mesti cari orang buat bekerja di rumah ini!"
"Iya Bu, aku tahu!"
"Kamu ini tidak ada kerjaan apa? Pagi-pagi sudah disini." Sewot Bu Ida.
"Si kembar kan libur Bu, Mas Wawan juga sudah berangkat kerja. Tinggal Hendra saja yang menukar kendaraannya disana. Tapi sekarang kunci motornya dia bawa terus Bu. Aku jadi susah mau kemana-mana."
"Lah terus motor mu kemana?"
"Sayang Bu mau ngeluarinnya, takut kotor dan hemat BBM juga kan kalau pakai motor Hendra." Jawab Tatik dengan santainya.
"Ibu lapar..." Kata Marla mendekati mereka.
"Anak-anak mu belum sarapan?" Tanya Bu Ida.
"Belum Bu, aku belum belanja hari ini. Ibu sudah masak?"
"Jam segini Lastri belum datang bantuin Ibu masak. Sudah, anakmu suruh main ke rumah Hendra dan minta sarapan saja disana."
Tatik mengangguk mendengar saran ibunya.
"Dion! Marla!"
"Ya Bu..." Jawab si kembar serempak dan mendatangi ibu mereka.
"Kalian ke rumah Om Hendra dan sarapan di sana ya?! Pinggir-pinggir jalannya biar tidak ditabrak!"
"Iya Bu..."
Kedua bocah kembar itu pun segera melesap ke rumah Hendra yang hanya berselang 3 buah rumah dari rumah nenek mereka.
Nilam keluar dari kamarnya. Masih dengan pakaian tidur bahkan belum mencuci muka.
"Heh Nil! Jam segini kamu baru bangun? Kamu tidak kuliah?"
"Ck, Mbak jangan panggil Nil dong?! Nilam! Emang aku kuda Nil apa?!"
"Halah, kuliah sana kamu! Ngabisin uang Hendra saja!"
"Emangnya Mbak tidak?!"
"Mana pernah aku ngerepotin Hendra! Tidak kayak kamu itu!"
"Iya Mbak memang tidak pernah, tapi ngerepotinnya lewat Dion sama Marla!"
"Kamu ya! Bener-bener!"
"Sudah, sudah! Kalian kok malah ribut!" Ujar Bu Ida menengahi mereka.
"Bu, Ibu... Bi Lastri tidak masak. Kami mau jajan Bu..!" Kata Dion dan Marla yang kembali lagi dari rumah Lastri.
"Aduh bagaimana sih si Lastri ini?!" Gerutu Tatik. "Ya sudah, ini kalian jajan di tempat Bu Mar. Jalannya pinggir ya?!" Ujar Tatik setelah menyerahkan uang 20 ribuan kepada Dion.
Si kembar pun kembali meninggalkan rumah dan pergi ke tempat Bu Mar yang menjual nasi uduk.
Berselang si kembar pergi, Lastri pun datang.
"Assalamualaikum..." Salam Lastri ketika hendak memasuki rumah.
Semua terdiam ketika Lastri datang. Lirikan mata tidak suka jelas mereka perlihatkan, meski mulut mereka bungkam.
Lastri pun sama, tidak ingin berada lebih lama di rumah itu, ia segera menyelesaikan pekerjaannya.
Lastri mulai mencuci pakaian, setelah bersih ia pula yang menjemurnya. Setelah itu ia memasak, dan mencuci piring-piring yang kotor setelahnya. Kemudian baru lah ia menyapu sambil merapikan barang-barang yang berserakan di rumah itu.
Tapi setelah dirapikan, lantai kembali berserakan oleh mainan Dion dan Marla yang baru pulang dari pergi sarapan dan kembali bermain. Padahal Lastri hendak mengepel lantai itu.
"Heh Lastri? Kamu mulai malas?! Kenapa ini masih berantakan?!" Tuding Bu Ida.
Tatik dan Nilam tersenyum sambil jari-jari tangan berselancar ria dengan handphone masing-masing mendengar Ibu mereka memarahi Lastri.
"Tadi sudah aku sapu Bu, juga sudah aku rapikan. Tapi kan Dion dan Marla lagi main, jadi berantakan lagi." Jawab Lastri membela diri.
Telinga Nilam dan Tatik seketika panas. Senyum yang tadi terukir berubah menjadi raut wajah yang masam. Apalagi Tatik, ia tidak terima anak-anaknya disebut seakan-akan di salahkan oleh Lastri.
"Kamu menyalahkan anak kecil? Kamunya saja yang tidak berberes yang benar!" Sungut Tatik menyela pembicaraan Lastri dan Ibunya.
"Iya nih, namanya juga anak kecil. Wajarlah kalau mereka main, ya berantakan!" Timpal Nilam.
"Bukan begitu maksud ku Mbak. Aku hanya ingin kalian tahu bukan aku tidak merapikan hanya saja kan...."
"Halah, dasar kamunya saja yang malas!" Sanggah Ibu Ida.
Lastri menghela napas.
Percuma saja aku membela diri. Aku lupa kalau di rumah ini hanya keluarga ini yang selalu benar ucapannya, batin Lastri mengeluh.
"Kamu ini tidak tahu di untung, sukur-sukur Hendra mau bertanggung jawab padamu. Jadi jangan ngeluh kalau membantu meringankan pekerjaan Ibu disini." Kata Tatik.
Apa?! Justru kalian yang harusnya bersyukur. Jika orang tuaku tidak mau berdamai, Mas Hendra lah yang akan masuk penjara. Dan belum tentu kalian bisa menikmati apa yang ada sekarang, jawab Lastri hanya di dalam hati.
Lastri meremas sedikit bajunya karena kesal akan ucapan Kakak iparnya.
"Apa kamu mau melawan Ibu mertua kamu?!" Tanya Tatik.
"Tidak Mbak. Ya sudah, akan aku bereskan lagi." Jawab Lastri mengalah.
Tidak lagi Lastri menjawab ucapan-ucapan mereka. Toh apapun pembelaannya akan selalu salah di mata mereka. Lebih baik Lastri mendengar, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri agar mereka cepat diam dan kerjaannya pun segera beres dan cepat pulang sebelum waktunya menjemput Diah pulang sekolah.
Nilam tersenyum puas melihat Lastri di marahi oleh Mbaknya, Tatik.
Setelah beberapa kali merapikan, dan hanya mengepel lantai yang kosong saja, akhirnya Lastri selesai juga membereskan pekerjaan rumahnya.
Lastri mengelap keringat di kening dengan punggung tangannya. Bajunya pun di beberapa tempat tampak basah oleh keringat.
"Bu, sudah selesai. Aku pulang dulu."
Nilam dan Tatik menutup hidung mereka ketika Lastri pamit pada ibu mertuanya.
Jarak mereka yang tidak jauh itu memang sempat mencium bau keringat Lastri yang membanjiri tubuhnya.
"Dasar dekil! Perempuan udik! Bau banget! Gimana Hendra mau dekat sama dia modelan begitu!" Gumam Tatik membuang muka, tidak mau melihat Lastri.
Hati Lastri merasa sakit di perlakukan demikian. Jika saja Hendra memberikan uang yang cukup untuknya merawat diri, tentu ia tidak akan sekumal pandangan mereka, pikir Lastri. Jelas saja Lastri merasa sedih karena bukan salahnya dia berpenampilan demikian. Tapi salah suaminya lah, yang tidak cukup memberi nafkah padanya.
Karena yang Lastri tahu, kewajiban suami terhadap isteri adalah memberikan mahar kawin menurut sebuah buku yang pernah ia baca ketika masih sekolah. Selain itu juga memberi nafkah yang layak sesuai kemampuan, memberi pakaian dan tempat tinggal, menggauli istri secara makruf (baik), menjaga istri dari dosa, dan memberikan cinta dan kasih sayang. Dari kewajiban itu masih terdapat beberapa perkara yang tidak di penuhi oleh suaminya.
Juga tugas suami yang sangat penting yang tidak di jalani Hendra dengan baik yaitu berperan sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab untuk menjaga, merawat, memelihara dan menjamin kebutuhan istri dan seluruh anggota keluarga lainnya. Benar dia merawat dan memelihara anggota keluarganya, tapi bukan pada anak dan istrinya.
Bersambung...