Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Leo terpaku. Kakinya yang kokoh, yang tadi begitu bertenaga mengejar mangsanya, kini kehilangan tulang penyangga.
BRUK!
Tubuh Leo ambruk. Lututnya menghantam aspal jembatan dengan keras, disusul oleh tubuhnya yang limbung ke depan. Rasa nyeri di lututnya tidak sebanding dengan hantam keras yang baru saja meninju logikanya.
Ia merangkak maju sedikit, tangannya mencengkeram besi pembatas yang dingin, besi yang baru saja dilepaskan oleh Raya. Ia melongok ke bawah, ke arah kegelapan pekat di mana gadis itu menghilang.
Hanya hitam, dan suara gemuruh air yang terdengar seperti tawa iblis yang mengejek ketidakberdayaannya.
"Raya..." panggilnya, suaranya pecah.
Perlahan, Leo menarik tubuhnya mundur dan duduk bersimpuh di atas aspal yang kasar. Kedua tangannya naik, mencengkeram rambutnya sendiri dengan brutal, menjambaknya kuat-kuat seolah ingin menarik keluar rasa frustrasi yang meledak di kepalanya. Napasnya tersengal, dadanya naik turun dengan cepat, namun tatapan matanya kosong.
Ia tidak mengerti.
Di mata Leo, Raya adalah sasaran empuk. Ketika ayah kandungnya memaki, Raya hanya menunduk. Ketika ibu tiri dan saudara tirinya, menindasnya, menjadikan hidupnya seperti neraka, Raya hanya diam. Gadis itu hanya bisa menangis dalam senyap sambil memeluk lututnya sendiri, menerima setiap pukulan, cacian, dan ketidakadilan tanpa pernah sekalipun mengangkat wajah untuk melawan. Bahkan ketika Leo memaksakan kehendaknya, merenggut kehormatan gadis itu berulang kali di kamar yang sunyi.
Jadi, dari mana datangnya keberanian gila ini?
Bagaimana mungkin gadis yang takut pada bayangannya sendiri, berani menatap kematian tepat di mata dan melompat tanpa ragu? Kenapa dia lebih memilih mati ditelan arus sungai yang ganas daripada kembali ke rumah bersamanya?
"Kenapa?" batinnya menjerit. "Kenapa kau senekat itu, Raya?" teriak Leo pada angin malam, suaranya pecah antara amarah dan kepanikan.
Namun, di antara kekalutan itu, ada satu hal yang lebih mengganggunya. Satu kalimat terakhir yang Raya ucapkan sebelum ia menjatuhkan diri. Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak, berulang-ulang dengan nada suara Raya yang lirih namun tajam.
"Kau... dan anak ini... tidak akan pernah memilikiku lagi."
Gerakan tangan Leo di rambutnya terhenti. Tubuhnya membeku.
"Anak ini?" gumamnya lirih.
Keningnya berkerut dalam. Otaknya yang kacau berusaha mencerna dua kata sederhana itu. Raya menyentuh perutnya saat mengatakannya. Tatapannya tertuju pada Leo dengan sorot penuh makna yang mengerikan.
Mata Leo melebar, wajahnya pucat pasi di bawah sinar lampu jalan yang remang-remang.
Sebuah kesadaran mengerikan mulai merambat naik ke tenggorokan Leo, mencekiknya.
"Dia... hamil?" bisik Leo, suaranya bergetar hebat.
"Tidak mungkin," desis Leo, menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis kemungkinan itu. "Dia pasti berbohong. Dia hanya ingin membuatku merasa bersalah. Dia gila. Ya, dia pasti sudah gila karena ketakutan."
Tapi bantahan itu terasa lemah. Ingatannya terlempar ke beberapa minggu terakhir. Wajah Raya yang semakin pucat, tubuhnya yang sering terlihat lemas di pagi hari, nafsu makannya yang hilang, dan bagaimana gadis itu sering meringkuk memegangi perutnya. Leo mengira itu hanya akting, atau mungkin sakit biasa karena stres.
Jika benar Raya hamil... itu berarti benihnya. Darah dagingnya.
Dan Raya baru saja membawa darah dagingnya itu terjun ke sungai berarus deras untuk mati bersamanya.
"ARGHHHH!!!"
Leo meraung panjang, suaranya menggema membelah kesunyian malam di atas jembatan tua itu. Ia memukul aspal dengan kepalan tangannya berulang kali hingga kulit buku-buku jarinya robek dan berdarah.
Rasa bersalah, marah, dan kehilangan bercampur menjadi racun yang menyakitkan.
Raya telah mengambil keputusan mutlak. Dia tidak hanya membunuh dirinya sendiri, dia juga membunuh satu-satunya ikatan yang mungkin bisa membuat Leo memilikinya selamanya.
* * *
Leo berlari seperti orang gila. Jarak dari jembatan ke rumah yang seharusnya jauh, ia tempuh dengan paru-paru yang seakan mau meledak. Ia tidak peduli pada tatapan orang atau kakinya yang lecet.
Brak!
Pintu utama rumah mewah itu terbanting keras saat Leo menghambur masuk.
"Leo! Ada apa?! Kenapa kamu pulang dengan keadaan kacau begini?" David berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang. Di sampingnya, Linda yang biasanya selalu acuh tampak mematung.
"Raya..." Leo terengah, keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat pasi. "Raya melompat dari jembatan. Dia... dia terjun ke sungai."
Hening sejenak, sebelum akhirnya kepanikan pecah. David dan Linda, yang biasanya tidak pernah peduli dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan raya, kini mendadak sibuk. David segera meraih ponselnya, menghubungi tim SAR dan kepolisian dengan suara gemetar. Linda mulai mondar-mandir histeris, mungkin takut jika berita ini menjadi skandal yang merusak reputasi keluarga.
Namun, Leo tidak peduli lagi pada keributan itu. Persetan dengan kepanikan mereka. Persetan dengan pencarian itu. Baginya, Raya sudah hilang saat air sungai itu menelannya. Ia butuh jawaban lain. Jawaban atas kalimat terakhir gadis itu.
Leo berlari menaiki tangga, melompati dua anak tangga sekaligus. Ia menuju lorong lantai dua, melewati kamarnya sendiri, dan berhenti tepat di depan pintu paling ujung.
Kamar Raya.
Tangan Leo gemetar hebat saat menyentuh gagang pintu dingin itu. Ia memutarnya, dan pintu terbuka dengan derit pelan. Aroma kamar itu langsung menyeruak, wangi sabun murah yang biasa Raya pakai, bercampur dengan aura kesepian yang pekat.
Leo melangkah masuk dengan kaki lemas. Ruangan ini adalah saksi bisu. Dinding-dinding ini tahu betapa seringnya Leo masuk ke sini bukan sebagai kakak, melainkan sebagai monster. Ranjang itu tahu berapa banyak air mata Raya yang tumpah karena ulahnya.
"Di mana..." gumam Leo, matanya menyapu seluruh ruangan dengan liar. "Di mana kau menyembunyikannya, Raya?"
Ia mulai menggeledah. Laci meja belajar ia tarik hingga terlepas dari relnya, isinya berhamburan ke lantai. Nihil. Ia berlutut, meraba kolong tempat tidur yang gelap dan berdebu. Kosong.
Kepanikan Leo memuncak. Ia berdiri dan menerjang lemari pakaian kayu tua di sudut ruangan. Pintu lemari itu ia buka kasar.
"ARGHHH!" erangnya frustrasi. Tangannya menarik keluar tumpukan baju-baju lusuh milik Raya, melemparnya ke sembarang arah. Kemeja, kaos, rok panjang, semua berserakan. Hingga di bagian paling bawah, jemarinya menyentuh sebuah kotak kecil berwarna biru muda yang tersembunyi rapi.
Napas Leo tercekat. Ia meraih kotak itu seolah sedang memegang bom yang siap meledak. Dengan perlahan, ia membukanya.
Di dalamnya, sebuah test pack plastik terletak kaku. Leo mengangkatnya, dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat dua garis merah yang sangat jelas.
Deg.
Dunia di sekitar Leo runtuh seketika. Lututnya tak lagi sanggup menopang tubuhnya. Ia merosot jatuh, terduduk di antara tumpukan baju Raya yang berserakan. Raya tidak berbohong. Gadis itu tidak sedang memanipulasinya.
"Raya hamil..." bisiknya, suaranya pecah menjadi isakan yang menyedihkan. "Dan itu... itu anakku."
Pandangan Leo kabur oleh air mata. Ia menatap kedua telapak tangannya sendiri yang masih memegang test pack itu. Tangan yang besar dan kuat.
Ingatannya berputar ke belakang, menayangkan ulang setiap kekejamannya seperti film horor. Tangan ini yang menjambak rambut Raya. Tangan ini yang menampar pipi tirus itu. Tangan ini yang memukul dan memaksanya tunduk dalam ketakutan.
"Maaf..." rintihnya, mencengkeram test pack itu di dadanya. "Maafkan aku, Raya... Maaf..."
Kata itu meluncur keluar berulang kali, "Maaf... maaf... maaf..."
Tapi dinding kamar itu tetap diam. Pakaian-pakaian Raya yang berserakan tetap diam. Tidak ada yang menjawabnya.
Penyesalan itu datang menghantamnya seperti ombak raksasa, menenggelamkannya dalam rasa bersalah yang abadi. Leo sadar, sebanyak apa pun ia meraung, sebanyak apa pun kata maaf yang ia ucapkan, Raya tidak akan pernah kembali.