NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dilabrak Ines dan Ela

Otak Zoya serasa meledak dan membeku di saat yang bersamaan. Pak Radit yang tampan menatapnya tajam. Riani di sampingnya melotot ngeri. Dan Dandi serta Andre di belakang sudah mati-matian menahan tawa.

"HP kamu... bisa bicara, Zoya?" tanyanya, suaranya pelan, tapi terdengar jelas di keheningan kelas yang mencekam.

Zoya panik. Otaknya bekerja seratus kali lebih cepat.

"Ah... I-itu... ITU!" Zoya tertawa, suaranya nyaring dan sumbang. "O-oh te-ternyata Itu bukan HP, Pak! Ini... ini!"

Dengan gerakan dramatis, Zoya membuka tasnya dan menarik keluar walkie-talkie biru pudar itu, mengangkatnya tinggi-tinggi seolah itu adalah piala.

"MAINAN, PAK! Mainan rusak!" serunya, suaranya sedikit histeris. "Punya ponakan bibi saya! Kayaknya kemarin kena air hujan, jadi korslet! Suka ngeluarin suara-suara aneh sendiri! Suara... suara film! Iya, film! Film perang! Serem kan, Pak?"

Zoya mengguncang-guncang mainan itu di udara, berusaha terlihat meyakinkan.

Pak Radit menatap mainan itu, lalu menatap Zoya. Alisnya terangkat sebelah. Seluruh kelas hening, menanti reaksinya.

Dandi dari belakang berbisik, "Film perang... 'Bocah... di mana... obat...'? Film apaan tuh?"

KRIIINGGG…! 

Suara bel istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan yang mencekam. Itu adalah suara terindah yang pernah Zoya dengar seumur hidupnya.

Pak Radit menghela napas pelan. Ia, sebagai guru baru, memutuskan untuk tidak membuat keributan di hari pertama.

"Baik," katanya, suaranya kembali tenang. "Pastikan 'mainan' itu tidak berbunyi lagi di kelas selanjutnya ya, Zoya."

"Siap, Pak! Laksanakan!" jawab Zoya, terlalu bersemangat.

Pak Radit mengangguk sekilas, "Selamat istirahat," lalu mengumpulkan buku-bukunya dan berjalan keluar kelas, masih diikuti oleh tatapan memuja para siswi (yang kini bercampur bingung).

Detik ketika punggung Pak Radit menghilang di ambang pintu, Zoya langsung ambruk ke mejanya, menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. Jantungnya masih berdebar kencang.

MALU BANGET! GILA! GILA! Hari pertama Pak Radit, dan gue udah dikira aneh! Sialan!

"GILA LO!" desis Riani, mengguncang-guncang bahu Zoya. "Lo bawa 'genderuwo' lo ke sekolah ya?! Suara siapa itu tadi?"

"Wih, Zoya sekarang mainannya om-om!" Dandi sudah berdiri di samping meja mereka, diikuti Andre. "Siapa tuh, Zoy? 'Bocah'? Sugar daddy lo, ya?"

Zoya mengangkat wajahnya yang kini merah padam karena malu. 

"Apaan sih lo pada! Berisik!" Serunya kesal. "Itu... itu... ponakan bi inem yang lagi main di rumah! Nyangkut! Iya, frekuensinya nyangkut!"

Riani menyipitkan mata, tahu sahabatnya sedang berbohong. "Alasan lo nggak masuk akal. Kantin, yuk. Lo harus jelasin ke gue. Suara siapa itu sebenernya?”

"Nggak," Zoya mendorong tangan Riani pelan. "Kalian duluan aja. Gw masih mau di kelas. Malu banget gue."

"Ya udah. Awas lo ya, nanti gue interogasi lagi."

Riani, Andre, dan Dandi akhirnya pergi, meninggalkan kelas yang perlahan mulai sepi. Zoya menunggu lima menit, memastikan semua orang sudah keluar.

Ia berdecak pelan. "Awas aja tuh Pak Tua, bikin malu aja," gerutunya, lebih mirip keluhan daripada ancaman. Ia ingat janjinya untuk melapor saat istirahat. Sekarang ia harus melapor sekaligus memberi peringatan keras.

Zoya menyambar tasnya dan berjalan ke sudut kelasnya yang paling sepi, di belakang lemari buku yang tinggi, tersembunyi dari pandangan siapa pun yang mungkin lewat di pintu.

Ia berjongkok, memastikan tidak ada orang. 

Aman.

Tangannya mengeluarkan walkie-talkie biru itu. Ia baru saja akan menekan tombol 'Talk' untuk melancarkan keluhannya… hingga… 

"ZOYA! MANA SI ZOYA!"

​Suara melengking penuh amarah itu terdengar dari pintu kelas. Itu suara Ines.

​Zoya langsung menegang. Mampus. Satu masalah belum kelar, udah dateng lagi yang baru.

​BRAK!

​Pintu kelas XI IPA 3 didorong kasar. Ines dan Ela menerobos masuk. Wajah mereka tidak bisa dibilang baik-baik saja. Keduanya merah padam, napas mereka terengah-engah karena marah.

Mereka baru saja "bebas". Dan orang pertama yang mereka cari adalah Zoya.

Seragam mereka terlihat sedikit lecek. Rambut Ela yang biasanya mengembang sempurna, kini lepek dan ada beberapa helai yang menempel di pipinya yang berkeringat.

​"MANA DIA?! SI BIANG KEROK ITU!" teriak Ela, matanya menyapu seisi kelas yang tinggal menyisakan beberapa murid yang sedang piket.

​"BERANINYA DIA NGUNCIN KITA, BANGSAT!" Ines ikut berteriak, tidak peduli lagi image nya sebagai primadona kelas sebelah.

Dan entah efek panik atau apa, Zoya yang bersembunyi di sudut kelas itu malah keluar dari persembunyiannya lalu duduk di bangku tak jauh dari sana. Mencoba menghilangkan aura keberadaannya.

Ia buru-buru membuka buku paket di depannya, berpura-pura sedang membaca materi dengan sangat serius. Tangannya bahkan meraih stabilo, seolah ada poin penting yang tidak boleh terlewatkan. Ia berdoa dalam hati agar kedua naga betina itu mengira kelas ini kosong dan segera pergi.

​Namun sayang, Mata Ines dan Ela langsung mengunci target. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan satu-satunya sosok yang duduk tenang di sudut ruangan.

​"NAH! ITU DIA ORANGNYA!" pekik Ines, telunjuknya menuding lurus ke arah Zoya.

​Keduanya berjalan cepat, menghentak-hentakkan sepatu mereka di lantai keramik. Suara 'tok-tok-tok' yang penuh amarah itu semakin dekat, menghampiri meja Zoya.

​Zoya bisa merasakan aura panas itu mendekat. Ia menelan ludah, namun tetap memaku pandangannya pada buku. Ia mulai mengetuk-ngetukkan pulpennya ke meja dengan ritme pelan, berusaha terlihat sesantai mungkin, seakan-akan tidak ada dua predator yang siap menerkamnya hanya beberapa langkah lagi.

​BRAK!

​Kedua tangan Ines menggebrak permukaan meja kayu itu, membuat buku dan kotak pensil disana melompat kecil.

Mau tidak mau, Zoya yang masih duduk di bangkunya, akhirnya terpaksa mengangkat kepala pelan-pelan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memasang ekspresi paling bingung sekaligus paling polos yang bisa ia kumpulkan. Ia bahkan mencoba memasang senyum paling manis yang ia bisa, meski jatuhnya lebih mirip orang nyengir ketakutan. Wajahnya yang pura-pura kaget itu terarah lurus pada dua sosok yang kini menjulang di depannya. 

​"Eh... hai, Ines, Ela," sapa Zoya pelan dari mejanya. "Cari... cari siapa, ya?"

Ines menarik napas tajam, tidak percaya dengan reaksi yang didapatnya. "NYARI SIAPA LO BILANG?! KITA NYARI SETAN YANG NGUNCIIN KITA DI TOILET!"

​"Enak banget ya lo!" desis Ines, menghardik Zoya "Abis ngunci kita di toilet, lo santai-santai di sini?!"

​Zoya mengerjap lagi. Telunjuknya menunjuk ke wajahnya sendiri dengan ragu.

​"Gw?" tanyanya, suaranya semakin pelan, seolah-olah dia adalah korban salah tuduh. "Maksudnya... ngunci? Ngunciin apaan? Gw dari tadi disini. Ngerjain tugas," katanya sambil menepuk-nepuk buku paket di depannya, seolah itu adalah alibi terkuatnya. "Kalian kenapa, sih? Dari toilet? Ada masalah sama airnya?"

Wajah Ines yang sudah merah padam semakin mengeras. Pertanyaan polos Zoya barusan seperti bensin yang disiram ke api yang sudah berkobar.

"MASALAH AIR?!" Ines menggebrak meja sekali lagi, meski tidak sekeras yang pertama. Giginya bergemeletuk. "LO SERIUS NANYA ITU?"

"Gara-gara lo kita ngga ikut apel," sela Ela cepat, suaranya lebih dingin dan tajam, yang entah kenapa jauh lebih menakutkan daripada teriakan Ines. "Kita dihukum bu Mirna! Dan itu semua salah lo, Zoya!"

Ines langsung menunjuk dirinya sendiri dan Ela bergantian, rambut mereka yang biasanya lurus dan terawat kini sedikit lepek dan kusut. 

"Lo liat ini?" desis Ines. "Muka kita merah kebakar! Kita baru selesai dihukum! KITA DISURUH BERDIRI DI TENGAH LAPANGAN SAMPE JAM ISTIRAHAT PERTAMA! SEMUA ORANG BEGO ITU NGELIHATIN KITA! GARA-GARA KITA NGGAK IKUT APEL!"

Zoya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya yang bulat dibuat seolah-olah baru mendengar berita paling mengejutkan di dunia.

"Ya ampun... serius?" suaranya teredam oleh telapak tangannya. "Kalian... kalian dihukum? Gara-gara nggak ikut apel? Kok bisa... kalian bolos, ya?"

Pertanyaan terakhir itu adalah batas kesabaran Ines.

"BOLOS LO BILANG?!" pekik Ines, suaranya melengking tinggi hingga Zoya refleks memejamkan mata. "KITA DIKUNCIIN, ZOYA! DI-KUN-CI! GIMANA CARANYA KITA MAU APEL KALO KITA KEJEBAK DI DALEM CUBICLE BAU PESING ITU, HAH?! DAN ITU SEMUA GARA-GARA ELO!"

Zoya menggeleng cepat, matanya yang tadi pura-pura kaget kini benar-benar menunjukkan sedikit ketakutan (meski lebih karena volume suara Ines).

"Gara-gara gw?" ulangnya, suaranya dibuat bergetar. "Gw... Gw bahkan nggak ke toilet hari ini, Nes. Sumpah. Gw di kelas ngerjain tugas. Kalian salah orang, mungkin?"

"SALAH ORANG?!" bentak Ines, nyaris meludah. "Kita emang nggak liat lo! Tapi kita denger suara lo!"

Ela mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih dingin menusuk. "Jangan pura-pura bego, Zoya. Kita hafal banget suara sok manis lo itu."

"Dan kita denger lo ketawa cekikikan pas lari!" tambah Ines, mengepalkan tangannya di atas meja Zoya. "Cuma lo yang punya ketawa aneh kayak gitu!"

Zoya menelan ludah. Alibinya soal 'di kelas terus' baru saja dimentahkan. Ia melirik ke walkie-talkie yang masih tergeletak di atas tasnya di lantai. Ia dalam masalah besar. Dua masalah sekaligus. 

Zoya menelan ludah. Ia terjebak. Di sebelah kirinya tembok lemari buku, di depannya dua naga betina yang sedang menyemburkan api amarah. Otaknya berputar cepat.

Melawan? Tidak mungkin. Dia memang salah (karena mengunci mereka), dan dia tidak punya tenaga untuk adu mulut sekarang, apalagi adu fisik.

Berdamai? Tidak akan didengar. Ines dan Ela sudah di level marah maximal. 

Satu-satunya pilihan: KABUR.

"Enak banget ya lo!" desis Ines, melangkah lebih dekat. "Lo pikir itu lucu, hah?!"

"Tanggung jawab ngga lo sekarang!" Ela ikut menimpali, tangannya sudah terkepal.

"Eh... dengerin dulu," Zoya mulai beringsut, tangannya memegang erat tali tasnya di lantai. "Itu... itu kan... itung-itung terapi vitamin D buat kalian? Berjemur kan bikin... sehat?"

Itu adalah hal yang salah untuk diucapkan. Mata Ines makin menyipit. "Kurang ajar lo!"

Ines maju, tangannya terulur hendak menjambak kuncir kuda Zoya.

Itu adalah sinyal yang Zoya tunggu.

SEKARANG!

"ADUH, PERUT GUE!" Zoya tiba-tiba memekik kencang, memegangi perutnya dengan ekspresi paling menderita yang bisa ia buat. "BISULNYA MAU TUMBUH LAGI! GAWAT!"

Ines dan Ela, yang tadi sudah siap menyerang, refleks mundur selangkah. Ekspresi mereka berubah dari marah menjadi jijik.

"Hah?! Bisul?!"

Momen sepersekian detik itulah yang Zoya manfaatkan.

Dengan kelincahan seekor musang yang dikejar anjing, Zoya tidak berdiri. Ia mendorong tasnya ke depan hingga mengenai kaki Ela, lalu ia menyelam ke bawah meja di sebelahnya.

BRAK!

"WOY!" Ela berteriak kaget, kehilangan keseimbangan.

Zoya merangkak cepat di bawah dua meja, lalu berdiri di sisi lain kelas yang kosong, dekat pintu.

"MAU KABUR KE MANA LO?!" teriak Ines, sadar telah ditipu.

"Maaf, gaes! Urusan bisul! Darurat!" Zoya berteriak, tidak menoleh ke belakang. Ia langsung melesat keluar dari pintu kelas XI IPA 3.

"ZOYA! AWAS LO YA!"

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!