NovelToon NovelToon
Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Time Travel / Cinta Seiring Waktu / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bangkit di Dapur Steril

Api.

Bukan api arang yang menjilat-jilat tusukan sate usus kesukaannya, bukan pula api kompor gas biru yang menderu di bawah wajan nasi goreng tek-tek langganannya. Ini adalah api yang membakar dari dalam, merayap naik dari lambungnya yang telah menjadi kawah bergolak, menyusuri kerongkongan, dan meledak di belakang matanya. Han Qiu menggeliat di atas aspal yang lengket dan kotor, di antara riuh klakson dan pekik orang-orang yang samar-samar terdengar seperti dengungan lebah sekarat.

Setiap napas adalah perjuangan melawan gelombang mual yang hebat.

Di sela-sela kejang perut yang menyiksanya, sebuah ironi pahit menyelinap ke dalam kesadarannya yang mulai kabur. Mati karena makanan. Seorang Han Qiu, pemuja fanatik street food, duta tidak resmi bagi segala jenis jajanan yang lahir dari minyak panas dan bumbu medok, kini terkapar tak berdaya oleh tusukan sate usus yang ia santap tiga puluh menit lalu.

Ia bahkan masih bisa mengingat rasanya—gurih yang sedikit pahit, tekstur kenyal yang meletup di mulut, dibalut bumbu kacang yang legit dengan jejak pedas menggigit di akhir. Keajaiban reaksi Maillard yang sempurna, pikirnya dengan getir. Sebuah simfoni rasa yang kini menjadi lagu kematiannya.

Penyesalan? Tentu saja.

Bukan penyesalan karena mencintai makanan jalanan, tetapi penyesalan karena telah abai. Ia melihat genangan minyak di gerobak itu, melihat lalat yang hinggap sejenak di atas tumpukan lontong, tetapi hasratnya yang buas mengalahkan akal sehatnya.

Ia, yang selalu berdebat dengan ayahnya tentang keagungan rasa yang jujur dan tanpa pretensi, akhirnya tewas oleh kejujuran yang terlalu brutal.

Dunia di sekelilingnya mulai kehilangan warna, melebur menjadi palet abu-abu yang membosankan, seperti bubur bening di rumah sakit yang paling ia benci. Aroma terakhir yang berhasil menembus kabut kematiannya adalah bau sangit dari knalpot bajaj yang lewat, bercampur dengan aroma manis samar dari pedagang martabak di seberang jalan. Lalu, segalanya menjadi gelap dan hening.

Keheningan itu pecah. Bukan oleh suara sirene ambulans yang ia harapkan, melainkan oleh aroma yang menusuk tajam, asing, dan... bersih. Terlalu bersih. Aroma herbal yang pahit, seperti ramuan obat yang direbus berjam-jam, berpadu dengan wangi sabun dari buah saponin dan bau tajam kayu basah yang baru digosok.

Han Qiu mengerjapkan matanya, merasakan sakit yang menusuk di pelipis. Aspal yang lengket telah berganti menjadi papan kayu yang keras dan dingin di bawah punggungnya. Pakaiannya yang semula jins dan kaus oblong kini terasa kasar, longgar, dan berbau apek—bau kain goni yang dijemur tanpa matahari.

Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa ringkih, seringan bulu. Setiap sendinya berderit protes. Ia menopang diri dengan kedua lengannya yang kurus kering, nyaris tanpa daging, dan menatap sekeliling dengan mata membelalak.

Ini bukan rumah sakit.

Ini adalah sebuah ruangan luas berdinding kayu gelap, dengan deretan tungku batu raksasa yang dingin dan puluhan meja kayu panjang yang digosok hingga mengilap. Wajan-wajan besi hitam tergantung rapi di dinding, berkilauan di bawah cahaya remang yang masuk dari jendela kertas. Tidak ada satu pun noda minyak, tidak ada jelaga yang menghitam, tidak ada sisa makanan yang tercecer. Dapur ini lebih steril daripada ruang operasi.

"Sudah bangun, pemalas?"

Sebuah suara serak dan berat menggelegar dari arah pintu. Seorang pria bertubuh gempal dengan wajah sangar dan kumis melintang menatapnya tajam. Pakaiannya sama kasarnya dengan yang Han Qiu kenakan.

"Cepat bangun! Jangan harap bisa makan siang kalau kau hanya bermalas-malasan di sana. Xiao Lu! Apa kau tuli?"

Xiao Lu?

Siapa itu?

Han Qiu ingin berteriak, bertanya di mana ia berada, tetapi yang keluar dari tenggorokannya hanyalah suara serak yang lemah. Pria itu, sang mandor dapur, mendengus jijik. Ia berjalan mendekat dan menendang pelan papan kayu di samping Han Qiu.

"Kau pikir pura-pura sakit akan membuatmu dapat jatah istirahat? Di Dapur Kekaisaran ini, yang tidak bekerja tidak makan. Sekarang angkat ember itu dan gosok lantai sampai aku bisa melihat bayanganku di sana!" perintahnya sambil menunjuk sebuah ember kayu di sudut ruangan.

Dapur Kekaisaran? Dinasti Song?

Potongan-potongan informasi dari novel-novel transmigrasi yang pernah ia baca berkelebat di benaknya seperti kilat. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi buruk akibat keracunan.

Ia meraba wajahnya.

Pipinya tirus, kulitnya sedikit kasar, dan rambutnya terikat kencang ke belakang. Ia menyeret tubuhnya yang lemah ke arah sebuah gentong air besar dan mengintip pantulan dirinya di permukaan air yang tenang.

Yang balas menatapnya bukanlah wajah Han Qiu yang sedikit tembam dengan mata berbinar penuh semangat. Itu adalah wajah seorang gadis remaja yang pucat pasi, dengan mata besar yang cekung dan penuh ketakutan.

Wajah Xiao Lu.

Napasnya tercekat. Realitas menghantamnya dengan kekuatan godam. Ia telah mati dan kini hidup kembali di dalam tubuh orang lain, di sebuah era yang asing, di tempat paling berbahaya bagi seorang pencinta makanan sepertinya: dapur yang membenci rasa.

Insting bertahan hidup yang primitif mengambil alih kepanikannya. Ia menundukkan kepala, menggigit bibir, dan dengan sisa tenaga yang ia punya, ia mengangkat ember kayu yang terasa luar biasa berat itu. Perintah mandor tadi berdengung di telinganya. Gosok lantai. Bekerja atau mati kelaparan. Pilihan yang sederhana.

Saat ia mulai menggosok, ia memperhatikan sekelilingnya dengan lebih saksama. Para pelayan lain bergerak seperti bayangan, tanpa suara, kepala mereka tertunduk. Setiap gerakan terukur, setiap tindakan dilakukan dengan presisi dingin.

Tidak ada obrolan, tidak ada tawa, hanya derit kain lap di atas kayu dan desis air. Keheningan ini lebih menakutkan daripada teriakan sang mandor. Ini adalah keheningan yang lahir dari tirani.

Tiba-tiba, semua gerakan berhenti. Mandor yang tadi membentaknya seketika membeku, wajahnya yang sangar berubah pucat seperti mayat. Para pelayan lain menepi ke dinding, menundukkan kepala mereka begitu dalam hingga dagu mereka nyaris menyentuh dada. Udara di dalam dapur yang luas itu terasa berat, seolah semua oksigen tersedot keluar. Keheningan yang tadi menakutkan kini berubah menjadi keheningan yang mencekik.

Sesosok bayangan putih meluncur masuk tanpa suara, membelah atmosfer dapur yang tegang seperti pisau panas membelah mentega beku. Itu adalah seorang wanita berusia akhir tiga puluhan, mengenakan jubah sutra putih bersih yang tampak mustahil di tengah lingkungan dapur.

Wajahnya porselen tanpa ekspresi, bibirnya tipis, dan matanya setajam elang, memindai setiap sudut ruangan dengan tatapan dingin yang analitis. Ia tidak berjalan, ia melayang. Setiap langkahnya senyap, setiap gerakannya anggun sekaligus mengancam.

Wanita itu berhenti di tengah ruangan. Ia mengangkat tangannya yang bersarung tangan putih tipis dan mengusap permukaan salah satu meja kayu. Ia menatap jarinya sejenak, mencari setitik debu yang tak kasatmata.

Puas, ia melanjutkan inspeksinya, matanya yang tajam memeriksa tumpukan sayuran yang telah dicuci hingga pucat, deretan ikan yang sisiknya dibersihkan hingga berkilau seperti perak, dan barisan panci yang disusun berdasarkan ukuran dengan presisi geometris.

Han Qiu, atau kini Xiao Lu, menahan napas. Ia tidak tahu siapa wanita ini, tetapi aura kekuasaan yang menguar darinya begitu pekat hingga membuat bulu kuduknya meremang. Wanita ini adalah pusat dari keheningan ini. Dia adalah sumber dari ketakutan yang melumpuhkan setiap orang di ruangan itu. Dia adalah sang tiran.

Chef Gao.

Saat tatapan dingin itu menyapu ke arahnya, berhenti sejenak pada sosoknya yang gemetar di lantai, jantung Han Qiu serasa berhenti berdetak. Dan untuk pertama kalinya sejak ia tewas, Han Qiu merasakan ketakutan yang sesungguhnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!