Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Obsesi Seorang Zephyr
(Zephyr)
Saat kulihat GPS, Serafim tidak ada di rumah ayahnya. Entah ke mana dia pergi.
Ketika kudatangi titik itu, ternyata itu adalah rumah Liam. Satpam bilang, pemilik rumah itu sedang tidak ada di tempat.
(Serafim)
Aku sangat bersyukur, akhirnya berhasil pergi mendaki bersama Liam. Rasanya tenang, setidaknya aku tak perlu risih lagi selalu diawasi Zephyr.
“Bagaimana, Fim? Kau sudah lelah?”
Keringat menetes di pelipisku, bajuku mulai basah.
“Belum. Ayo lanjut.”
Liam berjalan di belakangku dan tersenyum.
“Aku suka semangatmu. Kalau kau sudah tidak kuat jalan, aku akan menggendongmu.”
Dengan napas terengah-engah aku menjawab.
“Baik, dengan senang hati, Liam.”
Pos demi pos kami lewati hingga tiba di puncak. Kami memotret pemandangan yang menakjubkan. Liam sengaja mengajakku ke Mont Ardenne karena cocok untuk pemula.
Setelah puas menikmati sunset, kami langsung turun. Liam juga membantu membawakan barang-barangku.
Kami memutuskan makan malam di dekat sana. Sambil makan, Liam berencana mengajakku ke Mont Veralis, tapi aku belum memutuskan untuk pergi kesana. Setelah itu, kami menginap di hotel.
Keesokan harinya aku pulang ke rumah. Kupikir Zephyr pasti sedang di rumah Zea, jadi aku tak khawatir. Tapi dugaanku salah.
Saat masuk membawa koper, Zephyr sedang duduk di ruang tengah, satu tangannya bersandar di bahu sofa.
“Kau menginap di rumah orang tuamu, apa harus bawa koper juga, Fim?”
Aku cengengesan.
“Iya, soalnya aku harus bawa semua peralatanku.”
Dia mengangguk pelan.
“Oh, kupikir kau melarikan diri bersama pacarmu ke gunung.”
Aku meletakkan koper dan mendekatinya dengan nada kesal.
“Jadi kau masih bisa melacakku, hah? Aku muak selalu dipantau! Harusnya kau melacak ponsel Zea, bukan punyaku!”
Aku pamit ke kamar, tapi ucapannya membuatku berhenti melangkah.
“Kau harus menjaga perilakumu. Kau ini calon istri pejabat pemerintah. Aku bahkan tidak menemui Zea.”
Aku membanting tasku.
“Apa? Phyr, itu urusanmu, bukan urusanku! Siapa suruh mencalonkan diri? Kalau kau begitu terobsesi dengan jabatan itu, putuskan saja hubungan kita! Menikahlah dengan pacar tersayangmu, supaya kau tak perlu berzina lagi dan tak perlu takut nama baikmu tercoreng!”
Aku langsung pergi ke kamar.
(Zephyr)
Aku tak menyangka ucapan Serafim sekasar itu. Aku sengaja membiarkannya, mungkin dia butuh istirahat.
Kutelepon Zea.
“Zea, belum tidur?”
“Aku akan ke sana, ada yang harus kita bicarakan.”
“Baiklah, hati-hati ya. Mau aku masakin apa?”
Aku menolak, karena aku hanya ingin bicara.
Aku menyalakan mobil dan melaju ke rumah Zea.
(Serafim)
Aku mendengar suara mobilnya. Pasti ke rumah pacarnya. Aku tak peduli. Setelah mandi, aku langsung tidur karena kelelahan.
Keesokan harinya aku bermalas-malasan, padahal harus masuk kerja.
Telepon dari Kak Louis masuk.
“Fim, hari ini kau meeting dengan Zephyr, bahas soal bahan baku.”
“Kenapa bukan kakak saja? Aku sedang tak enak badan.”
“Boleh saja, kalau kau ingin lihat suamimu babak belur.”
“Aku tidak peduli. Dia bukan suamiku. Kau boleh hajar sepuasnya.”
“Yakin?”
“Iya. Paling nanti kakak dipenjara, dan aku bebas dari pria jahat itu.”
Tapi akhirnya aku tetap mandi dan bersiap.
Begitu keluar kamar, Zephyr sudah siap berangkat.
“Kau ikut saja sekalian denganku, bukankah kita harus meeting?”
“Aku tidak akan meeting denganmu. Kakakku yang akan ke sana.”
Aku menyilangkan tangan.
“Kau tahu, Phyr?”
Ia menautkan alis dan menyimpan tangannya di saku celana.
“Jangankan kakakku, aku pun muak bertemu denganmu.”
“Tidak masalah. Aku senang membuat orang kesal, Fim,” sahutnya dingin.
Ia menarik lenganku ke mobil.
“Jangan keras kepala. Kau harus jaga citra keluarga dan perusahaan. Mereka tahu kita suami istri.”
Aku terpaksa menuruti. Di perjalanan hingga kantor, aku diam saja.
Meeting dimulai. Kakakku sudah menyiapkan data. Liam juga hadir sebagai pengacara yang mendampingiku.
“Berdasarkan analisis kami, masalah terjadi beberapa waktu lalu. Murni bukan kesalahan pihak kami. Supplier sudah kami cek dan sesuai SOP. Bapak dan ibu bisa lihat data serta CCTV di layar.”
Aku menambahkan,
“Atau mungkin ada kemungkinan sabotase dari dalam perusahaan ini?”
Ruangan mendadak hening. Semua staf saling tatap. Liam tersenyum dan berbisik,
“Kau pintar juga, Fim.”
Aku melirik Zephyr. Tatapannya tajam, tangannya mengepal. Aku justru tersenyum menantangnya.
Selesai meeting, aku bercanda dengan Liam.
“Kau tahu, badanku sakit semua. Kau harus tanggung jawab.”
“Ya sudah, sini, mau kupijit?”
Ia memegang bahuku, tapi seseorang tiba-tiba berdehem.
“Ehem.”
Zephyr menatap tajam.
“Kalian tidak tahu malu? Ini kantor, bukan panti pijat.”
Ia pergi dengan wajah dingin, dan kami tertawa.
Kami berencana pergi massage setelah kerja. Tapi sebelum sempat keluar, Zephyr menghampiri kami.
“Pak Liam, maaf, boleh saya membawa istri saya sebentar?”
Aku menggeleng, tapi Liam memberi isyarat agar aku ikut. Aku menolak lagi.
“Kebetulan ini jam kerja, dan kami harus kembali bekerja,” katanya menengahi.
Tiba-tiba Zephyr menarik tanganku.
“Baiklah, bilang saja pada mertuaku kalau kami akan segera memberinya cucu.”
Mataku membelalak. Aku menatap Liam minta tolong, tapi dia hanya mengangkat bahu.
Zephyr menyeretku ke mobil.
Beberapa menit kemudian, ternyata ia membawaku ke tempat massage.
“Ah, kupikir kau mau membawaku kemana,” dan aku pun terkekeh.
Aku masuk, menikmati pijatan, dan merasa segar kembali. Setelah selesai, Zephyr membawaku kembali ke kantornya. Saat aku mencoba kabur, ia sudah mengunci pintu dan menyembunyikan kuncinya.
Akhirnya aku duduk di sofa, kebetulan ada buku di mejanya aku pun membacanya sampai tertidur.
(Zephyr)
Aku tersenyum melihatnya terlelap.
Kudekati, lalu kuselimuti dengan jas.
“Akhirnya, dia tidak berisik lagi,” gumamku.
Aku kembali bekerja. Beberapa jam kemudian, dia masih tidur.
Dengan hati-hati aku membangunkannya.
“Fim… ayo pulang!”
“Aku masih ngantuk.”
“Kau bisa lanjut tidur di mobil. Mau menginap di kantorku?”
Dia akhirnya bangun. Aku menawarinya minum, dia mengangguk. Aku memberinya air dingin, dan ia meneguk sampai habis.
Aku menggenggam tangannya. Dia tidak protes, mungkin karena Serafim masih mengantuk.
Tapi sesampainya di rumah, aku hampir menabrak seseorang.
“Zea…”
Aku turun, tapi tiba-tiba dia menamparku.
(Serafim)
Aku sempat heran kenapa Zea malam-malam datang ke rumah, aku ikut turun menghampiri mereka. Tatapannya seolah siap menerkamku dan… dia hampir menamparku, dengan cepat Zephyr menahan tangannya.
Ia menatap Zephyr.
“Jadi kau lebih memilihnya, hah?”
Lalu Zea menoleh padaku.
“Kau tahu, dia memutuskanku demi kau, Serafim?” teriaknya dengan berderai air mata.
Aku masih mencerna semua kata Zea. Aku tidak menyangka… semua ini benar-benar kacau.
Bersambung...