Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Vian menatap Nika yang meringis kesakitan di kursi penumpang mobilnya. Di tengah hiruk pikuk jalanan, Nika memegang erat pergelangan kakinya yang kini membengkak, wajahnya pucat karena rasa sakit dan ketakutan yang masih tersisa.
"Nika, siapa mereka?" tanya Vian lagi, suaranya lebih lembut namun dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. "Mengapa mereka mengejarmu?"
Nika tak menjawab. Dia justru mengambil ponselnya yang bergetar beberapa kali di kantong jaketnya. Nama 'Ibu' terpampang di layar. Dia hanya menatap panggilan masuk itu, air mukanya menunjukkan dilema besar, sebelum akhirnya membiarkannya terhenti.
Vian memutuskan untuk tidak mendesak. Mungkin itu masalah pribadi yang terlalu sensitif. Lebih baik dia mengalihkan rasa sakit di kaki Nika dengan percakapan ringan.
"Sekarang kamu kerja di mana?" tanya Vian, mencoba menormalkan suasana.
Nika tak langsung menjawab. Terlihat dia mematikan ponselnya, lalu menyimpannya kembali ke dalam saku jaketnya. Dia menarik napas dalam. "Aku bekerja di supermarket, Kak."
"Mengapa kamu tidak bekerja di tempatku saja?" tanya Vian. Dia tahu Nika adalah gadis yang cerdas. "Gajinya pasti lebih baik dan tidak seberat itu."
Nika tersenyum kecil, senyum yang terasa getir. "Aku kan hanya lulusan SMA, Kak. Lagipula, pekerjaan itu sudah cukup untukku. Aku tidak mau merepotkan."
Vian tak bertanya lagi. Dia bisa merasakan ada tembok tak terlihat yang didirikan Nika sebagai pembatas. Akhirnya, dia menghentikan mobil itu di depan pintu masuk IGD rumah sakit.
Vian segera turun dari mobil. Dia membuka pintu di sebelah Nika dan mengulurkan tangannya, berniat membantu Nika keluar.
"Aku bisa sendiri, Kak Vian," Nika menolak bantuan Vian. Dia berusaha menggerakkan kakinya. Namun, rasa sakit yang menusuk membuat lututnya lemas. Dia hampir saja terjatuh jika saja Vian tidak dengan sigap menahan tubuhnya.
Tanpa banyak bicara, Vian tidak memberi Nika kesempatan untuk menolak lagi. Dia langsung mengangkat tubuh Nika, menggendongnya ala bridal style dengan hati-hati.
Nika terkejut, pipinya bersemu merah, dan dia hanya bisa melingkarkan lengannya di leher Vian, merasakan aroma parfum Vian yang menenangkan.
"Dokter! Tolong teman saya!" seru Vian. "Kakinya terluka karena tanpa sengaja tertabrak mobil saya." Vian segera menurunkan Nika di atas brankar setelah seorang suster memandunya.
Di dalam bilik pemeriksaan, seorang dokter segera memeriksa kondisi kaki Nika.
Nika meringis kesakitan saat kakinya digerakkan perlahan oleh dokter. Vian terus menggenggam tangan Nika, wajahnya tidak kalah cemas.
Setelah meraba dan memegang pergelangan kaki Nika, Dokter itu tiba-tiba menarik kaki Nika dengan gerakan cepat dan terara, tindakan yang lazim dalam penanganan cedera.
"Aaaah!" Nika berteriak nyaring karena terkejut dan sakit. Dia refleks mencengkeram tangan Vian sekuat tenaga dan kuku-kukunya menancap.
"Tenang, Nika," bisik Vian, dia menahan ringisan sakit di tangannya sendiri karena kuku Nika.
"Hanya terkilir," kata Dokter itu santai. "Syukurlah tidak ada indikasi patah tulang. Pergelangan kakinya bergeser sedikit. Tapi, untuk memastikan tidak ada retak rambut, kita lakukan CT scan dulu. Setelah itu, akan dipasang perban elastis. Butuh istirahat total dalam waktu seminggu."
Vian menghela napas lega, meskipun tangannya kini terasa kebas. "Syukurlah."
Vian kembali menggendong Nika untuk membawanya ke ruang CT scan.
"Kak Vian pakai kursi roda saja." Nika menunjuk kursi roda yang baru saja disiapkan suster.
Vian tersenyum malu. Dia menurunkan Nika di atas kursi roda lalu mendorongnya.
***
Suasana makan malam di rumah keluarga Vanya malam itu terasa hangat dan penuh kebahagiaan.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Bu Ella, pada Vanya dan Ethan yang sedang sibuk berbagi makanan di meja makan. Bu Ella sudah tidak sabar meresmikan hubungan kedua anak yang dulu saling menolak perjodohan itu.
Vanya, dengan pipi bersemu merah, masih menyuapi Ethan. "Kapan pun itu, sekarang aku sudah siap menikah," katanya tulus, menatap Ethan. "Selain karena aku sedang hamil, aku sudah yakin kalau Kak Ethan adalah pria yang terbaik untukku."
Seketika Ethan tersenyum puas, kebahagiaan memenuhi matanya. Dia mengusap pipi Vanya dengan punggung tangannya. "Kalau begitu, dua hari lagi kita menikah. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun. Cukup siapkan diri kamu, biar aku yang menyiapkan semuanya."
Bu Clara dan Bu Ella semakin tersenyum bahagia. "Akhirnya, rencana pernikahan mereka terwujud!" seru Bu Clara.
"Bonus calon cucu juga! Aku sangat bahagia!" sambung Bu Ella, mengipasi matanya yang berkaca-kaca.
"Vian, kenapa belum pulang juga? Kita sampai selesai makan malam," gumam Pak Bima. Saat dia akan menghubungi putranya, ternyata Vian sudah datang. Namun, dia tidak sendirian. Vian masuk sambil menggendong seorang gadis yaitu Nika.
"Nika, kamu kenapa?" tanya Vanya, seketika dia berdiri dan menghampiri Nika yang kini telah diturunkan di sofa ruang tengah dengan sangat hati-hati oleh Vian.
"Tadi, aku menabraknya tanpa sengaja. Kakinya terkilir dan harus istirahat selama satu minggu," jelas Vian. "Karena tidak mau menghubungi keluarganya, jadinya aku paksa saja ke sini." Kemudian, dia berjalan santai menuju meja makan dan duduk, langsung mengambil makanan.
Vanya duduk di sebelah Nika. "Kamu bertengkar sama ibu kamu?" tanya Vanya setengah berbisik. Dia menatap mata Nika yang penuh kesedihan.
Nika hanya meremat kedua tangannya, matanya menghindari tatapan Vanya. "Vanya, aku... aku pulang saja, ya."
"Tidak!" tegas Vanya. "Sudah, kamu di sini saja sampai sembuh. Nanti saja kamu cerita sama aku. Kamu tidur di kamarku saja." Vanya kemudian berteriak pada kakaknya. "Kak Vian! Gendong Nika ke kamarku gih!"
"Vanya, aku bisa sendiri," protes Nika.
"Iya, sebentar!" jawab Vian dengan mulut yang penuh dengan nasi, tak terganggu sedikit pun.
Ethan, yang sedari tadi diam, tiba-tiba merasa terabaikan. Rasanya dia ingin terus dimanja Vanya. "Vanya, kamu tidak tidur denganku?"
Pertanyaan polos dan sedikit merajuk itu membuat semua mata tertuju pada Ethan.