Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Apakah Misi Shenia akan berhasil?
Langit malam menggantung berat di atas kota. Hujan turun tanpa ampun, membasahi jalanan di depan The Chasteo Hotel yang perlahan mulai sepi. Lampu-lampu mobil berpendar di antara tirai air, sementara Alan memutar setir menuju panthouse miliknya, pikirannya masih berkecamuk oleh pertemuan pagi tadi.
Wajah Shenia terus muncul di benaknya. Mata itu, suaranya, bahkan caranya menatap dengan keteguhan yang dulu ia kenal baik. Tapi amarah terlalu dalam untuk ia padamkan begitu saja.
“Sudah cukup,” gumamnya pelan. “Dia cuma masa lalu.”
Namun di tengah hujan deras itu, seorang perempuan berdiri di pinggir jalan, tubuhnya lunglai, payungnya terlepas, dan wajahnya nyaris tak terlihat di bawah guyuran air.
Alan menekan rem. Lampu depan mobilnya menerangi sosok itu.
“Shenia…?”
Ia keluar tanpa berpikir, membiarkan jasnya basah. “Hei! Kamu gila apa keluar hujan-hujanan begini?”
Tak ada jawaban. Tubuh Shenia goyah, lalu ambruk tepat di pelukannya.
“Shenia!” Alan berjongkok, menepuk pipinya pelan. “Hei, bangun! Shenia!”
Tubuh perempuan itu dingin, napasnya lemah. Tanpa pikir panjang, Alan mengangkatnya masuk ke mobil.
Di dalam kabin yang dingin dan sempit, Shenia tampak pucat. Alan menatap wajah itu lama, perasaan marahnya mendadak bercampur cemas. “Kamu selalu bikin aku gila, bahkan waktu setengah mati sekalipun,” desisnya pelan, menyalakan mesin dan melaju ke arah vila pribadinya di pinggiran kota.
Ia tak tahu, di balik tubuh yang tampak lemah itu, Shenia masih sadar setengah dan senyum samar muncul di sudut bibirnya.
Rencana pertamanya berhasil.
Malam itu, di antara suara hujan dan deru mesin, Alan membawa masuk kembali perempuan yang dulu menghancurkannya. Tanpa sadar, ia sedang membuka pintu bagi badai yang jauh lebih besar dari sekadar masa lalu.
Begitu masuk, ia menurunkannya perlahan ke sofa besar. Lampu ruangan menyorot wajah pucat itu, dan kenangan lama yang seharusnya sudah ia kubur, mendadak menyeruak ke permukaan.
Alan menatapnya dengan rahang menegang. “Kamu muncul begitu aja, setelah bertahun-tahun ninggalin aku tanpa sepatah kata pun… sekarang tiba-tiba jatuh pingsan di depanku? Kamu pikir aku nggak curiga?”
Shenia terbangun membuka matanya perlahan, menatapnya lemah tapi penuh kesadaran. “Aku nggak bermaksud… aku cuma butuh tempat berteduh.”
“Tempat berteduh?” Alan tertawa sinis. “Di depan pintu hotel milikku? Dari jutaan tempat di kota ini, kamu milih jatuh di sana?”
Ia berjalan menjauh, berusaha menekan amarah yang hampir meledak. Namun saat mendengar batuk pelan dari arah sofa, naluri lamanya yang selalu ingin melindungi, menang lagi.
Dengan geram ia mengambil handuk dan melemparkannya ke arah Shenia. “Keringkan diri kamu. Setelah itu kau boleh pergi.”
Shenia menunduk, memegangi handuk itu dengan tangan gemetar. “Aku tahu kamu benci aku… tapi aku nggak datang buat bikin masalah buat kamu, kok.”
Alan mendengus, lalu menatapnya lagi, kali ini lebih dalam, antara ingin marah dan ingin percaya.
“Kalau bukan buat bikin masalah, terus buat apa?”
Shenia menatapnya diam-diam. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sebuah rencana, rahasia, dan kesedihan yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Ia tersenyum tipis, menahan suara yang hampir pecah. “Aku cuma butuh waktu sebentar… setelah itu aku akan pergi lagi.”
Alan mendecak, membalikkan badan tanpa menjawab. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu.
Ia tahu, hatinya sedang melawan logika.
Sementara di belakangnya, Shenia menatap punggung Alan yang menjauh dengan sorot mata penuh perhitungan.
Sedikit lagi… hanya sedikit lagi. Semua ini untuk Aaron.
Setelah mengeringkan tubuhnya, Shenia berjalan ke arah pantri. Ia raih gelas dan menyeduh teh hangat. Ia memberani kan diri menuju kamar Alan membawa teh hangat itu.
Alan meneguk teh itu perlahan, tanpa curiga apapun, menatap kosong ke arah jendela besar yang memantulkan gemerlap kota. Di belakangnya, Shenia duduk diam di ujung sofa, memeluk kedua tangannya sendiri.
Suasana begitu hening, tenang.
“Kenapa tanganmu gemetar terus?”
Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba dari bibir Alan, datar tapi tajam.
Shenia menegakkan tubuhnya, tersentak kecil. “Aku... cuma kedinginan.”
“Sudah dua puluh menit kamu di ruangan bersuhu normal, pakai sweater, dan masih gemetar?” Alan menoleh, tatapannya menusuk, seolah sedang membaca isi hati seseorang. “Kamu bukan cuma kedinginan, Shen. Kamu gugup.”
Ia meletakkan cangkirnya di meja, mencondongkan tubuh. Ada rasa aneh yang mendorong sesuatu untuk segera dilampiaskan.
Shenia menggigit bibirnya. Ada ketakutan di matanya, tapi juga kesedihan yang nyata.
“Jangan bohong.” Nada suaranya meninggi. “Dulu kamu pergi tanpa alasan, sekarang datang juga tanpa alasan?"
Keheningan menekan udara di antara mereka.
Alan mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Ada apa di minuman ini? Kenapa aku merasa aneh?”
Shenia menatapnya. Perasaannya bersorak bahwa Alan pasti sedang berusaha mengendalikan diri.
Alan menatap lebih dalam, ingin memastikan wajah di hadapannya benar Shenia.
"Pergilah dari sini, sekarang."
Shenia menatap lembut, mulai memikirkan aksinya yang harus benar-benar dimulai. "Jangan usir aku malam ini, Alan. Aku mohon. Aku datang karena merindukanmu." Ia sentuh wajah itu,membuat Alan terprovokasi.
"Jadi benar kau datang untukku?"
Shenia mengangguk perlahan. "Iya, aku sangat menginginkanmu." Menatap dalam diam. Tapi di balik tatapan yang tersembunyi, pikirannya berputar cepat. Waktu tidak banyak, dan misi yang ia bawa belum selesai.
Malam telah lewat jauh. Hujan di luar berhenti.
Di kamar penthouse yang temaram, Alan tertidur pulas di tempat tidur, masih dengan sisa lelah di wajahnya. Nafasnya teratur, damai sesuatu yang pernah Shenia lihat dulu, enam tahun lalu.
Ia berdiri beberapa langkah darinya, menatap diam-diam.
Di dadanya, perasaan berputar kacau antara lega, sedih, dan penyesalan yang menyesak.
Misinya… berhasil. Apa pun yang ia cari dari malam itu, sudah ia dapatkan.
Shenia meraih mantel yang ia gantung di sandaran kursi, lalu menatap Alan sekali lagi. Lampu lembut membuat wajah pria itu tampak lebih tenang, tapi juga lebih asing.
Satu sisi dirinya ingin tetap di sana, menunggu pagi, menatap wajah yang dulu membuatnya tergila-gila, sosok yang ia dekati secara terang-terangan. Orang pertama yang membuatnya mengenal kata jatuh cinta.
“Maaf…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara.
Ia menunduk, menahan air mata yang menggenang di ujung mata. “Aku nggak punya pilihan, Alan. Semua ini… buat Aaron.”
Ia memutar kunci pintu dengan hati-hati, menghindari suara sekecil apa pun. Begitu keluar, koridor terasa panjang dan sunyi. Lampu-lampu malam berpendar lembut di lantai marmer, menciptakan bayangan dirinya yang tampak rapuh, seorang wanita yang membawa rahasia besar, berjalan menjauh dari satu-satunya pria yang masih membuatnya ingin tetap tinggal.
Langkahnya berhenti sejenak di depan lift. Ia memejamkan mata, mengatur napas, mencoba menenangkan gejolak di dadanya.
Saat pintu lift terbuka, Shenia melangkah masuk tanpa menoleh lagi.
___
Bersambung... Like dong... hehe
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??