Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Sang Ratu
Jeritan Leo adalah suara pecahnya sebuah alam semesta.
Satu detik yang lalu, udara di gudang yang porak-poranda itu dipenuhi oleh euforia kemenangan. Bau mesiu adalah parfum kemenangan, dan gema tembakan adalah musik penutup dari sebuah opera kekerasan yang mereka menangkan dengan gemilang. Viktor Rostova, sang tiran yang tak tersentuh, terbaring pingsan di kaki mereka. Kerajaannya telah runtuh. Mereka telah menang.
Satu detik kemudian, suara satu tembakan yang tajam dan tak terduga dari luar merobek segalanya. Peluru itu, yang ditembakkan oleh hantu tak terlihat, melesat menembus lubang kecil di dinding gudang, melintasi ruangan yang penuh asap, dan menemukan takdirnya di satu-satunya tempat yang akan menyebabkan kerusakan paling maksimal.
Jantung Isabella.
Leo melihatnya sebelum otaknya sempat memproses. Titik merah kecil yang mekar di dada kemeja putih Isabella, menyebar dengan cepat seperti setetes tinta di atas kanvas basah. Mata Isabella yang tadinya berkilat penuh kemenangan, kini terbelalak kaget, lalu dipenuhi oleh kabut kebingungan. Ia menatap Leo, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, sebuah nama, sebuah peringatan, sebuah ucapan selamat tinggal, tetapi yang keluar hanyalah embusan napas. Kekuatan meninggalkan kakinya. Ratu yang berdiri paling tegak di antara semua orang itu mulai jatuh.
"ISABELLA!"
Jeritan Leo bukan sekadar teriakan. Itu adalah raungan dari jiwa yang terkoyak. Ia melompat maju, mengabaikan segala sesuatu yang lain, dan menangkap tubuh lemas Isabella sebelum menyentuh lantai beton yang dingin. Dunia menyempit menjadi lingkaran cahaya di sekeliling mereka. Seluruh kemenangan, seluruh rencana, seluruh masa depan yang baru saja mereka bayangkan, kini terasa seperti lelucon kejam. Ia memeluknya erat, merasakan kehangatan darahnya yang familiar mulai merembes melalui kemejanya, membasahi tangannya. Darah yang sama yang pernah membuatnya bergairah, kini menjadi pertanda kematian.
Kekacauan meletus di sekelilingnya. Para anggota Legiun yang tadinya bersorak, kini berteriak panik. Marco, yang baru saja merasakan manisnya kemenangan, kini meraung marah seperti banteng yang terluka.
Di tengah kepanikan itu, hanya satu suara yang tetap tenang, dingin, dan penuh perintah. Suara Pak Tirtayasa, yang terdengar melalui sistem komunikasi mereka seperti suara Tuhan di tengah badai.
"SNIPER! POSISI TIDAK DIKETAHUI, KEMUNGKINAN DARI GEDUNG GUDANG DI SEBERANG JALAN! TIM BRAVO, TEKAN SEMUA SUDUT TINGGI, TEMBAKAN MEMBABI BUTA UNTUK MEMBERI PERLINDUNGAN! TIM CHARLIE, BENTUK PERISAI MANUSIA DI SEKITAR BOS DAN ALKEMIS, SEKARANG! MARCO, AMANKAN TAWANAN ITU, JANGAN BIARKAN DIA MATI, AKU INGIN DIA HIDUP-HIDUP! BIANCA, ALIHKAN SEMUA SATELIT DAN DRONE KE AREA INI, CARI KILATAN MONCONG SENAPAN ITU!"
Perintah-perintah itu dieksekusi dengan efisiensi refleksif yang telah ditempa selama dua minggu di Nusa Damai. Legiun bergerak, membentuk lingkaran pelindung di sekitar Leo dan Isabella, menembakkan rentetan peluru ke arah gedung-gedung di seberang untuk menekan si penembak jitu.
Tapi Leo tidak mendengar apa-apa. Ia tuli terhadap dunia. Seluruh inderanya terfokus pada wanita dalam pelukannya. Wajah Isabella yang pucat, napasnya yang dangkal dan cepat. "Tidak, tidak, tidak," bisiknya berulang kali, tangannya yang gemetar menekan luka di dada Isabella, mencoba menghentikan aliran kehidupan yang keluar deras dari sana. "Kau tidak boleh pergi, Isabella. Aku tidak mengizinkanmu. Dengar aku? Aku tidak mengizinkanmu!"
"EVAKUASI, SEKARANG!" teriak Marco. Tim medis darurat yang selalu siaga di setiap operasi besar mereka menyerbu masuk dengan tandu.
Leo menggelengkan kepalanya dengan liar. "Tidak! Jangan sentuh dia!"
"Leo!" Suara Pak Tirta kini terdengar di earpiece Leo, tajam dan tak terbantahkan. "Kau tidak bisa menolongnya di sini. Setiap detik berharga. Biarkan tim medis bekerja. Tugasmu sekarang adalah memastikan dia sampai ke Dr. Aris hidup-hidup. Mengerti, Prajurit?"
Kata "Prajurit" itu menyentak Leo dari kepanikannya. Ia menatap wajah mentornya dalam benaknya, lalu ke wajah Isabella yang semakin pucat. Ia mengangguk kaku. Dengan enggan, ia membiarkan tim medis mengangkat Isabella ke atas tandu.
Perjalanan keluar dari gudang itu adalah sebuah neraka. Leo berjalan di samping tandu, satu tangannya tidak pernah lepas dari tangan Isabella yang dingin, sementara anggota Legiun lainnya menembakkan tembakan perlindungan, menciptakan koridor aman menuju SUV lapis baja mereka. Mereka melesat pergi meninggalkan gudang itu, meninggalkan kemenangan terbesar mereka yang kini terasa seperti kekalahan paling telak.
Perjalanan menuju fasilitas medis rahasia adalah sebuah keburaman waktu yang menyiksa. Leo tidak melepaskan tangan Isabella. Ia terus membisikkan namanya, membisikkan janji-janji kosong, memohon pada kekuatan apa pun yang mau mendengarkan. Ia bisa merasakan denyut nadi Isabella di pergelangan tangannya, semakin lemah setiap detiknya. Setiap guncangan mobil terasa seperti palu godam yang menghantam tubuh rapuh Isabella. Sang Alkemis, sang ahli strategi yang bisa melihat sepuluh langkah ke depan, kini tidak bisa melihat apa pun selain kemungkinan kehilangan satu-satunya hal yang ternyata paling berarti baginya.
Fasilitas medis itu tersembunyi dengan jenius di bawah sebuah spa dan pusat kebugaran mewah di Jakarta Selatan. Melalui lift servis pribadi, mereka turun ke sebuah dunia yang berbeda: sebuah klinik ultra-modern yang steril, putih, dan sunyi, hanya diisi oleh suara mesin-mesin canggih. Dr. Aris, seorang ahli bedah jantung brilian yang karirnya hancur karena skandal politik dan diselamatkan dari kehancuran total oleh ayah Isabella, telah menunggu. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak sangat serius saat melihat kondisi pasiennya.
"Cepat, ke ruang operasi!" perintahnya.
Saat mereka mendorong Isabella melewati pintu ruang operasi, Leo mencoba ikut masuk, tetapi seorang perawat menahannya. "Maaf, Anda harus menunggu di luar."
Pintu itu tertutup di depan wajahnya, memisahkannya dari Isabella. Leo bersandar di dinding koridor yang dingin, tubuhnya akhirnya menyerah pada getaran syok. Ia menatap tangannya. Tangan yang sama yang pernah menciptakan hidangan lezat, tangan yang sama yang telah melumpuhkan musuh, kini sepenuhnya terlumuri oleh darah wanita yang ia cintai. Dan ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ruang tunggu di luar ruang operasi terasa seperti ruang penyiksaan. Waktu tidak bergerak. Setiap detik terasa seperti satu jam. Marco berjalan mondar-mandir seperti banteng yang terkurung, sesekali meninju dinding dengan frustrasi tertahan. Bianca duduk di sudut, laptopnya terbuka, tetapi jemarinya diam di atas keyboard untuk pertama kalinya. Matanya yang biasanya tajam kini merah dan bengkak. Pak Tirta berdiri diam seperti patung, wajahnya tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya yang tua menyiratkan badai kekhawatiran dan pengalaman pahit.
Dan Leo, ia hanya duduk. Terpisah dari yang lain. Ia masih menatap tangannya yang sudah mengering, darah Isabella menjadi kerak berwarna merah kehitaman di kulitnya. Ia tidak mau membersihkannya. Itu adalah tanda kegagalannya, tanda sumpahnya yang belum terucap. Pikirannya adalah sebuah neraka pribadi, memutar ulang setiap detik dari perencanaan dan eksekusi misi. Di mana celahnya? Di mana kesalahannya? Penembak jitu. Satu variabel yang tidak ia perhitungkan secara serius. Ia terlalu fokus pada pasukan utama Viktor, pada bentengnya, pada egonya. Ia lupa bahwa predator sejati seringkali menyerang dari jarak yang aman, dari bayangan yang tak terlihat. Kesombongannya sebagai ahli strategi telah membutakannya. Dan Isabella yang membayar harganya.
"Seharusnya aku yang memeriksa atap-atap itu," geram Marco, suaranya serak. "Seharusnya aku mengirim Riko atau Maya untuk mengintai dari ketinggian sebelum kita masuk. Ini salahku."
"Ini bukan salah siapa-pun, Marco," kata Pak Tirta pelan, suaranya yang tenang memotong ketegangan. "Ini adalah perang. Dan dalam perang, peluru tidak punya nama. Yang menarik pelatuknya adalah Viktor dan pembunuh bayarannya. Fokuskan amarahmu ke sana. Bukan ke dalam."
Pak Tirta kemudian berjalan mendekati Leo. Ia berjongkok di depan pria yang kini tampak hancur itu. Ia tidak mengatakan 'semua akan baik-baik saja'. Ia tidak menawarkan penghiburan kosong.
"Aku pernah berada di posisimu, Nak," katanya pelan, suaranya penuh dengan gema masa lalu yang menyakitkan. "Aku pernah membuat rencana yang sempurna, hanya untuk melihat sahabatku tewas karena satu granat nyasar. Rasa bersalah adalah racun yang akan menggerogotimu dari dalam jika kau membiarkannya. Kau boleh berduka. Kau boleh marah. Tapi jangan biarkan itu menghancurkanmu. Ratu-mu sedang berjuang di dalam sana. Dia butuh Jenderalnya untuk tetap berpikir jernih saat ia kembali."
Nasihat itu menembus kabut keputusasaan Leo, meskipun hanya sedikit. Ia mendongak, matanya yang kosong bertemu dengan mata mentornya.
Melihat keadaan Leo, Pak Tirta tahu bahwa ia harus mengambil alih untuk sementara. "Bianca, apa ada jejak dari si penembak?"
Bianca menggelengkan kepalanya. "Nihil. Dia hantu. Dia menembak sekali, lalu lenyap. Tidak ada jejak panas, tidak ada sinyal elektronik. Profesional sejati."
"Baiklah," kata Pak Tirta, matanya mengeras. "Kalau begitu, kita harus bertanya pada satu-satunya orang yang mungkin tahu." Ia bangkit berdiri. "Marco, ikut aku. Saatnya kita bicara dengan tawanannya."
Di sebuah ruang tahanan steril di level lain dari fasilitas itu, Viktor Rostova duduk terikat di sebuah kursi baja. Wajahnya memar, pergelangan tangannya patah, tetapi matanya berkilat penuh kemenangan yang penuh kebencian. Ia mungkin kalah dalam pertempuran, tetapi ia merasa telah memenangkan perang.
Pak Tirta masuk, diikuti oleh Marco yang auranya memancarkan keinginan untuk membunuh.
"Di mana dia?" tanya Marco langsung.
Viktor tertawa. "Kau terlambat, Banteng. Dia sudah jauh. Dibayar lunas dan menghilang seperti asap."
Pak Tirta memberi isyarat pada Marco untuk diam. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Viktor. Ia tidak berteriak. Ia tidak mengancam. Ia hanya menatap Viktor dengan tatapan yang seolah bisa melihat semua ketakutan dan kegagalan pria itu.
"Kau tahu, Viktor," mulai Pak Tirta, suaranya tenang seperti permukaan danau. "Selama ini kau mengira kau sedang bermain catur dengan seorang Ratu. Kau salah. Kau sedang bermain melawan seorang Alkemis. Seseorang yang mengubah duniamu menjadi abu. Tapi sekarang..."Pak Tirta mencondongkan tubuhnya sedikit"...sekarang kau telah membangunkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang jauh lebih tua dari strategi dan lebih mendasar dari kekuasaan. Kau telah membangunkan kemarahan seorang pria yang kehilangan segalanya."
"Aku tidak takut pada kokimu," cibir Viktor.
"Tentu saja tidak. Karena kau tidak mengerti," balas Pak Tirta. "Kau pikir kau menang malam ini. Tapi yang kau lakukan hanyalah menciptakan seorang monster yang kini tidak punya apa-apa lagi untuk ditakuti. Dan monster itu akan memburumu. Bukan untuk kerajaan. Bukan untuk uang. Tapi hanya untuk kesenangan melihatmu menderita." Pak Tirta membongkar ego Viktor lapis demi lapis, memaparkan setiap kegagalannya, setiap kesalahannya, setiap prediksinya yang keliru. Ia membuat Viktor, sang tiran, merasa kecil, bodoh, dan tidak relevan.
Akhirnya, Viktor yang egonya telah hancur berkeping-keping, tertawa getir. "Kalian mencari hantu," desisnya, bukan karena takut, tetapi karena keinginan terakhir untuk menabur lebih banyak kekacauan. "Kalian tidak akan pernah menemukannya. Dia tidak punya nama. Hanya sebuah kode. Carilah 'Jäger'."
Hunter. Pemburu. Nama itu terasa seperti sebuah kutukan.
Enam jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Dr. Aris keluar, melepas maskernya. Wajahnya pucat karena kelelahan. Semua orang langsung berdiri.
"Bagaimana?" tanya Leo, suaranya serak, setiap suku kata terasa menyakitkan.
Dr. Aris menghela napas panjang. "Operasinya secara teknis berhasil. Aku berhasil mengeluarkan pelurunya, memperbaiki paru-parunya, dan menghentikan pendarahan internal. Dia seorang pejuang yang luar biasa, fisiknya sangat kuat."
Secercah harapan muncul, tetapi ekspresi Dr. Aris yang muram segera memadamkannya.
"Tapi..." lanjutnya, "dia kehilangan terlalu banyak darah. Tubuhnya mengalami syok trauma yang sangat parah. Jantungnya berdetak, mesin-mesin ini menjaganya tetap hidup. Tapi otaknya tidak merespon. Dia... dia koma."
Kata 'koma' menghantam ruangan itu seperti palu godam.
"Dia tidak kembali, Leo," kata Dr. Aris pelan, menatapnya dengan simpati. "Secara medis, kami sudah melakukan segalanya. Sekarang... terserah pada kemauannya untuk hidup. Terserah pada jiwanya untuk menemukan jalan kembali."
Keputusasaan menyelimuti mereka semua. Marco bersandar ke dinding, air mata akhirnya mengalir di wajahnya yang keras. Bianca terisak dalam diam. Pak Tirta memejamkan matanya, tampak sepuluh tahun lebih tua.
Tetapi di dalam diri Leo, keputusasaan itu justru memicu sebuah api yang lain. Api yang ganas dan tak mau menyerah. "Tidak," katanya, suaranya terdengar jelas di tengah kesedihan. "Dia tidak akan menyerah. Aku tidak akan membiarkannya."
Ia berjalan melewati Dr. Aris yang terkejut dan masuk ke dalam ruang pemulihan.
Ruangan itu sunyi, hanya diisi oleh suara bip ritmis dari monitor jantung dan desisan lembut dari ventilator. Di tengah ruangan, di atas ranjang putih bersih, terbaringlah Isabella. Wajahnya yang biasanya penuh warna dan kehidupan kini sepucat pualam. Kulitnya dingin saat disentuh. Kabel dan selang melilit tubuhnya, mengubah sang Ratu yang perkasa menjadi sosok yang sangat rapuh. Ia tampak seperti putri tidur dalam dongeng yang kelam, menunggu ciuman yang tidak akan pernah datang.
Leo menarik sebuah kursi ke sisi ranjangnya. Ia menggenggam tangan Isabella yang dingin dan tak berdaya. Ia bisa merasakan betapa lemahnya denyut nadi di pergelangan tangannya. Jiwanya seolah telah pergi, meninggalkan raga yang indah ini.
Dan di sanalah, di keheningan ruang ICU yang steril, Leo memulai pertempurannya sendiri. Pertempuran untuk satu jiwa.
Ia tidak berteriak. Ia tidak menangis. Ia mulai berbicara, suaranya adalah bisikan yang intim, ditujukan hanya untuk telinga Isabella, baik yang sadar maupun tidak.
"Isabella," mulainya pelan. "Dengar aku. Ini Leo. Aku tahu kau di sana. Aku tahu kau mendengarku."
Ia tidak memohonnya untuk bangun. Ia mulai merayunya. Merayunya untuk kembali ke dunia orang hidup, menggunakan satu-satunya senjata yang ia miliki: kenangan mereka.
"Ingat malam pertama aku datang ke penthousemu? Saat kau memintaku memasak sarapan?" bisiknya. "Aku masih bisa mengingat aroma apartemenmu yang dingin, bau desainer dan kesepian. Lalu aku mulai memasak. Aroma bawang putih dan tomat ceri memenuhi ruangan. Kau bilang, rasa frittata itu... mengingatkanmu pada sesuatu dari masa lalumu. Sesuatu yang hangat. Kau belum menceritakannya padaku, Isabella. Kau harus bangun dan ceritakan padaku apa itu."
Ia terus berbicara, suaranya menjadi lebih rendah, lebih sensual. Ia tidak lagi hanya membangkitkan kenangan, ia membangkitkan indera.
"Ingat malam di dapur restoranku yang hancur? Di atas meja baja yang dingin?" lanjutnya, suaranya serak. "Aku masih bisa merasakan panas kulitmu yang kontras dengan dinginnya logam itu. Aku masih bisa merasakan kekuatan di pahamu saat kau melingkarkannya di pinggangku. Kau mengambilku dengan kekuatan seorang ratu, dan aku menyerah padamu. Kembalilah, Isabella. Kembalilah dan ambil aku lagi."
Pembaca, yang dibuat menjadi saksi bisu dari monolog intim ini, seolah ikut merasakan setiap sensasi yang digambarkan Leo. Kata-katanya melukiskan gambaran yang begitu hidup, begitu penuh gairah, hingga terasa nyata. Erotisme dari adegan ini bukanlah dari aksi fisik, melainkan dari kedalaman emosi dan kekuatan deskripsi sensual yang mentah. Itu adalah sebuah striptease jiwa, di mana Leo menelanjangi setiap momen intim mereka untuk memancing jiwa Isabella kembali.
"Dan di pulau itu... malam sebelum pertempuran," bisiknya lagi, kini bibirnya mendekat ke telinga Isabella. "Ingat? Suara ombak menjadi musik kita. Cahaya bulan melukis tubuhmu. Aku mencicipi rasa garam di lehermu. Aku merasakan detak jantungmu di bawah telapak tanganku. Kau bilang aku adalah sexy chef-mu. Kau bilang aku meracik duniamu di malam hari." Ia mengecup pelipisnya yang dingin. "Duniaku gelap tanpamu, Isabella. Aku butuh cahayamu. Aku butuh apimu."
Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya kini menyapu bibir Isabella yang pucat dan kering. "Kau milikku, Ratu," bisiknya di antara ciuman-ciuman ringan. "Kau tidak punya izin untuk pergi dari dunia ini sebelum aku mengizinkannya. Aku perintahkan kau untuk membuka matamu. Aku perintahkan kau untuk kembali padaku. Masih banyak pertempuran yang harus kita menangkan. Masih banyak malam yang harus kita habiskan bersama. Masih banyak hidangan yang harus kau cicipi."
Ia menuangkan seluruh kekuatannya, seluruh harapannya, seluruh jiwanya ke dalam kata-kata dan sentuhan itu. Ia sedang mencoba melakukan alkimia terakhirnya, mengubah kematian menjadi kehidupan.
Dan kemudian, sebuah keajaiban kecil terjadi.
Monitor jantung di samping ranjang, yang selama berjam-jam berbunyi dengan ritme yang lambat dan monoton, tiba-tiba berbunyi lebih cepat. Bip-bip-bip-bip. Garis hijau di layar yang tadinya lemah, kini melonjak dengan energi baru.
Leo menatap tajam ke wajah Isabella.
Satu bulu matanya yang panjang bergetar.
Lalu yang lain.
Jari-jemari Isabella yang ada dalam genggaman Leo, bergerak sedikit. Sebuah kejang kecil, tetapi itu adalah sebuah gerakan.
Leo menahan napasnya. "Isabella...?"
Dengan usaha yang luar biasa, seolah mengangkat beban seberat dunia, kelopak mata Isabella perlahan terbuka. Matanya yang biasanya tajam kini berkabut dan tidak fokus, tetapi mata itu terbuka. Mata itu mencari-cari, hingga akhirnya menemukan wajah Leo.
Bibirnya yang pucat bergerak, mencoba membentuk sebuah kata. Setelah beberapa kali mencoba, satu kata berhasil keluar, sebuah bisikan yang lebih lemah dari hembusan napas.
"Leo..."
Kelegaan yang membanjiri Leo dan seluruh tim begitu luar biasa hingga hampir terasa menyakitkan. Isabella telah kembali. Pertarungan terberat telah mereka menangkan.
Namun, jalan pemulihannya masih panjang. Ia masih sangat lemah, terbaring di tempat tidur, tergantung pada infus dan perawatan intensif. Ratu yang perkasa itu kini rentan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia harus bergantung pada orang lain. Dan orang itu adalah Leo.
Dinamika mereka berbalik total. Leo kini adalah pelindungnya, penjaganya. Ia tidak pernah jauh dari sisi ranjangnya, membantunya makan, membacakan buku untuknya, atau hanya duduk dalam diam sambil menggenggam tangannya.
Beberapa hari kemudian, di kamar pemulihan itu, dewan perang mereka berkumpul kembali. Marco berdiri dengan canggung, wajahnya penuh penyesalan dan kelegaan. Bianca memberikan laporan melalui tablet, suaranya bergetar karena emosi. Pak Tirta berdiri di sudut, mengamati dengan tenang.
Isabella, yang disandarkan di bantal, hanya bisa mendengarkan, terlalu lemah untuk berbicara banyak.
Leo berdiri di tengah mereka. Jika ada yang melihatnya sekarang, mereka tidak akan mengenali chef yang tenang dari beberapa minggu yang lalu. Kesedihan dan kemarahan telah menempa ulang dirinya. Kelembutan di matanya telah lenyap, digantikan oleh kilau dingin dan fokus yang mengerikan. Alkemis telah mati. Sang Pemburu telah lahir.
Isabella menatapnya, dan meskipun lemah, ia memberikan anggukan kecil. Sebuah penyerahan kekuasaan. Sebuah restu.
Leo mengerti. Ia berbalik menghadap timnya, dan untuk pertama kalinya, ia mengambil alih komando absolut.
"Pak Tirta," katanya, suaranya datar dan tanpa emosi. "Viktor tidak lagi berguna secara strategis, tapi jangan bunuh dia. Aku ingin dia sadar sepenuhnya saat aku kembali. Aku ingin dia melihat apa yang akan kulakukan atas namanya, dan hidup dalam penyesalan."
"Bianca," lanjutnya. "Lupakan perusahaannya, lupakan uangnya. Aku mau kau fokuskan seluruh jaringan global kita, setiap satelit, setiap peretas yang kita kenal, setiap ons data yang bisa kau kumpulkan untuk satu kata: Jäger. Aku mau hantu itu ditemukan. Aku mau wajahnya, sejarahnya, di mana dia minum kopi, siapa yang dia tiduri."
"Marco," perintahnya terakhir. "Siapkan Legiun. Latihan mereka belum selesai. Katakan pada mereka, sekarang kita berlatih untuk berburu, bukan untuk berperang. Setiap anggota harus menjadi predator."
Ia kemudian berbalik dan berjalan kembali ke sisi ranjang Isabella. Ia mengambil tangannya yang hangat, denyut nadinya kini lebih kuat. Ia menatap ke dalam mata Ratu-nya yang masih lemah tetapi sudah kembali berkobar, dan ia memberikan sumpahnya yang baru, sebuah janji yang akan menjadi penutup bab ini dan pembuka dari saga balas dendam yang berdarah.
"Perang melawan Viktor sudah selesai. Dia sudah kalah," katanya, suaranya adalah bisikan yang mematikan yang bergema di ruangan steril itu. "Sekarang, perburuan dimulai. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku membawakannya jantung si penembak jitu itu sebagai hadiah 'semoga lekas sembuh' untukmu."