NovelToon NovelToon
Pewaris Sistem Kuno

Pewaris Sistem Kuno

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Spiritual / Sistem / Kultivasi Modern
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ali Jok

Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.

Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.

Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Air Mata Tirta Amarta

mereka bilang tidak ada tempat seperti rumah. Tapi kalau rumahnya lagi kebakar dan dikepung tentara bayaran hybrid manusia-serigala, kayaknya pepatah itu perlu dirombak ulang. Setelah perjalanan sepanjang malam yang bikin kaki keriting, akhirnya kami sampai di puncak tebing terakhir. Padepokan Tirta Amarta, yang katanya tempatnya para pendekar sakti dan sumber kedamaian, tampaknya sedang jadi lokasi syuting film horor.

Kabut pagi? Hilang. Diganti sama asap hitam yang mengepul jelek, kayak ada raksasa lagi bakar sampah sembarangan. Aroma daging terbakar dan besi berkarat memenuhi udara. Bukan aroma yang menggugah selera.

"Tidak...!" teriak Sekar di sampingku. Suaranya parau, dan wajahnya yang biasanya cool abis sekarang hancur berantakan. Sebelum aku atau Mbah Ledhek bisa berkata apa-apa, dia sudah melesat menuruni tebing seperti anak panah. Dua pedangnya sudah di tangan, rambutnya yang biasanya rapi kini terbang liar seperti bendera perang.

"Sekar, tunggu! Ini pasti jebakan!" teriak Mbah Ledhek. Tapi percuma. Naluri seorang cucu yang lihat rumah neneknya dibakar sudah ngalahin semua pelajaran strategi perang.

"Analisis lingkungan," lapor Mar di kepalaku. "Tingkat kerusakan: 70%. Sumber asap: pembakaran bangunan kayu dan material organik. Deteksi banyak tanda kehidupan bermusuhan."

"Banaspati, bikin kejutan!" teriakku pada si kepala api yang melayang di sampingku.

"Dasar penyusup tak tahu malu!" raung Banaspati, tubuh apinya berkobar-kobar. Dia melesat seperti meteor, meninggalkan jejak api di udara dan langsung nyerbu formasi musuh di bawah. Aku lihat dia membubarkan sekelompok figure bertopeng dengan semburan api. Good job, bro.

Aku sendiri? Jujur, jantungku berdebar kencang kayak drum band. Tapi amarah dan ketakutan di mataku, kayaknya, berubah jadi tekad baja. Aku rasa ini efek samping dari Sistem Kuno ini. Cincinku berpijar, dan aku ikut melesat menuruni tebing, langkahku diperkuat energi. Mbah Ledhek mengikuti dari belakang, tongkatnya sudah berkilat siap tempur.

Kekacauan di dalam padepokan bikin suasana zombie apocalypse kayak mainan anak-anak. Pendekar-pendekar Tirta Amarta bertarung mati-matian, tapi lawan mereka... apa sih ini? Ada manusia bertopeng dengan mata kosong kayak zombie, tapi ada juga makhluk yang kayak hasil eksperimen gagal. Gue lihat manusia dengan cakar serigala, ada yang punya sayap gagak setengah jadi, bahkan yang tubuhnya licin kayak ular. Ini kayak pesta kostuman horor yang salah alamat.

"Awas, Jaka! Mereka bisa sembur racun!" teriak Banaspati dari atas sambil membakar manusia gagak yang mau nyerang dari langit.

"Rekomendasi pertahanan: Hindari kontak langsung dengan cairan yang tidak dikenal. Efisiensi: 98%," bisik Mar.

"Wah, makasih infonya, Mar. Aku juga bisa lihat itu warnanya ijo neon, kayak racun kartun!" batinku sambil menghindari semprotan dari manusia-ular.

Aku bergerak secepat mungkin. Sistem Mar memberi panduan di mataku, menyoroti titik lemah setiap musuh.

"Rekomendasi serangan: Serangan mematikan ke titik saraf leher.

Efisiensi: 95%.

Risiko: Kematian target."

"Tidak!" jawabku dalam hati. "Kasih opsi buat lumpuhin aja, aku bukan pembunuh!"

"Pemindaian... Opsi non-lethal tersedia. Targetkan sendi utama dan pusat energi di solar plexus.

Efisiensi: 65%.

Risiko: Tinggi untuk pengguna."

"Yaudah, cukup! Lebih baik risiko buat aku, daripada bunuh orang," gumamku.

Seekor manusia-serigala menerjang dengan cakar tajam. Aku membalik, menghindar dengan pas, dan bam! telapak tanganku yang berpijar menampar tepat di ulu hatinya. Si monster terlempar, menjerit kesakitan, dan kemudian pingsan. Aku bergerak dari satu musuh ke musuh lain, melumpuhkan tanpa membunuh. Rasanya aneh, tapi ini pilihanku.

Di seberang lapangan, Sekar udah jadi dewi amuk. Pedangnya berkilauan, memotong musuh dengan gerakan mematikan. Air matanya bercampur keringat dan debu. "EYANG! DI MANA EYANG?!" teriaknya histeris pada setiap pendekar yang ditemui. Dia kayak badai yang mengamuk.

Seorang pendekar tua yang terluka parah menunjuk ke arah kuil utama di bagian dalam. "Mereka... mengepung Eyang... di kuil... Mata Air Sumber..."

Aku dan Sekar saling pandang. Mata Air Sumber. Jantungnya padepokan ini. Kalau itu jatuh, tamat sudah riwayat kami.

"Pergi! Aku yang tahan mereka di sini!" raung Banaspati, menciptakan dinding api besar yang menghalau sekelompok manusia-ular. Aku ngacungin jempol ke arahnya sebelum berlari bersama Sekar dan Mbah Ledhek menuju kuil.

Sesampainya di pelataran kuil, pertempuran sedang memuncak. Eyang Retno berdiri gagah di depan pintu kuil, tongkatnya berpijar. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, tapi matanya masih tajam dan penuh wibawa. Dia dikepung.

"EYANG!" teriak Sekar, berusaha menerobos barisan musuh.

Eyang Retno menoleh ke arah kami, dan untuk sedetik, wajahnya menunjukkan kelegaan. Itu adalah kesalahan besar.

Dari balik barisan musuh, seorang figur bertopeng emas melangkah maju. Gerakannya anggun tapi mematikan. Aura kegelapannya bikin perutku mual. Ada sesuatu yang... familiar dari suaranya.

"Sudah cukup, Retno," ucapnya. Suaranya dingin.

Figur itu mengangkat tangan. Tiga bilah pisau energi hitam berputar dan terbentuk di udara, menyasar Eyang Retno dari tiga arah sekaligus.

"TIDAK!" Jeritanku dan Sekar nyaris bersamaan.

Dengan reflek, aku mengangkat tangan. Air dari kolam kecil di sampingku menyembur, membentuk tameng air dan berhasil menangkis dua pisau. Tapi pisau ketiga... oh, sialan. Itu berbelok dengan sudut mustahil, menghindari tamengku dan Sschhkk menancap tepat di dada Eyang Retno.

Waktu seakan berhenti.

Eyang Retno terhenyak. Tongkatnya jatuh ke batu dengan suara keras yang menyayat hati. Figur bertopeng emas itu tertawa pendek, terdengar puas. Dia memberi isyarat, dan pasukannya mundur dengan tertib, menghilang ke dalam kabut asap seolah mereka hanyalah mimpi buruk.

"Aku... aku tidak bisa menghentikan mereka..." desis Banaspati yang mendarat di sampingku, tubuh apinya redup oleh rasa bersalah.

"EYANG!" Sekar berhasil menerobos dan mendekap tubuh neneknya yang limbung. Darah mengucur deras dari lukanya.

Aku bergegas membungkuk. Tanganku bersinar dengan energi penyembuhan yang kupelajari dari sistem ini. Aku tempelkan di lukanya, tapi Eyang Retno justru menjerit kesakitan! Energi keemasanku seperti ditolak oleh kegelapan yang menggerogoti lukanya.

"Peringatan: Energi nekrotik tingkat tinggi terdeteksi. Menetralisir tidak mungkin dengan kemampuan saat ini. Hanya dapat memperlambat penyebaran."

"Luka... lukanya terkutuk..." napas Eyang Retno tersengal, semakin melemah. "Dia... dia sengaja menggunakan... ilmu ini..."

"Siapa, Eyang? Siapa dia?" desak Sekar, panik. Tangannya menekan luka neneknya, mencoba menghentikan pendarahan.

Eyang Retno memandangku. Matanya penuh kesedihan dan pengertian yang dalam, seperti dia sudah tahu segalanya tentang diriku. "Dia... yang mengkhianati... orang tuamu, Jaka... Dia yang... memberitahu... 'Sang Tuan'... tentang..." Dia batuk darah. "Tentang... lokasi... persembunyian... kalian..."

Aku merasa seperti ditampar. Dunia berputar. Pengkhianat itu... masih hidup? Dan dia ada di sini?

"Namanya, Eyang! Siapa namanya?" pintaku, suaraku bergetar hampir seperti tangisan. Aku harus tahu. Aku harus tahu siapa yang menghancurkan hidupku.

Eyang Retno menarik napas terakhir yang berat. "Dia... adalah..."

Tapi sebelum namanya terucap, napasnya terhenti. Matanya terpejam, tubuhnya menjadi lemas. Tapi... jantungnya masih berdetak, sangat lemah. Dia seperti terjebak di antara hidup dan mati, dijegal oleh energi gelap yang mengerikan.

"TIDAK! EYANG! BANGUN!" Sekar mengguncang-guncang tubuh neneknya, histeris. Air matanya muncrat. Aku merasa sakit melihatnya. Perasaanku campur aduk: sedih, marah, dan penasaran yang menyiksa.

Mbah Ledhek berlutut, memeriksa dengan cermat. "Dia masih hidup! Tapi... energi gelap ini seperti parasit. Ini akan memakan nyawanya perlahan-lahan!"

Kami membawa Eyang Retno yang tak berdaya ke dalam kuil. Suasana suram menyelimuti kami semua. Ya, kami bertahan, tapi dengan harga yang mengerikan. Ini kemenangan yang terasa sangat pahit.

Di ruang perawatan, setelah Eyang Retno dibaringkan dan Mbah Ledhek memberikan ramuan ajaib untuk memperlambat racun, aku berdiri memandangi naskah kuno dari Mpu Sastra. Hatiku penuh tekad, tapi juga ketakutan.

"Mar," bisikku lirih. "Analisis naskah ini. Cari apa pun tentang racun energi gelap seperti yang menyerang Eyang Retno."

"Pemindaian... Ditemukan. Referensi cocok: 'Racun Jiwa Nekrotik'.

Catatan: Hanya bisa dimurnikan oleh 'Air Mata Dewata' dari Mata Air Kehidupan."

"Mata Air Kehidupan? Di mana itu?" tanyaku penuh harap.

"Lokasi: Puncak Gunung Lawu.

Tingkat kesulitan: Ekstrem.

Legenda menyebutkan banyak ujian spiritual dan fisik menuju lokasi."

Gunung Lawu. Gunung keramat yang penuh misteri dan legenda menyeramkan. Perfect. Seolah-olah hidupku belum cukup rumit.

Aku menatap Sekar yang masih duduk memegangi tangan neneknya, wajahnya hancur berantakan oleh air mata. Aku tarik napas dalam-dalam. Ini tidak akan mudah.

"Aku harus pergi ke Gunung Lawu," kataku, memecahkan keheningan. Suaraku terdengar lebih berani daripada yang kurasakan. "Mata Air Kehidupan di sana adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan Eyang."

Sekar mengangkat wajahnya, matanya bengkak dan merah. "Aku ikut," katanya, suaranya parau tapi penuh tekad.

Aku menggelengkan kepala, berusaha bersikap lembut tapi tegas. "Tidak, Sekar. Padepokan butuh pemimpin sekarang. Eyang butuh penjaga yang paling dia percayai, dan itu adalah kamu. Aku akan lebih cepat sendirian." Aku menoleh kepada Banaspati yang api nya berkedip-kedip lemah. "Banaspati, kau tetap di sini. Jaga mereka dengan nyawamu."

Banaspati mengangguk, apinya berkobar kecil tapi penuh komitmen. "Perintahmu, Pewaris. Aku tidak akan meninggalkan posku kali ini."

Sekar tampak ingin membantah, tapi dia tahu aku benar. Dia memeluk erat tangan neneknya, air matanya menetes lagi. "Janji kamu akan kembali, Jaka."

"Aku janji," kataku. Tapi di dalam hati, aku berharap janji itu bisa kutepati.

Sebelum fajar menyingsing sepenuhnya, aku sudah berdiri di gerbang padepokan yang hancur. Mbah Ledhek memberiku bekal dan sebuah peta tua yang digambarnya dengan cepat.

"Hati-hati, Nak," pesannya, wajahnya lelah dan penuh kekhawatiran. "Gunung Lawu bukan gunung biasa. Dia hidup. Dia akan mengujimu bukan hanya dengan fisik, tapi dengan jiwamu. Percayalah pada instingmu, Nak. Jangan hanya mengandalkan sistem di kepalamu itu."

Aku mengangguk, merasakan beratnya tugas ini. Aku menoleh sekali lagi ke arah kuil, membayangkan Eyang Retno yang terbaring lemah dan Sekar yang berusaha kuat. Lalu, dengan langkah berat tapi penuh tekad, aku melangkah keluar gerbang, menyendiri.

Perjalanan baruku dimulai. Dan kali ini, bebannya lebih berat dari gunung sekalipun. Bukan cuma nyawa Eyang Retno, tapi juga janjiku pada Sekar, dan misteri pengkhianat yang masih menggantung, yang mungkin lebih dekat dari yang pernah aku duga. Aku hanya bisa berdoa dan berharap aku cukup kuat untuk semua ini.

1
ShrakhDenim Cylbow
Ok, nice!
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
ShrakhDenim Cylbow: Bagoos💪
total 2 replies
Marchel
Cerita yang bagus lanjutkan kak..
Ali Asyhar: iyaa kak terimakasih dukungannya
total 1 replies
Ali Asyhar
semoga cerita ini membuat pembaca sadar bahwa mereka penting untuk dirinya
T A K H O E L
, , bagus bro gua suka ceritanya
bantu akun gua bro
Ali Asyhar: oke bro
total 5 replies
Ali Asyhar
otw bro
Vytas
semangat up nya bro
Vytas
mampir juga bro,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!