Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - MASKER - Erna ( POV )
Mengapa ini terjadi padaku ? Aku berasal dari keluarga baik – baik, tapi, rasanya seperti dipermainkan oleh takdir kehidupan yang membuatku berpikir bahwa Tuhan ada. Tidak, Tuhan itu tidak ada, kalau ada mengapa DIA tuli, buta dan bisu. Apakah DIA tak melihat bahwa umat-Nya ini sangat setia, loyal dan kurasa semua perintah – perintah-NYA kupatuhi. Tapi, lihat ... apa yang terjadi pada diriku sekarang. Aku adalah seorang wanita yang tidak ada harganya di mata semua orang. Dan, Mas Djojo Diningrat satu – satunya yang peduli kepadaku kini dia lupa pada Erna Yunita yang telah menyelamatkan nyawanya. Malah, ia mengambil wanita Jepang itu sebagai iseteri tanpa mempedulikanku. AKU BENCI DIA.
Waktu itu, aku masih seorang gadis desa yang lugu. Wajahku biasa – biasa saja dan aku tak mengerti apa yang kebanyakan orang bilang ‘wanita sexy atau bahenol’ aku biasa – biasa saja. Tapi, banyak sekali kaum Adam terpikat olehku, itulah sebabnya, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah. Jika aku ingin pergi ke sebuah tempat, harus dikawal oleh beberapa tukang pukul untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan.
Sekalipun di mata orang lain aku hidup enak bergelimang harta, tapi, bagiku tak ubahnya dengan hidup terkekang. Hidup dalam sangkar berlapis emas berlian dan permata.
Tapi, belakangan aku menyadari bahwa perlakuan orang tua yang menurutku over protective ada benarnya. Mengingat kejadian itu, emosiku meledak – ledak dan tak terkendali. Inilah yang membuatku harus kehilangan segala – galanya termasuk, SISI KEMANUSIAANKU dan aku tidak percaya lagi akan apa yang disebut TUHAN ! Memang, terdengar agak kasar / ekstrem, tapi, inilah diriku. Kalian boleh melewatkan tulisan – tulisanku ini, tapi, kuanjurkan jangan ... sebab, semua titik permasalahan ada di bab ini. Aku tak akan berhenti menebar teror sebelum semua orang yang berhubungan dengan DJOJO DININGRAT binasa.
***
Banyak kaum Adam yang ingin meminang dan menjadikanku sebagai isterinya, tapi, aku tidak pernah memberikan harapan pada mereka semua. Bukan karena mereka berasal dari keluarga dengan latar belakang yang buruk, bukan karena mereka semua kaya, miskin atau apa ... tapi, karena aku telah menetapkan pilihanku pada seorang pemuda yang pernah menyelamatkan nyawaku. Dialah DJOJO DININGRAT.
Hari itu entah mengapa aku bersikeras hendak pergi ke Danau Tlugu. Di tengah perjalanan, ada serombongan tentara Belanda sedang berpatroli. Aku tak habis pikir, biasanya perjalanan menuju danau Tlugu sepi oleh orang terlebih tentara kolonial Belanda, tapi, hari itu mendadak jalanan ramai. Mobil – mobil milik Belanda bersliweran dan salah satu mobil berhenti menghadang sado / kereta kuda yang kutumpangi bersama 2 orang wanita dan 4 orang tukang pukul. 6 orang tentara bersenjata lengkap turun dan menghampiri sado kami.
3 orang tentara menggeledah seisi kereta dan 3 orang lain berjaga. Begitu 3 orang penggeledah itu melihat ke arahku, dia berseru kepada teman – temannya dalam bahasa Belanda. Para penjaga kereta mendekat dan sepasang mata mereka memancarkan pandangan yang tidak sopan. Detik berikut kami, para wanita dipaksa keluar tapi dihadang oleh tukang pukul kami, terjadilah pertarungan sengit, salah seorang pengawal menyuruhku pergi melarikan diri sementara mereka bertarung. Perlawanan kami sama sekali tak terduga oleh pihak Belanda, demikian pula teman – teman wanita yang mendampingiku, mereka semua dibekali oleh ilmu kanuragan yang cukup membuat lawan terdesak hingga akhirnya mereka mengeluarkan senjata apinya.
Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat, ilmu kanuragan tak ada apa – apanya dengan senjata – senjata canggih tersebut, dalam waktu singkat para pengawal priaku tewas dan para pengawal wanita dipaksa menyerah. Tapi, kami pantang menyerah terlebih pada kaum penjajah dan hingga akhirnya mereka tewas. Salah seorang tentara berkata, ‘Satu wanita berhasil melarikan diri, jangan biarkan lolos,’ Beberapa tentara bergerak mencariku yang bersembunyi di semak – semak. Hingga akhirnya, salah seorang tentara berhasil mendekati tempat persembunyianku.
‘Dia bersembunyi disini. Haruskah langsung dibunuh ?’
Baru saja ia menutup mulutnya mendadak seorang laki – laki bertubuh jangkung, tegap dan kekar mendadak berdiri di antara kami. Saat tentara Belanda hendak membuka mulutnya lagi, tubuhnya sudah terpental ke belakang dan ambruk tak jauh dari teman – temannya. Bagaikan dikomando, para tentara yang tersisa 5 orang itu bergerak mengepung tempat kami berada. ‘TEMBAK DIA !’ seru salah seorang tentara. ‘Dor’, ‘Dor’, ‘Dor’ tak terhitung berapa kali suara tembakan itu terdengar di telingaku, timah – timah panas beterbangan di udara melesat mengarah ke pemuda itu. Tapi, dalam jarak beberapa senti, timah – timah itu seakan mengapung di udara, tak satupun bisa melukai tubuh pemuda itu.
Aku menatap pemandangan itu dengan mulut ternganga. Siapa pemuda ini ? tanyaku dalam hati. Kembali terdengar letusan berulang – ulang memekakkan telinga tapi, timah – timah panas tersebut tidak mampu menembus dan melukai tubuhnya. ‘Giliranku,’ ujar pemuda itu sambil menghembuskan nafas perlahan. Timah – timah yang mengapung di udara itu mendadak berjatuhan sebagian melesat ke arah tentara Belanda itu. 5 orang tentara itu tak sempat lagi berteriak atau mengucap sepatah kata pun melainkan roboh dan tak bergerak – gerak lagi.
‘Kau tidak apa – apa ?’ tanyanya kepadaku. Jawaban dari pertanyaannya adalah detak jantungku yang kencang dan aku tak berani menatap matanya yang seakan memiliki kekuatan sihir untuk mengubahku menjadi patung.
‘Kalau boleh tahu, siapa nama nona ?’ lagi – lagi pertanyaannya tak bisa kujawab, lidahku serasa kelu aku benar – benar tak bisa mengendalikan diriku saat dia melontarkan pertanyaan – pertanyaan selanjutnya dan mendadak saja aku kesal manakala ia pergi meninggalkanku begitu saja, ‘Jangan pergi !’ teriakku sedikit ketus. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan kembali tatapannya membuatku salah tingkah.
Itulah pertemuanku dengan Djojo Diningrat pertama kali. Sejak saat itu, aku enggan beranjak dari sisinya. Entah mengapa, aku merasakan diriku bagai burung yang lepas dari sangkar, terbang sekehendak hati dan menikmati kebebasan walau hanya sebentar, karena beberapa hari setelah penghadangan tentara Belanda, kudengar rumahku tengah diserang tentara Belanda. Aku menyadari, melakukan kesalahan dengan meninggalkan sado yang kutumpangi di tempat terjadinya penghadangan tersebut dan karena pesona yang ditebarkan oleh Djojo Diningrat padaku, aku melupakan semuanya.
Djojo Diningrat menghantarku ke rumah tempat tinggalku, disana masih terjadi pertempuran sengit. Mayat – mayat dari kedua kubu bergelimpangan tak tentu arah. Letusan senjata api terdengar berulang kali dan saat kami masuk, Ayahku tengah berhadapan dengan 10 orang tentara dengan tubuh penuh luka tembakan dan sayatan pedang. Saat nyawanya terancam, Djojo Diningrat bergerak cepat dan berhasil membunuh 10 orang tentara itu. Tapi, memang karena luka – lukanya, Ayahku tak bisa diselamatkan lagi.
Saat Djojo Diningrat bertarung salah seorang tentara berhasil melukai bahu kanannya dengan sabetan pedang, sebuah luka yang cukup parah dan membuat stamina Djojo Diningrat terkuras. Sekalipun berhasil membunuh lawan, Djojo jatuh tak sadarkan diri sementara musuh terus berdatangan. Tapi, dengan petunjuk yang diberikan oleh Djojo sebelum pingsan, akhirnya kami berhasil melarikan diri dari kepungan musuh.
Di saat aku kebingungan hendak membawa Djojo yang pingsan itu, mendadak terlintas di benakku untuk menuju ke Danau Tlugu.
Menurutku itu adalah satu – satunya tempat yang aman dari jamahan Tentara Kolonial Belanda, kami pun menuju kesana dan merawat luka – luka Mas Djojo. Itulah saat – saat yang membahagiakan bagiku. Bagi seorang gadis lugu yang baru pertama kali mendapatkan apa yang dinamakan CINTA.
***
Aku merawat luka – luka Mas Djojo dengan penuh perhatian, menyuapinya makan saat ia membutuhkan makanan, membasuh tubuhnya, memberinya minum saat haus. Membakar ranting – ranting kering saat cuaca sedang dingin. Luka – lukanya tak memungkinkan ia bergerak dengan bebas bahkan hanya bisa berbaring. Aku tak percaya sewaktu pertama kali bertemu dengannya ia begitu gagah perkasa, tapi, kini terbaring lemah di hadapanku. Tapi, aku melakukan semuanya dengan tulus dan berharap bisa sembuh seperti sedia kala. Aku hanya bisa menatap wajah tampan, dadanya yang bidang dan kekar saat ia terbaring lemah. Dan, mendadak saja aku merasa iba.
Malam itu, udara begitu dingin, tak ada bintang dan tak ada rembulan yang terdengar hanyalah suara – suara binatang malam.
Tubuhku menggigil Kudekatkan diriku pada api unggun dan sesekali melirik ke arah wajah Mas Djojo yang terlelap. Ada sebuah perasaan aneh yang mendesakku agar merapat ke tubuhnya, hingga tanpa sadar jari – jemarimu membelai wajahnya.
‘Ketampanannya mampu menundukkan gadis – gadis manapun’ kataku tiba – tiba dan aku memang berharap aku adalah salah satu dari sekian banyak gadis itu. Dan, buru – buru aku menarik jari – jemariku dan bergerak menjauh saat ia membalikkan badannya yang tadi membelakangi, ke arahku sementara wajahku terrtunduk malu sekali dengan apa yang baru saja terjadi.
Yah, sudah beberapa minggu yang lalu kondisinya berangsur – angsur pulih. Aku turut bahagia, artinya perawatanku selama ini tidaklah sia – sia. ‘Hei, ada apa denganmu ? Wajahmu merah sekali, Erna,’ sapanya dan membuatku semakin salah tingkah. Aku menggeleng – gelengkan kepala, ‘Ti ... tidak apa – apa, kau sendiri mengapa terbangun saat tengah malam seperti ini ?’ kataku gugup. Sebuah pertanyaan yang konyol menurutku, harusnya dialah yang menanyakan hal itu padaku dan ... ‘Kau sendiri mengapa masih belum tidur padahal sudah lewat tengah malam ?’
Sekian lamanya berada dalam perasaan yang bercampur aduk tak keruan dalam hatiku, aku akhirnya berusaha menenangkan diri dan melewatkan malam itu dengan percakapan – percakapan yang membawa kami ke arah langit di ufuk Timur yang memerah, udara dingin mulai terasa hangat dan kegelapan pun sirna.
Hari – hari yang kami lewati serasa indah bagiku, kepedulian dan kasih sayang Mas Djojo membuatku semakin berat untuk berpisah dengannya. Dan, aku takkan pernah melupakan saat dimana aku merelakan segala – galanya yang kupunya untuk Mas Djojo, termasuk kehormatanku. Aku tak menyesal, aku bahagia karena aku tulus mencintai dan menyayanginya, aku bersedia memberikan apapun untuk kebahagiaannya. Hingga pada suatu hari kami mendengar Belanda menyerah kepada Nippon. Tapi, keadaan justru lebih buruk dan membuat Mas Djojo Diningrat tak bisa berdiam diri, hingga akhirnya dengan sangat berat hati kami harus berpisah. Terikatlah sebuah janji setia di danau tlugu, kelak jika situasi negeri ini aman kembali Djojo Diningrat akan kembali ke sisiku dan membangun sebuah keluarga yang tak terikat lagi dengan urusan duniawi.
Berbekal pada janji yang diberikan Mas Djojo padaku, aku rela menantinya bahkan saat uban mulai tumbuh di kepalaku. Tapi, aku begitu marah manakala mendengar bahwa ia menikah dengan puteri seorang jenderal bernama RIA TAKANO, berumah tangga dan memiliki seorang puteri bernama RARA UTARI. Aku berontak, aku tidak percaya, dia telah mengkhianati cintaku, dia telah melupakan semua pengorbananku selama ini. Maka, aku bersumpah untuk membuat hidup keluarga DJOJO DININGRAT tidak lagi tenang dan menikmati kedamaian, hingga keturunannya habis. Tuhan juga telah mengkhianatiku, itulah sebabnya, aku mengadakan perjanjian dengan siapapun yang mau mendengar deritaku kecuali TUHAN. Dan, Tuhan pun takkan bisa menghalangi kehendakku, dendam ini harus terbalaskan !!
***