PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Pelayan itu mengangguk, matanya penuh simpati. "Aku mengerti. Istana ini dipenuhi dengan kenangan, baik yang indah maupun yang menyakitkan. Ada kalanya kita harus menanggung beban masa lalu kita."
Fiona memalingkan wajahnya, air mata kembali mengalir. "Beberapa kenangan seharusnya tidak pernah kembali."
"Benar sekali," kata gadis itu dengan lembut. "Tapi, kita tidak bisa lari dari masa lalu. Kita harus menghadapinya, dan jika kamu tidak bisa melakukannya sendirian, mungkin kamu bisa mencari seseorang untuk membantumu."
Fiona menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang bisa membantuku. Hanya aku yang bisa menyelesaikan ini." Ia berbalik, melangkah pergi, meninggalkan pelayan itu sendirian di taman. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tidak melihat ke belakang.
Ia kembali berjalan, menyusuri koridor yang sepi. Hatinya hancur, tetapi hatinya menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak boleh goyah. Verdian bergantung padanya, dan ia akan melakukan apa pun untuk putranya. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi orang-orang yang pernah ia cintai.
Dengan penyamaran Felani, Fiona pergi ke Akademi Alvez. Di sana, ia mengawasi dari jauh, dengan hati-hati menghindari tatapan siapa pun yang mungkin mengenalnya. Dia tidak ingin ada orang yang tahu bahwa dia ada di sana. Tujuannya hanya satu: memastikan bahwa Verdian aman dan jauh dari Vergil. Dari sudut pandang seorang ibu, Fiona hanya ingin Verdian menjalani hidup normal. Namun, setiap kali ia melihat Verdian berinteraksi dengan siswa lain, Fiona tak bisa menahan diri untuk tidak membandingkannya dengan Vergil, ayah kandung Verdian. Fiona melihat ambisi yang sama dalam tatapan Verdian, kekuatan yang sama dalam setiap gerakannya. Rasa takut muncul di benaknya. Ia takut jika Verdian memiliki takdir yang sama dengan Vergil, yaitu menjadi kejam, dingin, dan juga licik. Ia akan melakukan apa pun untuk melindunginya dari takdir yang mengerikan itu.
Setelah puas mengamati putranya dari kejauhan, Fiona kembali ke istana. Ia menyelinap masuk melalui gerbang belakang, kembali mengenakan seragam pelayan biasa. Di matanya, istana kini tampak seperti sangkar emas; semua kenangan indah masa lalu seakan telah hilang, tergantikan oleh rasa curiga dan ketakutan. Ia terus berjalan di koridor, langkahnya pelan dan waspada. Fiona sadar ia tidak bisa terlalu lama berada di luar, karena menyamar sebagai pelayan berarti setiap gerakannya diawasi. Dia harus menjadi bayangan yang tak terlihat, mengawasi setiap gerak-gerik Vergil dan juga Verdian.
Sementara itu, Melisa dengan semangat mengajak Verdian untuk menemuinya keluarganya, Milon. Dengan percaya diri, Melisa mulai berjalan mendahului Verdian, menunjuk ke berbagai arah dengan bersemangat.
"Ayo Verdian! Keluargaku akan sangat senang bertemu denganmu! Mereka pasti akan menyukaimu! " teriak Melisa dengan suara yang ceria.
Verdian tersenyum, mengamati Melisa yang berjalan cepat di depannya. "Aku yakin, tapi kau yakin tahu jalan? Kurasa kita sudah melewati jalur yang sama dua kali."
Langkah Melisa melambat. "Benarkah?" Melisa melihat sekelilingnya dengan bingung. Wajahnya yang ceria menghilang, digantikan dengan raut muka panik. "Jangan-jangan aku tersesat! Astaga, bagaimana ini!" Melisa menggaruk kepalanya. "Aku... aku lupa jalan! Aku seharusnya tahu jalan ini! Tapi kenapa aku melupakannya?"
Sebelum Verdian sempat menjawab, mereka berdua terkejut. Tiba-tiba, bayangan gelap dari pepohonan di sekitar mereka mulai bergerak. Sosok berpakaian serba hitam muncul dari balik semak-semak, mengelilingi mereka dalam formasi yang ketat. Mereka memakai topeng yang terbuat dari emas, dihiasi dengan mahkota bergerigi, lambang 'the Monarch'. Verdian segera menarik Melisa ke belakangnya, matanya tajam dan waspada. Melisa gemetar, menyadari bahaya yang mengintai.
"Siapa kalian?!" Verdian membentak, tangannya sudah memegang gagang pedang di pinggangnya.
Para sosok itu tidak menjawab. Mereka justru bergerak lebih cepat. Verdian menyadari bahwa mereka bukan hanya prajurit biasa. Gerakan mereka sangat cepat dan terorganisir. Verdian merasa cemas. Ia tidak terlalu memikirkan dirinya sendiri, tetapi Melisa di belakangnya. Ia tahu ia harus menyelamatkan Melisa.
"Melisa! Lari!" perintah Verdian, tetapi Melisa tidak bergerak. Ia terlalu takut. Ia tidak pernah menghadapi situasi berbahaya seperti ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa dunia di luar akademi sangat kejam dan berbahaya.
Verdian segera menghunus pedangnya, mengayunkannya dalam gerakan cepat untuk menangkis serangan pertama yang datang.
Suara benturan logam bergema saat ia menahan serbuan musuh. Ia bertahan dengan susah payah, menggerakkan tubuhnya dengan lincah untuk menghindari sabetan pedang lain dari anggota 'the Monarch' yang mengepungnya.
Setiap gerakan dihitung, setiap ayunan merupakan upaya putus asa untuk mengulur waktu. Melisa masih gemetar ketakutan, melihat Verdian berjuang mati-matian. Rasa takutnya berganti menjadi tekad. Ia melihat celah, sebuah momen singkat ketika para penyerang terfokus pada Verdian.
"Verdian! Aku akan lari!" teriaknya.
"Ya! Lari! Sekarang!" jawab Verdian, suaranya dipenuhi amarah.
Melisa mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian, dan lari sekencang-kencangnya. Ia memanfaatkan keributan di sekeliling Verdian, menyelinang di antara para pengepung dan menghilang ke dalam hutan. Verdian, yang melihat Melisa berhasil melarikan diri, merasa lega.
Ia melancarkan serangan balasan yang cepat dan brutal, menggunakan momentum untuk mendorong mundur beberapa musuh dan menciptakan ruang. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Ia menyadari ia tidak akan bisa menang dan ia harus melarikan diri juga.
Tiba-tiba, bayangan hitam lain muncul dari balik pepohonan. Verdian mengira itu adalah musuh lain, tetapi ia salah. Sosok itu jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari para pengepung. Ia memakai jubah hitam, menutupi sebagian wajahnya. Sosok itu adalah Vergil, yang sedang menyamar untuk memburu 'the Monarch'.
Vergil, tanpa menyadari bahwa pemuda yang ia selamatkan adalah putranya sendiri, langsung menyerang tanpa ragu. Dengan gerakan yang cepat dan akurat, ia menebas musuhnya satu per satu, mengacaukan formasi mereka.
Verdian yang kelelahan, melihat sosok penyelamatnya. "Siapa kamu?" tanyanya terengah-engah. Vergil tidak menjawab, ia hanya fokus mengalahkan musuh di sekitarnya.
Namun ia melakukan hal yang tidak terduga. Ia mengangkat Verdian ke pundaknya, Verdian terkejut, mencoba berontak, tetapi Vergil terlalu kuat. Vergil dengan lincah membawa Verdian pergi dari tempat kejadian. Para pengepung mundur, menyadari bahwa mereka tidak bisa melawan Vergil.
Setelah semua pengepung pergi, Vergil menurunkan Verdian dari pundaknya. Verdian langsung berdiri tegak, matanya menatap tajam pada sosok di depannya, meskipun ia tahu bahwa sosok itu adalah Vergil. Ia menunjuk ke arahnya dan berkata, "Yang Mulia, penyamaran Anda jelek sekali. Saya masih bisa mengenali Anda sekarang."
Vergil tersenyum tipis. "Kau Verdian, kan? Orang yang menantangku saat upacara sambutan di akademi."
"Ya, itu saya, Yang Mulia," jawab Verdian, suaranya dipenuhi rasa hormat.
"Pulanglah, nak. Aku masih ada urusan," kata Vergil, nadanya tegas.
"Aku ingin ikut," jawab Verdian.
"Ini berbahaya, kau tahu?"
"Aku tak peduli, aku ingin ikut," balas Verdian, matanya menunjukkan tekad yang kuat.
Tepati janjimu ya Vergil, jangan ada wanita selain Fiona..
Alurnya bagus, tokoh & karakternya kuat, penulisannya juga rapih banget..
Semangat terus ya.. 💪😎
Karyamu keren banget.. 💪😄👍