"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 | AWAL PERJALANAN
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Entah apa gunanya kekuatanku, selain untuk mendongkrak dan menyempurnakan nilaiku di pelajaran matematika, fisika, kimia, maupun subjek lain yang berkaitan dengan perhitungan, juga selain menghitung iuran kelas.
Tidak sampai di situ, lika-liku pikiranku berkembang semakin absurd. Dengan tak tahu malunya sekarang malah berusaha menggeledah kecocokan antara kemampuanku dengan kemampuan Sora, dan hasilnya nihil.
Dilihat dari sisi mana pun, dipaksa sebagaimana pun, sama sekali tidak ditemukan keselarasan di antara kemampuan kami. Mustahil untuk saling melengkapi seperti Bian dan Cika.
Sirna sudah angan-anganku bersama si pemilik rupa manis itu.
Aku menghela napas panjang.
Semua bagian dari tubuhku seketika terkulai lemas usai diguncang kenyataan. Kutundukkan kepalaku dengan pandangan nanar menyapu lantai, sirat akan putus asa. Bibir bawahku semakin maju ke depan, menimpa bibir atasku.
Setelah menarik napas tajam hingga ujung paru-paru, sampai arwahku mentok di ubun-ubun, segera kuhembus lagi napasku ini kuat-kuat seperti orang sesak.
Pandanganku kembali terangkat menatap pedih punggung kedua sejoli tadi.
Tapi,
Ada tidak, ya, secercah harapan untukku dan Sora bisa bersanding seperti mereka?
Otakku masih menolak percaya kalau aku dan Sora mustahil bersama, atau ... hatiku yang tak terima?
"Nat!"
Tubuh Bian yang tadinya semakin jauh mendadak berbalik ke belakang, disusul dengan pekikan memanggil namaku akibat hujan hampir meredam suaranya.
Aku yang memang masih jadi saksi bisu kemesraan mereka di depan sana, sontak balas berteriak dengan intonasi serupa, "ya?!"
"Hampir saja aku lupa! Pesan dari Zofan, jangan pulang dulu!" teriaknya lagi, namun kali ini kubalas dengan anggukan refleks.
Tak berselang lama, kulihat Cika yang tadinya hanya memandangi Bian yang bicara padaku, kini bercengkrama dengan kekasihnya itu.
Mungkin menanyakan alasan kenapa Zofan menyuruhku menunggu, atau tentang hal lainnya yang aku tak tahu apa. Apa pun itu, aku yakin Cika juga sempat berpikir itu aneh mengingat aku dan Zofan jauh dari kata 'dekat'.
Tidak hanya Cika, aku berani jamin pasti satu angkatanku pun akan berpikir serupa jika melihat Zofan tiba-tiba membuntutiku minggu lalu, padahal paling-paling kami komunikasi sekali satu semester.
Untung saja para penggemar fanatik Zofan tidak menerorku. Asal mereka tahu saja, Zofan ini ada maunya.
Sebentar, mataku jadi kering. Aku lupa berkedip lagi.
Baru berapa detik kupalingkan pandangan, tiba-tiba sosok Bian dan Cika yang sejak tadi jadi hiburan sesaatku sudah menghilang saja.
Oh ... bukan, ternyata mereka sedang menuju parkiran motor yang ada di lapangan sebelah. Jauh juga Bian menaruh motornya. Pasti tadi pagi dia telat dan tidak kebagian spot parkir di sekolah.
Tin! Tin!
∞
Helaan napas kembali lepas dari lubang hidungku.
Tin! Tin!
Lagi, kali ini kulepaskan napasku lewat mulut, meniupnya agak kencang dan lama.
Kenapa jadi seperti orang yang punya banyak tekanan hidup, deh?
TIN! TIN! TIN!
Aduh, bising sekali klakson mobil itu! Derai hujan pun tak sanggup senyapkan suaranya!
"NATARIN!"
"Hah?!" Aku terlonjak saat kali ini bukan hanya suara klakson mobil yang berkumandang, tapi juga, lagi-lagi, namaku diteriakkan. Sepertinya aku sudah bisa ganti nama.
"Di sini! Cepat masuk ke dalam mobil!"
"Mana, sih?" gumamku pada diri sendiri, arah mataku beredar mencari sumber suara.
Saat satu-satunya mobil berwarna oranye terang berhenti tepat di hadapanku, terpampang nyata menyilaukan mata di depan tempatku berdiri saat ini, baru lah aku berekspresi dengan sudut bibir atas yang terangkat malas.
Ternyata itu mobil si mulut remix. Tidak mobilnya, tidak mulutnya, sama-sama berisik.
"Aku kira kau pecundang yang melarikan diri setelah mengemis bantuanku!" sungutku melengking.
Zofan memasang ekspresi jengahnya yang tidak enak dilihat itu. Kemudian ia jelaskan lah, "aku pulang dulu untuk mengambil mobilku di rumah, aku tak diizinkan bawa mobil ke sekolah."
"Berarti kau tak mahir menyetir? Dan kau malah memintaku masuk ke dalam mobilmu itu?"
"Bukan begitu – ah! Kau ini tak pernah mau kalah!"
"Kau juga sama!" ujarku tak mau kalah, oh – yah, dia benar, sih, tapi dia pun tak ada bedanya!
Kalau kalian berpikir kami jadi bisa berinteraksi secara santai, damai, dan ramah, saat kubilang Zofan sudah memohon pertolongan padaku dengan cara yang benar saat kami duduk di warung makan yang sama, kalian salah.
Pada waktu itu, dia memang tidak lagi mengancam, tapi justru memohon-mohon dengan menjengkelkan.
Seperti yang kubilang juga, walau dia sempat meminta maaf, tapi gengsi tetap diutamakan olehnya. Jadi, tidak akan mungkin hilang sisi menyebalkan dari si bintang sekolah ini.
"Sudah lah, masuk saja dulu! Nanti lagi berdebatnya. Hujannya deras! Airnya tempias ke dalam mobilku, nih, kalau kaca jendela dibuka lama begini."
"Tidak mau!" tolakku lugas. "Memang umur kita sudah diperbolehkan bawa mobil? Memangnya aman, kalau kau yang menyetir? Surat-surat mengemudimu lengkap? Aku tidak mau ambil resiko—"
"Tak usah khawatir, naik saja! Cepat, Nata!" gereget Zofan.
Aku tahu Zofan sudah jenuh, aku pun sama, apalagi pelajaran-pelajaran hari ini menguras otak semua hingga kepalaku berdenyut, tapi aku juga takut kalau sampai diri dan keselamatanku dalam bahaya.
Siapa yang nanti akan bertanggung jawab? Bocah di depanku ini? Tidak, dia payah.
"Tapi, aku takut—"
"Sora sudah menunggumu di belakang. Jadi cepat masuk, atau kesempatanmu hilang!"
Kerjapan mata berulang kali menghampiriku dengan cepat. Sora juga di dalam mobil itu? Berarti, aku akan duduk bersampingan dengannya?!
"Cepat lah, masuk! Kuhitung sampai tiga! Sat—"
Cklek. Bump!
Tak perlu susah payah menghitung, Zofan! Lihat, belum sempat kau berkedip pun, pintu mobilmu sudah terbuka dan kembali tertutup tak sampai satu detik. Segesit petir aku memasuki mobilmu.
Aku mengulum bibir malu-malu begitu disambut kehadiran Sora di dalam mobil, menyapa dengan anggukan kecilku tepat setelah duduk di sebelah kirinya. "Hai, Sora," kataku.
"Haha. Hai, Natarin."
Ya Tuhan, tawanya saja sudah begitu merdu di telinga, ini dipadu lagi dengan namaku, jadi semakin indah lah suaranya mengalun-mengalun di indra pendengaranku, menembus kilat hingga jantungku.
Misalkan namaku lebih panjang lagi, pasti bisa lebih lama aku mendengarnya beralun melodius dalam iringan suara Sora.
Sebisa mungkin aku bertingkah normal.
Sebiasa mungkin aku melepas tasku dan memangkunya di depan dengan tenang.
Sedikit menunduk, jemari tremorku refleks bergerak menyelipkan rambut sebahuku ke belakang telinga, berniat menenangkan kegugupan yang melanda batin.
Tangan kikuk ini juga dengan telaten merapikan rokku yang padahal tak berantakan, tak akan terlihat pun, karena dihalangi tas. Idiot.
Kudekap erat-erat lah tas itu, menyalurkan perasaan menggebu-gebuku di sana.
Melebur sudah sebadan-badan.
"Cih. Jangan lupa ada aku di depan sini, ya, kalian! Awas saja!"
...
Bersambung