Azura Eliyena, seorang anak tiri terbuang. Ibu dan Ayahnya bercerai saat usia Azura masih tiga tahun. Bukan karena ekonomi, melainkan karena Ibunya tak sudi lagi bersama Ayahnya yang lumpuh. Ibunya tega meninggalkan mereka demi pria lain, hidup mewah di keluarga suami barunya. Menginjak remaja, Azura nekat kabur dari rumah untuk menemui Ibunya. Berharap Ibunya telah berubah, namun dirinya justru tak dianggap anak lagi. Azura dibuang oleh keluarga Ayah tirinya, kehadirannya tak diterima dan tak dihargai. Marah dan kecewa pada Ibunya, Azura kembali ke rumah Ayahnya. Akan tetapi, semua sudah terlambat, ia tak melihat Ayah dan saudaranya lagi. Azura sadar kini hidupnya telah jatuh ke dalam kehancuran. Setelah ia beranjak dewasa, Azura menjadi wanita cantik, baik, kuat, tangguh, dan mandiri. Hidup sendirian tak membuatnya putus asa. Ia memulai dari awal lagi tuk membalas dendam pada keluarga baru Ibunya, hingga takdir mempertemukannya dengan sepasang anak kembar yang kehilangan Ibunya. Tak disangka, anak kembar itu malah melamarnya menjadi Istri kedua Ayah mereka yang Duda, yang merupakan menantu Ayah tirinya.
“Bibi Mackel… mau nda jadi Mama baluna Jilo? Papa Jilo olangna tajil melintil lhoo… Beli helikoptel aja nda pake utang…” ~ Azelio Sayersz Raymond.
“Nama saya Azura, bukan Bibi Masker. Tapi Ayah kalian orangnya seperti apa?” ~ Azura Eliyena.
“Papa ganteng, pintel masak, pintel pukul olang jahat.” ~ Azelia Sayersz Raymond.
“Nama kalian siapa?”
“Ajila Ajilo Sales Lemon, Bibi Mackel.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER | SAYANG MAMA JULA
Cklek!
Uhuk… uhuk…
Baru buka pintu sedikit, debu dari dalam kamar tidur Azura langsung beterbangan keluar membuat wanita itu batuk-batuk.
“Tuan, ini sungguh kamar saya?” tanya Azura ke Joeson yang berdiri di sampingnya.
“Ya.”
“Ta-tapi… kamarnya agak berantakan dan kotor, uhuk…” Azura mengibas debu di depan matanya. Udara pekat di kamar itu terasa menyesakkan dada.
‘Kalau aku tidur di sini, besok... aku mungkin akan ditemukan sudah tidak bernyawa. Apa pria jutek ini sedang mencoba membunuhku perlahan?’ gerutu Azura dalam hati.
Joeson tiba-tiba menyodorkan sebuah kartu membuat kulit dahi Azura berkerut tipis. “Apa ini?”
“Di dalam situ sudah ada 500 juta milikmu. Kamu bisa pakai uang itu memperbaiki kamar ini.”
“Hahhhh …?” Azura tercengang.
‘Udah jutek, dingin, sombong dan tidak ada pesta pernikahan, sekarang dia orang yang pelit sekali! Ini kan rumahnya, kenapa aku yang harus merenovasi kamar?’ pikir Azura geleng-geleng kepala.
“Kenapa melotot begitu? Kamu tidak senang dengan nominal yang saya berikan?” tanya Joeson sinis.
Maunya sih ngomong—ya. Tapi kalau jujur, takutnya Azura dibawa ke loteng.
“Ini sudah cukup, terima kasih, Tuan.” Azura terpaksa menerima dan tersenyum. Tapi Joeson tak menanggapi senyum istrinya dan malah berbalik ingin ke kamar sendiri.
“Eh… tunggu, Tuan!” Tahan Azura sebelum Joeson pergi.
“Apa lagi?” tanya Joeson ketus.
“Itu … apa Anda serius akan membantu saya bertemu dengan Kakak saya? Sahira?” Azura menunduk dengan nada rendah. Ia ragu tapi masih berharap keinginannya terwujud.
“Ya,” jawab Joeson dan Azura tersenyum lagi.
“Tapi untuk sementara kamu tidak bisa menemuinya.”
“Kenapa tidak bisa? Apa Kakak saya sudah tahu saya menikah dengan Anda, makanya tidak mau menemui saya?” Azura tertunduk sedih dan memegang dadanya yang sakit.
“Kakakmu belum tahu tentang hubungan kita, tapi suaminya sudah tahu. Dia tidak mau kamu bertemu istrinya,” jawab Joeson sedikit menjelaskan bahwa Zander melarangnya membawa Azura ke rumah Kakek mereka karena Zander masih tak terima perbuatannya di masa lalu yang memberi luka dalam pada istrinya sampai-sampai luka itu menjadi trauma berkepanjangan bagi Sahira. Bahkan Zander sempat menolak dan menentang keputusan Joeson menikahi kembaran Aina itu.
Azura semakin tertunduk sedih. Ia mengerti mengapa dirinya dibawa ke rumah yang berbeda dengan Sahira. “Aku memang tidak pantas dimaafkan. Kak Sahira selama ini sudah banyak menanggung beban hidup keluarga. Sementara aku, aku hanya memberinya masalah dan luka. Hiks…” Wanita itu sesenggukan sambil mengusap air matanya yang perlahan menetes. Gejolak akan penyesalan dan rindu menyelimuti hati kecilnya. Namun detik kemudian, Azura terdiam merasakan sentuhan hangat di kepalanya.
Azura perlahan mendongak. Ia pandangi Joeson yang sedang mengusap-usap kepalanya. Mata biru dan mata coklat mereka bertemu, seakan pria itu paham bagaimana perasaan istrinya saat ini. Joeson pun tersentak dan tersadar. Ia menarik cepat tangannya sambil memalingkan muka ke samping.
“Ekhem… kamu jangan berpikir aneh-aneh. Yang barusan itu aku tidak sengaja,” kata Joeson pura-pura tak peduli, tetapi Azura jelas bisa merasakan Joeson sedikit perhatian padanya.
“Kamu juga jangan langsung menyerah begitu saja. Saya akan berusaha membantumu bertemu dengan kakakmu,” lanjut pria itu membuat Azura kembali tersenyum senang.
“Terima kasih, Tuan. Ternyata Anda masih punya hati yang baik juga,” puji Azura.
“Oh, jadi dari awal kamu anggap saya orang jahat, gitu?” Pria itu langsung marah, balik ke setelan pabrik. Azura secepatnya masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.
“Hei, gadis muka plaster, saya belum selesai ngomong!” ujar Joeson kesal sambil memutar-mutar knop tapi tak bisa dibuka. Sesaat kemudian, Joeson sudah tak ada di depan kamar Azura.
“Puftt… dia menarik juga.”
Azura menatap ke bawah sambil memegang dadanya yang berdebar-debar. Namun kemudian, Azura menggeleng-geleng kepala. “Aduh… kenapa aku yang malah jadi gini, sih? Aku tidak boleh sampai jatuh cinta sama dia! Dia yang seharusnya jatuh cinta padaku. Tetap sadar, Azura. Jangan lupa tujuanmu itu untuk memanfaatkan pria ini demi balas dendammu!” batinnya membuang jauh-jauh perasaan aneh itu.
Sebelum tidur, Azura membersihkan kamar terlebih dahulu. Ia ikat rambut panjangnya itu dengan karet. Mengambil sapu di sudut kamar lalu menyapu bersih lantai kotor. Hanya beberapa menit, kamarnya sudah bersih dan segar.
“Akhirnya bisa nafas, sekarang waktunya bobo cantik.” Azura masuk kamar mandi yang sudah kinclong juga. Ia membasuh muka sebelum berbaring di kasurnya. “Ahhh… sudah lama sekali tidak tidur di ranjang yang empuk,” desah Azura merentangkan kedua tangannya kemudian tidur menyamping ke kiri.
Dringgg~ Dringg~
Sontak, kelopak mata Azura terbuka lebar mendengar suara alarm ponselnya. “Rasanya baru sekejap tutup mata sudah jam segini saja. Hidup di rumah orang kaya memang beda,” desah Azura memandangi jam di ponselnya menunjukkan pukul 05.32 pagi. “Baru juga setengah jalan melewati mimpi indah, udah dipanggil balik aja ke realita. Bertahan hidup di dunia keras ini memang butuh kesabaran dan kesadaran.”
“Ya udah deh, waktunya bikin sarapan untuk kerja!”
Selesai cuci muka, gosok gigi, dan memakai plaster baru di pipi, Azura pun berjalan ke pintu. Cklek!
“Mama…” sapa Azelia tiba-tiba muncul di depan Azura dan berhasil membuat wanita itu terlonjak.
“Ya ampun, bikin Bibi kaget saja,” ucap Azura mengelus dada.
“Hihi… Mama Jula olang na suka tekkejut, lucu deh,” tawa gadis mungil itu.
“Jila juga lucu deh, pagi-pagi sudah bangun duluan. Kenapa tidak tidur lagi, hm?” tanya Azura berjongkok dan mencubit lembut pipi tembem anak itu.
“Mau main masak-masak baleng Mama Jula,” jawab Azelia tersenyum lebar.
“Ohhh… maksudnya mau bantu bikin sarapan?” ralat Azura dan Azelia mengangguk cepat. “Mama Jula pintel, deh.”
Azura tertawa kecil kemudian menggendong gadis mungil itu menuju ke dapur.
“Mama Jula…”
“Hm, kenapa manis?”
“Mama Jula mimpi na apa?” tanya Azelia pada Azura yang menuruni tangga.
“Hm, mimpi di atas awan terus bikin istana di sana, haha…” Azura cengengesan, mimpinya cukup absurd.
“Woah… hampil milip sama Jila,” seru Azelia.
“Benarkah? Coba ceritain dong sedikit,” kata Azura ingin tahu.
“Jila naik awan telus ke tempat Mama Na.”
“Ohh … terus Jila ngapain ke Mama Na?” Azura merasa mimpi Azelia cukup menarik.
“Mama Na bilang gini, seyukulah… Jila sama Kakak Jilo udah sama Mama Jula. Mama Na senang Mama Jula jadi Mama balu na Jila. Tapina Jila kasian lihat Mama Na sendilian aja di awan. Mama Na pasti nda punya teman di sana,” isak Azelia memeluk Azura.
“Mama Na cantik sepelti Enjel, Mama Jula,” lanjut anak itu tersenyum, berusaha tegar kembali.
Azura mengangguk dan dengan lembut menghapus sisa air mata Azelia di pipinya. “Jila jangan sedih lagi ya, Mama Aina di sana tidak sendirian, ada Kakek Andersson, Kakek Jila yang menemani Ibu kalian.”
“Tapina Jila nda lihat Kakek-kakek,” kata Jila.
“Mungkin Kakek kalian masih ngumpet di tempat lain karena malu-malu ketemu sama cucunya yang manis dan cantik ini,” ungkap Azura menghibur, membuat Jila tersenyum lega.
“Mama Jula, jangan sakit ya,” bisik Azelia.
“Hm, kenapa manis?” tanya Azura sudah dekat ke ruang dapur, namun langkahnya berhenti mendengar jawaban Azelia.
“Jila nda mau Mama Jula sakit sepelti Mama Na. Jila nda mau lagi Mama Jula pelgi. Mama Jula …” lirih Azelia menjeda.
“Hm, Jila kenapa berhenti?” tanya Azura cemas.
Azelia mengecup pipi kanan Ibunya. “Jila sayang Mama Jula… Mama Jula halus baleng Jila sama Kakak Jilo telus ya… nda boleh pelgi mana-mana …”
Azura tersenyum, senang mendengar ungkapan tulus itu. Tapi Azura sadar dirinya hanya istri kontrak Ayah mereka yang bisa menendangnya jauh-jauh dari kehidupan si kembar.
________
Anak seimut ini harus bertaruh dengan hak asuh Neneknya.
Like, komen, subscribe, vote 🌹
pasti lucu tiap ketemu teringat tubuh polos istri nya pasti langsung on
secara dah lama ga ganti oli 😂😂😂
karena klrga joe bukan kaleng3
bapak nymshhidup dn tanggung jawab samaanaj ny, kok malah mauerevut hak asuh.
memang nyari masalah nexh siMatthuas dan Aeishta