"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
“Orang tua kamu ke mana?” tanya Hana.
“Papi pacalan mulu sama nenek-nenek cihil,” jawab Felix polos.
“Oke … nama kamu siapa?” tanya Hana lagi.
“Felix.”
“Oke, nama yang bagus,” ucap Hana sambil tersenyum.
“Sudah malam, pulang yuk. Kamu tahu kan jalan pulangnya?” tanya Hana.
“Aku lapal, Teu …” ucap Felix dengan wajah memelas.
“Oke, kalau gitu kita makan dulu,” ujar Hana sambil tersenyum pada Felix.
Hana menaikan felix ke motor…felix tampak bahagia
“yeh,,,enak cekali naik motol” teriak felix
Hana hanya menggelengkan kepala. Anak itu tampak lucu dan, entah bagaimana, bisa sedikit menghibur dirinya yang sedang dirundung kesedihan.
Hana kemudian mengajak Felix makan di sebuah tempat sederhana. Hanya fried chicken dan beberapa minuman ringan, namun tampak jelas Felix sangat menikmatinya.
“Sekarang ayo, Ate antar pulang ya,” ucap Hana lembut.
“Oke … Ate, aku ngantuk …” jawab Felix sambil menguap kecil.
Felix lalu memberikan sebuah kartu nama. Hana menatapnya sejenak dan menyadari bahwa itu mungkin alamat rumah Felix. Dengan hati-hati, Hana pun mengarahkan motornya menuju alamat yang tertera di kartu itu
“Apakah benar anak ini tinggal di sini?” gumam Hana sambil menatap sebuah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Ia hendak membangunkan Felix, namun merasa tidak enak. Akhirnya, Hana menekan klakson motornya pelan.
Seorang sekuriti datang, lalu membuka gerbang dan mendekati Hana.
“Mau cari siapa?” tanya sekuriti itu.
Belum sempat Hana menjawab, sekuriti tersebut langsung berbicara lewat HT di tangannya.
“Tuan muda sudah ketemu,” ucapnya dengan suara agak gagap.
“Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” ucap sekuriti.
Tak lama kemudian, datang seorang lelaki mengenakan jas mewah. Penampilannya elegan, namun auranya dingin—sedingin es.
“Mana Felix?” tanya lelaki itu dengan suara tegas.
“Itu dia, Tuan,” jawab sekuriti.
Lelaki itu langsung menghampiri Hana, lalu dengan hati-hati mengambil Felix dari pelukannya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah.
“Kamu tunggu di sini,” ucap seorang sekuriti setelah menerima perintah dari tuannya.
Hana menunggu di depan gerbang.
“Dasar orang kaya sombong. Orang disuruh nunggu, tapi nggak disuruh masuk dulu, nggak dikasih kopi dulu kek … malam-malam didiemin di luar,” gerutu Hana dalam hati.
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya lelaki itu muncul kembali dengan wajah dingin. Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan sebuah cek ke arah Hana.
“Tulislah berapa pun yang kamu mau … dan jangan ganggu anakku,” ucapnya dengan nada dingin.
“Halo, Bos … aku menemukan anakmu. Aku tidak mengganggunya,” jawab Hana kesal.
“Sudah! Cepat! Banyak orang modus seperti kamu. Tulis saja nominal yang kamu inginkan, lalu pergilah. Jangan ganggu anakku lagi,” ucap lelaki itu tegas.
Hana mengambil cek itu, lalu melemparkannya kembali ke arah lelaki tersebut.
“Dasar sombong! Kamu pikir dengan uang seperti ini bisa membeli harga diriku, hah? Ingat, anakmu tidak hanya membutuhkan uang. Dia butuh perhatian darimu! Jangan memaksakan kehendakmu hanya karena dia anak kecil. Aku tidak akan mengganggunya lagi, karena dari awal pun aku tidak pernah mengganggunya!” ucap Hana dengan nada kesal.
Tanpa menunggu jawaban, Hana segera menghidupkan motornya dan langsung tancap gas, meninggalkan lelaki kaya yang sombong itu berdiri dengan wajah dingin di depan rumah megahnya.
…
Hana pergi dengan rasa kesal. Hari ini benar-benar membuatnya jengkel. Malam sudah larut dan ia bingung harus ke mana. Hana tidak terbiasa tidur di hotel sendirian. Kalaupun ia menginap di hotel, biasanya ditemani oleh Reni.
Teringat Reni, Hana pun memutuskan untuk menemuinya. Ia mengeluarkan ponselnya, namun sayang, ponsel itu mati. Saat Hana berusaha menyalakannya kembali, tiba-tiba sorot lampu menyorot tubuhnya.
Refleks, Hana menutup wajahnya dengan tangan.
“Hana, lagi apa?” tanya seorang lelaki.
Hana membuka tangannya dan mendapati sosok Andri berdiri di hadapannya.
“Aku sedang mencari kosan,” jawab Hana pelan.
“Kamu diusir dari rumah?” tanya Andri langsung menebak.
Hana terdiam, tidak memberikan jawaban.
“Di sekitar sini ada kosan milikku. Kebetulan ada yang kosong,” ucap Andri tenang.
Hana menatap wajah Andri lekat-lekat, seolah ingin memastikan apakah tawaran yang ia berikan benar-benar aman.
“Tenang saja, kosannya aman kok, dan tidak jauh dari sini,” jawab Andri.
Hari sudah malam. Ponselnya mati, Reni juga belum sempat ia hubungi, dan Andri sudah beberapa kali menolongnya. Rasanya tidak sopan jika ia menolak pertolongan Andri.
Hana pun mengikuti mobil Fortuner Andri.
Hingga sampailah mereka di sebuah kompleks kosan yang lumayan mewah.
“Ini kosan milik kamu?” tanya Hana sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh bangunan dua lantai yang terlihat asri.
“Bukan, ini kosan milik orang tuaku. Tukang ojek mana mungkin bisa membeli kosan,” jawab Andri sambil tersenyum.
Hana mengangguk pelan. Si Sinta bodoh sekali … Andri ternyata orang kaya. Malam memilih Riko, anak yang baru mau kaya, bukan orang kaya seperti ini, gumam Hana dalam hati.
Andri kemudian menuju sebuah kosan. Tampak seorang lelaki paruh baya tergopoh-gopoh mengikuti Andri dari belakang.
“Pak, ini penghuni kosan baru. Urusan pembayaran nanti jadi urusanku,” ucap Andri.
“Baik, Bos,” jawab pria paruh baya.
“Hana, ini Pak Sulaiman, pengurus kosan. Kalau kamu ada apa-apa, hubungi saja dia,” ucap Andri.
Hana mengangguk.
“Mari, Nona,” ucap Pak Sulaiman.
Kemudian Hana mengikuti Pak Sulaiman.
“Ini kamarnya, Bu,” kata Pak Sulaiman sambil menyerahkan sebuah kunci.
“Ya, terima kasih,” ucap Hana.
“Hana, aku tinggal dulu ya. Sekarang sudah malam,” ucap Andri.
“Terus, untuk pembayaran bagaimana?” tanya Hana.
“Kamu pasti kehabisan uang memenuhi keinginan Sinta, bukan? Jadi bulan depan saja sekalian dobel,” ucap Andri santai.
“Baiklah, kalau begitu. Kamu sudah banyak membantuku,” ucap Hana.
“Sesama orang yang tersakiti harus saling membantu,” jawab Andri sambil tersenyum.
,,
Waktu terus berlalu dan pagi pun datang.
“Huaaaaa … huaaaaaaa!” di sebuah kamar merah, seorang anak kecil menangis sejadi-jadinya.
“Felix, sayang, ada apa?” tanya Jefri lembut.
“Papih … mana … ateu … cantik … semalam … mana Papih!” ucap Felix sambil menangis keras.
“Papih sudah usir dia. Dia sudah menculikmu, Nak,” jawab Jefri sambil memeluk Felix dengan lembut.
Felix pun memukul-mukul dada Jefri, mengekspresikan amarah dan kesedihannya.
“Dia enggak culik Felix, Pih … dia celematin Felix, Pih!” tangis Felix pecah.
“Dia itu orang asing, sayang. Dia pasti punya niat jahat sama kamu,” jawab Jefri, berusaha memberi pengertian pada Felix.
“Kalau Ate jahat, kenapa Ate kasih aku makan? Dia antel aku pulang, pih … padahal cemalam aku tidul. Kalau dia culik Felix, mana mungkin dia antel Felix ke sini!” ucap Felix kesal.
Jefri terdiam. Apa yang dikatakan Felix masuk akal.
“Omaaaaaaa!” teriak Felix saat melihat neneknya masuk ke kamar.
“Ada, cucu Oma … kok pagi-pagi sudah nangis?” ucap Viona lembut.
“Mamah kok kesini nggak ngabarin aku?” tanya Jefri heran.
“Kamu pikir mamah bisa tidur nyenyak mendengar Felix hilang, ha? Pokoknya, mamah akan tinggal di sini. Mamah tidak mau terjadi apa-apa sama cucu mamah,” jawab Viona tegas.
“Omaaaaaaa … Papih jahat, Omaaa!” isak Felix sambil memeluk neneknya erat.