Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bertemu lagi?
Olivia terlihat prihatin.
“Kamu sanggup dengan kondisi hamil begini?”
“Bisa kok, Bu. Bisa,” jawab Rinjani meyakinkan.
“Ya sudah, silakan mulai bekerja, kamu bisa tanya tugas ke Teh Ami atau Teh Sulis ,ya.”
Rinjani membungkuk sopan, “Makasih, Bu.”
Olivia hanya mengangguk dan tersenyum, kembali fokus pada tanamannya. Dan membiarkan Rinjani dan Sulis berlalu ke dapur.
“Non, kok bohong?” cerca Sulis.
Rinjani hanya membuang napas pelan, “Gimana lagi, Bi. Aku malu kalau harus bilang yang sebenarnya. Bisa jadi Bu Olivia nggak mau terima aku di sini.”
Sulis tidak banyak komentar, ia tidak ingin menghakimi kondisi Rinjani. Keduanya memilih sibuk pada pekerjaan yang sudah menunggu.
**********
“Tuan.”
Darren menoleh saat Alex masuk ke ruangannya dengan wajah serius.
“Gimana?” tanya Darren.
“Nona Rinjani tidak ada di kontrakan,” lapor Alex tenang.
“Ke mana dia? Apa jualan di lampu merah?” Darren bangkit.
“Tidak, dia pergi bersama mantan ART-nya. Menurut informasi yang saya dapat, dia sekarang bekerja di rumah Pak Langit.”
Darren mematung. Rahangnya mengeras, ia menggeram kesal, “Sial!” umpatnya. Membanting pena yang semula ia genggam.
Sudah seminggu ia mengendalikan diri, mencoba menurunkan ego. Dan menunggu waktu yang tepat untuk menjemput Rinjani pulang ke rumah. Setidaknya untuk menjaga citra di depan publik. Namun sekarang? Istrinya itu memilih bekerja di rumah sahabatnya?
Atau Darren yang sudah kalah selangkah?
Tanpa kata, Darren melangkah cepat, meninggalkan ruangan dan Alex yang menyusulnya.
“Tuan, Anda mau ke mana?”
Darren tidak menjawab. Ia masuk ke dalam mobil, menginjak pedal dan mobil melesat di jalanan.
Dan takdir kali ini berpihak kepadanya. Baru saja sampai di rumah Langit. Ia melihat Rinjani keluar dari rumah dan menaiki ojek. Dan Darren memilih mengikuti dari jauh.
Saat Rinjani turun di pasar tradisional, Darren tidak menyiakan kesempatan. Ia turun dan menarik paksa lengan Rinjani.
“Eh! Eh!” seru Rinjani. Ia terkejut dengan kedatangan Darren yang menarik lengannya.
“Lepasin, Mas!” Rinjani mencoba melepaskan diri, menahan langkah saat Darren memaksanya masuk ke dalam mobil.
“Diam!” bentak Darren, suaranya yang keras membuat Rinjani getar.
“Aku bisa teriak!” ancam Rinjani.
“Silakan!” balas Darren, nadanya sinis dan penuh kemarahan.
Darren terus menyeret Rinjani ke mobil, membuka pintu dan dengan kekuatannya ia mendorong Rinjani masuk, kemudian menyusul dan mengunci pintu dari dalam.
“Aku mau keluar! Buka pintunya!” Rinjani panik, tangannya menekan-nekan handle pintu.
Namun Darren hanya menatapnya, lama dan dalam. Membayangkan kemungkinan yang tidak pernah benar-benar terjadi. Jika bukan karena kehamilan itu, mungkin mereka akan hidup selayaknya pasang normal, hidup di dalam rumah sebagai suami istri yang saling … mencintai?
“Kamu mau apa, Mas?” suara Rinjani parau, “Semua utang-utang orang tuaku pasti aku bayar. Sekarang buka pintunya!”
Darren mendengus, “Mau bayar dengan apa?”
“Uang.”
“Kerja jadi pembantu? Kerja sampai mati pun, utang itu belum tentu lunas!”
Rinjani terdiam, mulai ketakutan.
“Dengar!” suara Darren terdengar dalam dan tegas, “Saya kasih kamu pilihan. Gugurkan anak itu, dan kembali ke rumah. Semua utang keluargamu lunas.”
Wajah Rinjani pucat, napasnya bagai tercekat, ia mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Namu ia hanya mengangguk pelan– bukan karena setuju. Melainkan agar ia bisa keluar dari mobil itu.
********
*********
Sementara itu di perusahaan E.M.A Grup, Langit terduduk lemas di sofa ruangan.
“Saya rasanya mau mati, Fan,” keluhnya, sejak sampai kantor, ia tidak bekerja melainkan hanya keluar masuk toilet untuk meredakan mual yang mengaduk perutnya.
“Kalau ini yang dirasain setiap perempuan yang lagi hamil, saya nyerah,” ia mengibaskan tangan saat Taufan memberinya segelas air.
“Saya nggak mau muntah lagi!” tolaknya.
“Sebaiknya Anda pulang, Bos. Istirahat.”
Langit menggeleng, “Saya juga pengen tahu siapa perempuan itu, Fan. Yang malam itu …,” ia terdiam, “Dia pasti hamil sekarang.”
Taufan terdiam, belum sempat ia menjawab pintu ruangan terbuka.
“Langit, makan siang. Mama minta kita pulang sekarang.”
Evan muncul di ambang pintu.
Langit mengangguk lemas, lalu bangkit, ia meninggalkan ruangan bersama Taufan yang akan mengantarnya pulang.
Sesampai ia di rumah, aroma ruangan menusuk penciumannya. Padahal Langit sendiri yang meminta agar aroma ruangan itu diganti. Namun sekarang, perutnya langsung menolak.
Langit bergegas naik tangga menuju kamarnya, ke kamar mandi dan muntah kembali yang entah ke berapa. Ia gemetar, keringat dingin bercucuran. Sisa tenaganya membawa ia sampai di kasur dan terbaring lemas di sana.
Sementara itu, di meja makan keluarga Alexander.
“Papa sendiri?” tanya Olivia saat Evan datang sendiri.
“Ada Langit tadi, mungkin masih di luar.”
“Maaf, Bu, Pak. Mas Langit tadi langsung ke kamar, kayaknya lagi nggak enak badan,” ujar Ami.
“Tolong panggilin–”
“Biarin aja, Ma. Biar dia istirahat,” sela Evan.
Olivia mengangguk, “Rinjani tolong antar makan siang ke kamar Langit, ya.”
Rinjani mengangguk, bergegas ke dapur mengambil nampan, menyiapkan makanan dan melangkah menaiki tangga. Sesampai di depan pintu, ia mengetuk perlahan.
“Permisi, Mas. Saya disuruh antar makan siang.”
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk pintu beberapa kali, tetap masih hening. Rinjani mencoba mendorong pintu yang sedikit terbuka dengan perlahan. Dengan ragu ia melangkah masuk.
“Permisi ….”
Dari dalam suara berat terdengar, pelan dan dalam, “Siapa?”
Langkah Rinjani terhenti.
Langit yang masih berbaring lemas, mencoba membuka mata, ia menoleh ke arah pintu. Seketika matanya dan mata Rinjani bertemu.
Dan di detik itu, dunia seperti berhenti berputar?