NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Kegaduhan di Warung Mak Ipah

Warung mak Ipah bukanlah satu-satunya warung yang ada di desa tersebut. Luas warungnya juga tidak bisa dibilang besar. Hanya saja dikarenakan lokasinya yang tidak terlalu jauh, plus di warung janda beranak 3 tersebut tersedia apapun yang dicari oleh para pembelinya, maka warung mak Ipah selalu ramai dengan pembeli.

Mulai dari berbagai jenis sayur sampai daging maupun ikan tersedia. Gorengan serta jajanan pasar yang sudah jarang ditemui pun ada. Hingga wanita paruh baya yang ubannya mulai menyelip diantara rambutnya yang berwarna hitam itu menyediakan 2 bangku panjang beserta sebuah meja yang memisahkan bangku tersebut.

Mak Ipah tak melarang apapun aktifitas yang akan dilakukan oleh para pembeli di warungnya.

Mau bergosip, silahkan.

Mau makan, pastinya akan dilayani oleh salah seorang anaknya dengan baik.

Mau berbelanja, apa lagi, sudah pasti senyum ramah mak Ipah akan menyambutnya.

Namun, selain semua kebebasan tersebut, mak Ipah melarang adanya satu aktifitas di warungnya, yaitu berkelahi.

Makanya setelah kurang lebih 10 tahun berjualan, suasana di warung mak Ipah selalu damai. Meski Gosip-gosip yang didengungkan oleh para ibu-ibu itu selalu membuatnya sakit kepala.

Seperti biasanya, pagi ini warung mak Ipah sudah cukup ramai oleh pembeli. Ibu-ibu berdaster dan bahkan ada yang hanya sekedar mengikatkan sarung sebagai bawahannya, sudah mulai berdatangan. Tangan mereka memang tampak sibuk memilih bahan-bahan yang rencananya akan diolah untuk menu sarapan, tapi telinga mereka tajam mendengar. Mulut mereka bahkan turut menimpali apa yang diomongkan oleh ibu-ibu yang duduk di bangku panjang yang diletakkan di sudut warung, berdekatan dengan salah satu tiang yang menyanggah bagian depan warung mak Ipah.

"Eh, kalian dengar nggak suara tangisan di rumahnya ibu Nur kemarin siang?" ucap salah seorang ibu yang mengenakan daster berwarna merah mencolok. Di saat mulutnya sudah penuh dengan bakwan sayur itu pun, ibu berdaster merah itu tak berhenti mengoceh. "Kalian tau apa penyebab tangisan itu?" imbuhnya lagi seraya menaik turunkan sebelah alisnya.

Terdapat sekitar 4 orang ibu-ibu yang duduk di hadapan serta samping kirinya. Mereka semua kompak menggeleng dengan disertai tatapan penasaran.

Ibu berdaster merah itu tersenyum puas. Gelarnya sebagai tukang gosip nomor wahid di desa ini membuatnya bangga karena apapun masalah yang dialami oleh para warganya pasti bisa ia kulit.

"Kasih tau kami dong."

"Iya, jangan buat kami penasaran."

Dua sosok ibu berdaster kuning dan hijau kompak bersuara. Mereka bahkan mengambil 1 bakwan goreng yang tersedia di atas meja dan meletakkannya di atas piring kecil yang ada di hadapan ibu berdaster merah itu.

"Oke, kalian jangan kaget ya." senyum kian melebar di bibir wanita berdaster merah itu. Tanpa membuang waktu, diceritakannya gosip terpanas yang didengarnya dari sumbernya langsung. "Katanya, juragan Armand yang awalnya berniat melamar Lilis tiba-tiba membatalkan niatnya itu. Malahan dengan kasar menghina Lilis beserta kedua orang tuanya. Dan menurut yang aku dengar, katanya alasan dibalik pembatalan tersebut karena juragan Armand telah kepincut dengan perempuan lain."

"Ah, yang benar kamu?"

"Jangan asal ngomong begitu."

Kembali 2 orang ibu-ibu berdaster kuning dan hijau menyuarakan pemikiran mereka pada waktu yang bersamaan.

"Iya, jangan asal sembarangan nyebar berita yang belum tentu benar. Kalau kamu nggak lupa, rumah yang kamu bangun itu berdiri di atas tanahnya juragan Armand. Dia berbaik hati ngizinin kalian bangun rumah di sana. Kalau sampai dia marah, bisa-bisa kamu dan keluargamu diusir nanti." ibu berdaster biru yang tadinya hanya ingin menjadi pendengar langsung bersuara agar tak membuat temannya itu bertindak gegabah.

"Aku nggak asal ngomong. Semua itu aku dengar langsung dari Lilis dan juga ibu Lastri, istrinya pak Lurah. Nggak mungkin 'kan sosok yang seharusnya manjadi panutan itu malah nyebar berita yang nantinya bakalan ngerugiin diri mereka sen... "

Ibu berdaster merah itu tak dapat menyelesaikan perkataannya dikarenakan melalui dari sudut matanya, ia melihat Lala, anak angkatnya ibu Nur dan juga mbok Nah, melangkah ke dalam warung.

"Wah... kali ini belanjanya lebih pagi ya, La." mak Ipah yang tadi sibuk melayani pembeli dan berusaha mengabaikan kasak kusuk di meja sana seketika tersenyum cerah begitu melihat gadis manis yang merupakan anak angkat dari ibu Nur itu. Setelah melemparkan seulas senyum kepada mbok Nah yang kini sudah sibuk memilih belanjaan, mak Ipah memfokuskan pandangan ke arah Lala. "Tumben adek gemesnya kamu nggak ikut, La?" tanyanya penasaran.

"Lagi nggak enak badan dia, makanya dilarang sama ibu keluar rumah dulu." jawab Lala seraya sibuk memilih beberapa kue yang akan dibelikannya untuk si dedek gemes.

"Sakit apa?"

"Demam. Badannya sedikit panas tadi. Trus pilek jug... "

"Sakit karena demam atau sakit karena di 'jebol' sama abang angkatmu, La?"

Celetukan bernada menghina tersebut sontak membuat gerakkan tangan Lala yang sedang memilih kue terhenti. Kerutan terlihat jelas di keningnya saat ia berbalik dan menatap tajam seorang ibu berdaster merah, "Mbak Ika bilang apa tadi?"

"Anak lont* itu, akhirnya gunain selangkangannya buat ngerayu juragan Armand, kan? Sama kayak ibunya yang pelac*r itu, perempuan sok polos itu mau menikmati kekayaan tanpa harus bersusah payah buat kerja. Malahan dengan nggak tau malunya dia udah ngerebut calon suami orang. Dasar jala*g murahan, lebih baik dia enyah saja dari sin... "

PLAKK

Dalam gerakan yang tak terduga, tiba-tiba saja Lala sudah melayangkan tamparan di pipi wanita yang sudah berkepala tiga itu. Tak peduli bila dianggap tak menghormati orang yang lebih tua, Lala tak akan melepaskan siapapun yang sudah berani menghina orang-orang yang ia sayangi.

"Jaga mulut mbak Ika baik-baik. Jangan sampai saya robek karena bisanya cuma ngeluarin kata-kata sampah yang nggak ada gunanya." Lala menggeram marah. Bahkan meski tubuhnya entah sejak kapan ditahan oleh mbok Nah yang terus memintanya bersabar, Lala tetap tak menggubris.

"Kamu nampar saya, La?!" tampak jelas keterkejutan dari tatapan ibu berdaster merah yang biasa dipanggil Ika itu.

"Jangankan nampar, ngoyak mulut mbak Ika yang isinya cuma comberan sampah itu saja bisa saya lakukan." timpal Lala yang sudah melupakan niatnya untuk membeli kue.

"Tap... tapi, yang saya omongin tadi itu benar semua. Perempuan sok polos itu gunain badannya buat ngerayu calon laki orang." Ika mencoba membela diri. Meski usianya lebih tua, melihat tatapan Lala setajam itu, Ika merasa takut.

"Benar dari mananya?" Lala mendesis marah. Tubuhnya boleh saya kecil bila dibandingkan dengan lawan bicaranya itu, namun karena pernah belajar bela diri sedari SMP sampai SMA, Lala tak merasakan sedikitpun rasa takut. Membanting orang pun ia berani. "Calon lakinya siapa, coba? Jangan bisanya cuma nyebar gosip yang nggak berdas... "

"Calon suami aku lah. Memangnya siapa lagi?"

Jawaban yang terdengar terlalu percaya diri itu membuat Lala mendengus. Dilepaskannya pegangan mbok Nah di bahunya dan kemudian membalikkan badan demi menatap langsung ke sumber berita sampah selama ini.

Dengan hanya berjarak beberapa langkah saja darinya, bisa Lala lihat si anak gadis pak Lurah beserta kedua dayang setianya.

"Perempuan nggak tau malu." Lala terkekeh ringan, pancaran di kedua bola matanya menyiratkan penghinaan yang tak disembunyikan. "Sudah ditolak sama abang juragan, malah dengan nggak tau malunya nyebar gosip murahan seperti ini. Dempul di mukanya aja yang ditebalin tapi rasa malunya nggak."

Kedua mata Lilis membola. Jari telunjuknya yang bergetar teracung ke arah Lala dan bertanya, "Kau ngehina aku, La?"

"Ya. Orang yang udah putus urat malunya kayak mbak ini, nggak bisa diajak ngomong baik-baik. Pantasnya langsung hina aja." Lala mengangguk santai. Tanpa menoleh ke arah mbok Nah, didorongnya pelan wanita paruh baya itu seraya berkata, "Minggir dulu, mbok. Bentar lagi ada badak kurus kering yang mau ngamuk."

"Hah?" mbok Nah melongok tak mengerti.

Namun, belum lagi wanita paruh baya itu mendapat jawaban, situasi di sekitarnya sudah menjadi gaduh. Anak gadis pak Lurah yang tiba-tiba menerjang membuatnya hanya bisa bengong tanpa bisa mengatakan apa-apa.

Akan tetapi, pada saat Lala tampak begitu santai meladeni 'badak' yang ngamuk, mbok Nah dengan santai mengambil sepotong tempe goreng tepung, mengunyah gorengan yang terasa enak tersebut sambil menonton kegaduhan yang ada.

Ahhh... apa gunanya TV bila bisa melihat secara langsung serial kolosal di depan mata?

*****

Bagi Nissa, omongan para warga khususnya yang berjenis kelamin perempuan, tiap hinaan atau berita buruk yang dialamatkan padanya sudah bukan lagi hal yang aneh.

Sejak sang ibu meninggal, atau malah bahkan sejak Nissa dan ibunya menginjakkan kaki di desa ini, kata-kata kasar dan juga hinaan tak henti-hentinya ia dengar. Ibarat makan obat, Nissa sudah terbiasa dengan rasa pahitnya.

Karena itu, sejak gadis yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri itu pulang dari berbelanja dengan dumelan yang tak berhenti dari bibirnya, Nissa sudah tahu bahwa ibu-ibu di warung sana pasti kembali menyebarkan hal yang tak benar tentang dirinya. Nissa memang sudah terbiasa. Tapi rasa sakit di hatinya ternyata sulit untuk sepenuhnya dihilangkan.

'Anak pelac*r'

'Anak lont*"

'Perempuan jalang'

Dan masih banyak lagi hinaan lainnya, terus mengiringi langkah Nissa selama kurang lebih 2 tahun terakhir. Tak ada kata tenang. Mereka sepertinya selalu tahu bagaimana caranya untuk mengusik ketenangannya.

Tetapi sungguh, Nissa sangat yakin jika mendiang ibunya tidak seburuk yang mereka bicarakan.

Sewaktu mereka masih tinggal di kota, tidak pernah sekali pun Nissa melihat ibunya dijemput pria ataupun ada pria yang datang ke rumah mereka. Bahkan ibunya tidak pernah keluar rumah jika bukan untuk bekerja sebagai cleaning service.

Selebihnya, seluruh waktu ibunya dihabiskan di rumah. Mengurus dirinya dan juga berjualan gorengan di depan rumah.

"Udah, nggak usah dipikirkan omongan mereka yang nggak penting itu. Nggak ada gunanya juga meladeni orang yang mulutnya nggak pernah dikasih saringan itu."

Nissa mengerjap. Terus menatap Lala yang sedang dinasihati oleh ibu Nur karena cemas melihat lengan gadis itu yang tergores akibat bergesekan dengan tepi meja, Nissa sampai tak menyadari jika sudah ada orang yang duduk di dekatnya.

Angin yang terasa sedikit sejuk dikarenakan matahari belum sepenuhnya naik, membuat Nissa memilih duduk di dekat pintu teras sambil menatap sang kakak angkat yang sedang mencebikkan bibirnya.

Lucu...

Satu kata itulah yang muncul di benak Nissa melihat gadis yang selalu tak bisa tenang itu.

"Sibuk merhatiin Lala sampai ngebuat kamu nggak mau merespon saya ya, Nis."

"Ehh... " cepat Nissa kembali mengerjap. Perhatiannya yang ternyata terlalu fokus ke arah sang kakak angkat membuatnya kembali lupa dengan keberadaan pria yang akhir-akhir ini, entah mengapa selalu berusaha mengajaknya bicara. "Bukan gitu, Juragan. Saya cuma merasa bersalah karena mbak Lala ngelakuin semua itu demi membela saya." ujarnya menjelaskan kenapa sedari tadi terus memperhatikan sang kakak angkat.

Armand tersenyum tipis. Ia sebenarnya tak mempermasalahkan kenapa Nissa begitu fokus menatap Lala yang sedang dimarahi oleh sang ibu tercinta. Hanya saja Armand ingin selalu mendengar suara lembut nan mendayu milik si mungil.

Takutnya selama Armand berada di kota, Armand akan merindukannya.

"Saya tau kok, Nis, kalau Lala itu sudah kamu anggap seperti kakak sendiri. Saya cuma sedikit sedih saja, soalnya kamu kesannya nggak mau dekat sama saya." sengaja Armand berkata begitu. Ia ingin agar tatapan Nissa fokus padanya. Dan, apa yang dilakukannya itu ternyata berhasil. Kini kedua mata bulat nan jernih itu menatap ke arahnya, lengkap dengan ekspresi bingung dari pemiliknya.

"Nanti malam 'kan saya mau pergi ke kota. Kurang lebih seminggu. Soalnya ada urusan yang nggak bisa di wakilkan. Jadi, jangan cuma Lala saja yang diperhatikan, tapi saya juga." ucap Armand, yang akhirnya bingung sendiri mengapa kata-kata itu bisa sampai keluar dari bibirnya.

Nissa sendiri masih tak bersuara. Gadis mungil itu tampak begitu menggemaskan saat terus mengerjap sambil menatap pria yang tiap kata yang diucapkannya serasa tak sesuai dengan usianya yang sudah banyak itu.

"Ngomong-ngomong, kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?" cepat Armand mengalihkan pokok pembicaraan. Tatapan Nissa yang polos dan tampak sangat menggemaskan itu hampir saja membuat Armand tak bisa menahan diri untuk mencubit kedua pipinya.

"Nggak usah repot-repot, Juragan." Nissa akhirnya bersuara setelah bisa terbebas dari situasi yang sempat membuatnya bingung tadi. Ia langsung menunduk karena tak tahan bertatapan dengan sepasang mata tajam milik sang juragan.

"Nggak repot kok." tak ingin mendengar penolakan. "Coba kamu contoh si Lala, dari kemarin dia terus minta dibelikan oleh-oleh karena waktu pulang kemarin, saya nggak bawa apapun untuknya dan juga untuk ibu." ujar Armand seraya mengedikkan dagu ke arah Lala yang masih menundukkan kepala menerima nasehat sang ibu yang panjangnya sepanjang kenangan.

"Kalau gitu, bawain saja buat ibu dan mbak Lala. Sedangkan saya nggak usah."

"Mana bisa gitu." Armand menyanggah tak setuju. "Kemarin-kemarin, saya nggak tau kamu ada di sini. Setelah tau, nggak mungkin kalau saya nggak bawakan oleh-oleh buatmu.

Nissa mendesah pelan. Kegigihan sang juragan yang entah kenapa begitu kekeuh ingin membawakannya oleh-oleh dari kota membuat Nissa tak bisa lagi menolak. " Ya sudah, terserah Juragan saja. Jujur, saya nggak tau mau minta dibelikan apa."

Armand pun akhirnya mengangguk puas. Meski Nissa tak menyebutkan secara pasti ingin dibelikan apa, Armand tak mempermasalahkan. Yang penting si mungil nantinya tak akan menolak pemberian darinya.

"Oke, saya akan belikan sesuatu yang pastinya akan sangat berguna buat kamu." ujar Armand dengan tatapan mengarah lurus ke seraut cantik milik si mungil. Dan sebelum Armand sempat mencegah, bibirnya sudah lebih dulu mengatakan, "Kalau saya nggak ada di sini nanti, jangan lupa rindukan saya ya, Nis."

Sungguh, Armand ingin sekali menampar bibirnya sendiri. Bagaimana bisa ia mengatakan sesuatu yang terdengar bukan dirinya itu.

Yang lebih membuatnya semakin malu, tidak hanya Nissa yang kembali menatapnya dengan sepasang matanya yang bulat dan jernih, tetapi Armand juga mendapat tatapan berbalut keterkejutan dari ibunya dan juga Lala.

Kalau sudah begini, bagaimana Armand harus menjelaskan maksud dari perkataannya itu?

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!