Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Di luar sana, di tengah hiruk-pikuk malam Jakarta, Mawar melangkah dengan perasaan lega sekaligus perih.
Ia memang mendapatkan uang untuk bertahan hidup…
Namun, tanpa ia sadari, ia baru saja kehilangan satu-satunya penghubungnya dengan Anjani.
Dan di pulau seberang, seorang kakak masih menunggu dalam kecemasan yang semakin menggumpal...
***
Malam semakin larut. Angin laut berembus lembut, menggoyangkan dedaunan kelapa yang menjulang tinggi di sekitar rumah Anjani. Tapi ketenangan malam itu berbanding terbalik dengan perasaan gadis itu yang terus diliputi kecemasan.
Di halaman rumahnya, Anjani mondar-mandir dengan gelisah. Matanya terus menatap gelapnya langit, seakan berharap menemukan jawaban di antara bintang-bintang yang bertaburan.
“Ya Tuhan, sudah selarut ini, tapi kenapa Mawar belum juga ada kabar?” gumamnya, suaranya terdengar putus asa.
Sudah berkali-kali ia mendatangi rumah Pak RT, bertanya dengan harapan ada kabar dari adiknya. Namun jawabannya selalu sama—tidak ada. Tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Mawar.
Dadanya semakin sesak. “Sebenarnya Mawar ke mana? Apa dia baik-baik saja?”
Tiba-tiba, dari belakang, suara langkah kaki mendekat. Anjani menoleh dan melihat Aryo, kekasihnya, baru saja pulang dari melaut. Wajah Aryo tampak kelelahan, tapi ada sorot khawatir di matanya.
“Anjani, ada apa?” tanyanya, mendekat. “Tadi Pak RT bilang kamu bolak-balik ke rumahnya menanyakan kabar Mawar. Apa dia masih belum menghubungimu?”
Anjani menatap Aryo dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas Aryo...” suaranya bergetar. “Iya, Mas. Sampai sekarang Mawar belum ada kabar. Aku panik, Mas... Aku takut terjadi sesuatu padanya.”
Aryo menghela napas pelan, mencoba menenangkan hatinya sendiri sebelum menenangkan gadis yang begitu ia cintai di hadapannya. Ia tahu betul betapa berat beban yang tengah menghimpit perasaan Anjani. Kekhawatiran yang begitu besar itu terpancar jelas di sorot matanya yang mulai berembun.
Perlahan, Aryo meraih tangan Anjani dan menggenggamnya erat, memberikan kehangatan dan ketenangan dalam sentuhan sederhana.
“Kamu nggak boleh terlalu panik seperti ini,” suaranya lembut, penuh ketulusan. Tangannya terangkat, mengusap punggung Anjani dengan perlahan, seolah ingin meredakan gelombang cemas yang menguasai gadis itu. “Coba tenang dulu… mungkin sekarang Mawar masih sibuk mencari tempat tinggal atau belum sempat membeli handphone untuk menghubungimu.”
Anjani menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir luruh. Ia ingin percaya kata-kata Aryo, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa adiknya baik-baik saja. Namun, semakin ia mencoba menenangkan diri, semakin kuat perasaan tak enak yang mengusik hatinya.
***
Di Jakarta.
Setelah keluar dari Pegadaian, Mawar berjalan tergesa-gesa menuju sebuah counter ponsel di pinggir jalan. Ia memilih sebuah handphone Android sederhana, tidak mahal, yang penting bisa digunakan untuk menelepon. Begitu selesai membeli, ia langsung bergegas kembali ke kontrakannya dengan langkah cepat.
Di dalam kontrakan kecilnya, Mawar buru-buru membuka dus ponsel barunya, memasang kartu SIM, lalu menghidupkannya. Hanya ada satu hal yang terlintas dalam pikirannya—menghubungi Anjani.
“Mbak Anjani pasti panik menunggu kabar dariku!”
Tangannya gemetar saat meraih tasnya. Dengan tergesa-gesa, ia mencari secarik kertas kecil yang diberikan Anjani di pelabuhan—nomor telepon Pak RT! Itu satu-satunya cara agar ia bisa menghubungi kakaknya.
Tapi… kertas itu tidak ada.
Mawar mengerutkan kening. Ia mengaduk-aduk isi tasnya, merogoh ke setiap sudut, membongkar semua barang yang ada di dalamnya.
Tetap tidak ada.
Jantungnya mulai berdegup kencang. “Di mana nomor itu?!”
Kini ia benar-benar panik. Mawar membalikkan tasnya, menumpahkan seluruh isinya ke lantai. Barang-barangnya berserakan—dompet, baju, uang receh, dan beberapa barang kecil lainnya. Tapi nomor itu tetap tidak ditemukan.
“Ya Tuhan… nomor itu ke mana?” suaranya tercekat, napasnya mulai tidak teratur.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tahu pasti bagaimana perasaan Anjani saat ini. Jika dirinya saja sudah merasa sangat panik, maka kakaknya pasti lebih parah lagi.
“Mbak Anjani pasti sedang gelisah memikirkan aku...” bisiknya lirih.
Mawar meremas rambutnya dengan frustrasi. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, ketakutan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Keinginan untuk pulang begitu kuat, tapi ia menahan diri. Tidak! Ia tidak boleh pulang. Ia tidak boleh menyerah.
Ia sudah terlalu jauh melangkah, sudah menghabiskan cukup banyak uang untuk mencapai titik ini. Pulang bukanlah pilihan.
Perjalanannya untuk menemukan Tante Lusi hampir mencapai tujuan. Ia tidak mungkin berhenti sekarang, tidak sebelum ia bisa membalaskan semua dendam Ibu Resti, ibunya.
“Aku harus mencari tahu alamat Tante Lusi. Setelah itu, baru aku pikirkan bagaimana cara menghubungi Mbak Anjani.”
Namun, di sudut hatinya, ia tahu… itu tidak akan mudah.
Mawar menarik napas panjang, menatap layar ponselnya yang masih menyala di tangannya. Ada sinyal, ada kesempatan untuk menelepon—tapi tanpa nomor itu, ia terputus dari satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
Sementara di pulau, Anjani masih terus menunggu dalam kecemasan.
Dua hati kakak beradik itu kini terpisah oleh jarak dan komunikasi yang terputus.
Mawar hanya bisa berharap… bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan jalan untuk kembali terhubung dengan Anjani—sebelum semuanya terlambat.
***
Sudah berminggu-minggu Mawar bertahan di Jakarta, mencari keberadaan Lusi, tantenya. Namun, kenyataan jauh lebih pahit daripada yang ia bayangkan. Kota ini terlalu luas, terlalu asing, dan ia hanyalah seorang gadis yang tersesat di tengah hiruk-pikuknya.
Ia telah menyusuri jalanan, bertanya pada banyak orang, berharap ada yang mengenal nama atau alamat tantenya—tapi hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk. Tidak ada jejak. Jakarta seolah menelannya bulat-bulat dalam keheningan yang dingin dan tak bersahabat.
Bekal hasil dari menggadaikan kalungnya semakin menipis. Hari-hari berlalu dengan perut kosong dan tidur yang tak nyenyak. Pekerjaan pun tak kunjung ia temukan. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, setiap hari yang ia jalani terasa semakin gelap.
Malam itu, Mawar berdiri di depan jendela kamar kontrakannya yang sempit dan pengap. Udara terasa sesak, membuat dadanya makin terasa penuh. Di luar sana, lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jauh tak tergapai.
Di tengah keheningan, ia berbisik lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara riuh rendah kehidupan kota yang tak pernah tidur.
“Mbak Anjani… Sekarang Mbak lagi ngapain?”
Matanya berkaca-kaca. Ia membayangkan kakaknya yang mungkin masih menunggunya di pulau. Membayangkan rumah kecil mereka, suara deburan ombak yang selalu menemani malamnya, angin laut yang dulu terasa biasa saja tapi kini sangat ia rindukan.
Pulau yang dulu terasa membosankan, kini terasa lebih hangat dibandingkan kota besar yang kini hanya memberinya kesepian. Jakarta bukan hanya panas dan gersang, tapi juga dingin... dingin karena ia tak punya siapa-siapa di sini.
Namun, ia tidak boleh menyerah.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Mawar memejamkan mata, menahan gejolak perasaan yang terus berkecamuk. Esok harus lebih baik. Esok harus membawa jawaban. Ia harus menemukan Lusi, harus mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya.
Pulang tanpa hasil bukanlah pilihan. Ia harus menang.