Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kiriman Tengah Malam
...Chapter 2...
..."Benih Cinta"...
Jam menunjukkan pukul 21.37 ketika bel pintu Toko Kita Jaya berbunyi untuk kesekian kalinya hari itu. Raka berdiri di balik meja kasir, wajahnya sudah setengah jalan menuju kantuk, tapi tetap tersenyum ramah pada seorang pelanggan pria terakhir yang membeli teh kotak, alat kontrasepsi, ice cream dan permen karet. Intan di ujung lorong rak cemilan sedang menata bungkus keripik yang berantakan tidak beraturan, mengomel kecil tentang pelanggan bocil yang bar-bar.
"Pelanggan terakhir hari ini kayaknya mau eksekusi pacarnya, Mas. beli kontrasepsi ampe 6 dus gitu." katanya dengan nada setengah takjub.
Raka tertawa pelan sambil mengunci laci kasir. "yah, biarin aja. Kan yang mau di eksekusi pacarnya sendiri, bukan kamu kan."
Intan mengangkat bahu sambil menarik napas dalam. "Kok aku, idih. Ora sudi aku Mas. Aku mau di eksekusi gitu kalau udah nikah. Biar suami aku yang pertama ngerasain. Kalau belum nikah terus udah di eksekusi, terus nggak jodoh, nggak nikah, nyesal Mas."
Lalu mereka tertawa bersama, dan suasana toko perlahan menjadi hening. Tinggal suara pendingin minuman dan langkah mereka yang bersiap menutup toko. Baru saja Raka ingin menurunkan rolling door, suara Intan terdengar dari dalam gudang.
"Mas Raka! Ada kiriman nih! Tolong bukain pintu belakang!"
Raka mengernyit. "Kiriman apa tengah malam gini?"
"Udah bukain aja Mas."
Di luar, seorang kurir dengan mata sepet dan ekspresi antara hidup dan koma berdiri sambil membawa troli kecil berisi dua kardus besar bertuliskan Indomie Soto Rasah Oyo. Napasnya seperti baru naik tujuh lantai tanpa lift.
"Tanda tangan, Mas," katanya singkat.
Setelah membubuhkan tanda tangan di atas kertas serah terimah, Raka bantu mendorong kardus masuk ke dalam gudang. Intan sudah standby dengan clipboard dan spidol merah, lengkap dengan gaya manajer gudang senior yang sok galak dan profesional.
"Kiriman Indomie jam segini? Kantor pusat kita ini waras nggak sih?" tanya Raka.
"Mereka uji sistem baru, Mas. Katanya mau ngeliat siapa yang loyal dan siapa yang mau cepet pensiun dini."
"Ya elah, udah kayak judul film aja." ucap Raka
"Apanya yang judul film Mas?" tanya Intan
"Dulu ada film judulnya (Pernikahan Dini)!" jawab Raka. "film itu nyeritain bocil cewek yang udah kebelet nikah."
"Baru dengar ada judul film Pernikahan Dini." guman Intan
"Udah, nggak usah di fikirin, lagian di jelasin juga kamu nggak bakalan tau, ntar cari aja di youtube filmnya." kata Raka sambil mengangkat dus mie.
"Iya Mas, Mbak. Film itu bagus. Apalagi kalau Mas sama Mbak Intan nonton bareng film Saur Sepu, Deru Debu, Saraz, Anggling Dharma. Itu film Romantis semua. Di jamin suka." ucap Kurir yang tiba-tiba nimbrung sok akrab
"Mang, mending diam deh, lo nggak di ajak di Circle kita." Sahut Raka
"Yah, udah!" ucap Kurir itu lalu pergi dengan rawut wajah kecewa.
"Yeh,,,Mang jangan baperan ngapa." teriak Intan pada kurir yang sudah masuk kedalam mobil.
Keduanya tertawa sambil mulai memindahkan kardus ke rak penyimpanan. Gudang berantakan tapi terasa hangat. Rak-rak tinggi dengan dus mie, sabun, dan kecap menjadi saksi obrolan setengah malam dua orang yang makin dekat.
Salah satu kardus mie terlihat penyok. Intan membukanya dan menemukan satu bungkus mie yang sobek.
"Ini udah nggak bisa di jual, nih. Yaah... padahal stok soto tinggal dikit." kata Raka sambil memegang Mie yang sobek.
"Masak aja. Biar nggak mubazir." ucap Intan sambil tersenyum.
"Masak di mana? Kompor kagak ada, dapur pun nihil."
Intanpun tersenyum misterius. Dari dalam tas ranselnya, ia mengeluarkan pemanas portable dan panci kecil. Intan melongo.
"Mas... ini. Aku udah siapin."
"Plan B. Khusus kalau kamu tiba-tiba pengen mie jam dua pagi."
Intan ngakak. "Aku ini bawa panci ke mana-mana? Siap banget sih kalau di jadiin Istri."
"Emang kamu mau jadi Istri aku?."
Ucapan itu membuat Intan diam sejenak. Tatapannya melunak.
Mereka mulai memasak mie dengan cara seadanya. Pemanas listrik itu berdiri di atas tumpukan kardus kosong, air dalam panci kecil mulai mendidih. Sambil menunggu, mereka duduk bersandar di dinding.
"Mas Raka..."
"Hm?"
"Mas pernah makan mie soto rasah oyo pakai air galon bekas dispenser?"
Raka menatap Intan dengan ekspresi bingung sekaligus geli. "Belum, tapi dari ekspresimu, sepertinya kamu pernah."
"Pernah banget. Dulu pas kosan air mati. Yang penting kan niatnya. Rasanya... ya, nggak usah diceritain."
Raka tergelak. "Intan, kamu tuh ya... bisa jadi bintang iklan mie."
Mereka tertawa lagi. Obrolan mengalir dari mie kadaluarsa, kosan yang atapnya bocor, sampai cita-cita masa kecil yang gagal total.
"Aku dulu pengen jadi guru TK. Tapi liat anak kecil nangis aja aku ikut pengen nangis. Gagal deh."
"Aku dulu pengen jadi astronot. Tapi takut naik pesawat. Jadi ya... kasir minimarket lah ya. Masih deket sama bintang-bintang, paling nggak bintang promo."
Intan tertawa sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Matanya mulai redup, tapi mulutnya masih aktif.
"Mas Raka, boleh jujur nggak?"
"Boleh, asal jangan ngaku kalau kamu diam-diam suka aroma karton."
"Aku takut miskin seumur hidup. Tapi lebih takut lagi kalau sendirian."
Raka memandangnya lama. Matanya menunduk, lalu ia menarik napas perlahan.
"Kamu nggak akan sendirian. Aku di sini."
Intan menatapnya. Mata mereka bertemu dalam diam. Hanya suara air mendidih dan aroma mie soto rasah oyo yang mulai menyebar di ruangan.
Saat mie sudah matang, mereka makan langsung dari panci, bergantian, tanpa banyak kata. Hangatnya kuah mie seperti menambal lubang-lubang kecil di hati mereka masing-masing. Sesekali mata mereka bertemu dan buru-buru berpaling. Tapi senyum tak bisa disembunyikan.
Di luar, hujan turun deras. Petir sesekali menyambar langit. Tapi di dalam gudang itu, dua hati yang sebelumnya sendiri kini duduk berdampingan, saling mengisi lambung dengan mie.
"Mas Raka, kalau suatu hari aku nggak bisa kerja di sini lagi... Mas bakal sedih?"
Raka tidak menjawab langsung. Ia meletakkan sendoknya, menatap Intan dengan serius.
"Kalau kamu pergi, aku ikut. Nggak penting kerja di mana. Yang penting bareng kamu."
Intan tercekat. Tangannya mencengkeram lutut. Udara dingin seolah berubah hangat. Raka meraih tangan Intan perlahan. Gadis itu tidak menepis.
"Aku takut, Mas. Takut jatuh cinta sama orang yang salah lagi. Takut dikasih harapan lalu ditinggal."
"Aku juga takut, Tan. Tapi aku nggak akan pergi. Serius. Kamu bisa pegang janji itu."
Mata Intan basah. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena ada seseorang yang benar-benar melihatnya, bukan hanya sebagai pegawai toko, bukan hanya si cerewet pendek imut, tapi sebagai perempuan yang pantas dicintai.
Malam itu, di antara dus mie instan dan kardus sabun, mereka tidak berciuman, tidak pelukan mesra, tapi cukup dengan saling duduk diam sambil berbagi mie soto rasah oyo dan tawa kecil. Itu sudah cukup.
Bahakan lebih dari cukup.
Kadang cinta datang tidak dengan bunga atau puisi. Tapi dengan panci kecil, mie soto sisa, dan tangan yang tidak melepas saat hujan turun.
Bersambung.