Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeritan dari dalam tanah
Hujan deras terus mengguyur tanpa henti, menyelimuti seluruh lembah dengan tirai air yang kusam.
Tanah yang lembek menelan langkah setiap anggota tim SAR dan militer, membuat perjalanan mereka terasa seperti melawan arus dunia.
Longsoran demi longsoran kecil masih terdengar dari berbagai arah,seperti ancaman yang belum tuntas.
Mereka tahu, lembah ini bukan lagi sekadar daerah pencarian,ini adalah perang melawan alam itu sendiri.
Kapten Surya, pemimpin operasi gabungan, menatap peta yang kini basah kuyup di tangannya.
Garis-garis jalur keluar yang semula terbuka kini terpotong oleh tanda silang merah yang dibuat tergesa.
Dua jalur evakuasi yang direncanakan dari sisi timur dan utara telah tertutup total oleh tanah longsor.
Satu-satunya jalan yang masih memungkinkan adalah jalur selatan dan itu pun rawan menyusul tertutup jika intensitas hujan terus begini.
"izin melapor Kapten, jalur timur hilang total. Batu sebesar rumah menutupinya,"
lapor Sersan Adi, wajahnya kotor penuh lumpur.
Kapten Surya mengangguk berat.
"Kita harus bergegas. Lembah ini tidak akan memberi kita waktu banyak."
Tiba-tiba, dari arah barat terdengar suara gemuruh rendah, seperti sesuatu yang bergerak di bawah tanah.
Semua anggota tim serentak menoleh, saling memandang penuh tanda tanya.
Tidak ada yang berbicara, tapi ketegangan merambat cepat layaknya arus listrik.
Lalu suara itu terdengar..suara jeritan itu
Bukan jeritan hewan, bukan pula suara manusia pada umumnya.suara Itu seperti gabungan keduanya.
Suara itu keluar dari perut bumi.
Serak, nyaring, dan putus-putus, seolah pita suaranya terkoyak, namun penuh rasa sakit yang menusuk tulang.
Beberapa anggota tim militer refleks mengarahkan senjata mereka ke tanah.
"Suara… dari bawah?"
gumam Letnan Bagas, matanya membelalak.
Jeritan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih jelas.
Beberapa anggota tim menutup telinga, merasa kepala mereka seolah berdebar.
Kapten Surya memberi aba-aba agar semua orang mundur ke tanah yang lebih tinggi, takut tanah di bawah mereka sewaktu-waktu ambles.
Namun rasa penasaran dan rasa takut bercampur jadi satu.
Mereka tahu suara seperti itu tidak wajar,dan jelas bukan hanya fenomena alam biasa.
Sersan Adi merunduk dan menempelkan telinga ke tanah untuk memastikan suara itu.
"Kapten… ini sungguh gila… seperti ada sebuah gerakan tepat di bawah pijakan kita.
kemungkinan ukurannya besar sekali.
Bukan longsor. Bukan air. Seperti… sesuatu yang bergerak."
Kapten Surya menatapnya dengan raut tak percaya.
"Kita di sini untuk evakuasi, bukan mencari masalah. Semua mundur sekarang!"
Mereka mulai bergerak, namun jalur barat yang tadinya terbuka kini mulai runtuh.
Batu-batu besar dan batang pohon berguling turun,memutus akses mereka.
Jalur selatan semakin licin dan curam, membuat pergerakan mereka semakin terbatas.
Sementara itu, jeritan-jeritan dari dalam tanah semakin sering terdengar,seolah mengikuti langkah mereka.
Terkadang terdengar dari kejauhan, namun di detik berikutnya muncul tepat di bawah kaki salah satu anggota.
Getaran halus menjalar melalui tanah, membuat sebagian orang hampir terpeleset.
"Kapten! Suara itu… dia seperti mengikuti kita!"
teriak salah satu anggota SAR yang wajahnya pucat pasi.
Langit semakin gelap meski masih siang,awan pekat menggantung rendah.Aroma tanah basah bercampur bau logam yang tajam mulai terasa, menusuk hidung.
Beberapa orang mulai batuk-batuk tanpa alasan yang jelas.
Kapten Surya memutuskan untuk menghentikan tim di sebuah area yang lumayan tinggi,dikelilingi batu-batu besar yang bisa menjadi perlindungan sementara.
Semua diminta untuk siaga penuh.
Radio komunikasi terus berderak memanggil pos komando,namun gangguan statis membuat suara di ujung sana hanya terdengar seperti bisikan tak jelas.
Ketegangan semakin menebal.
Mereka yang duduk mencoba mengatur napas bisa merasakan tanah di bawah mereka berdenyut,perlahan tapi pasti.
Bukan hanya akibat hujan atau aliran air, tapi seperti detak jantung raksasa yang terkubur.
Dan berberapa saat kemudian… tanah di depan mereka retak.
Retakan kecil itu merayap cepat,lalu menganga, mengeluarkan semburan uap panas bercampur bau busuk yang menusuk penciuman. Bersamaan dengan itu,terdengar jeritan panjang melengking keluar, membuat bulu kuduk semua orang berdiri.
"Siap senjata! Jangan dekati celah itu!"
perintah Kapten Surya.
Namun semua orang tahu, ini hanyalah awal dari segalanya...
Hujan, longsor, jeritan dari perut bumi di lembah ini seakan hidup dan menolak kehadiran mereka.