Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 #Harus Jadi Milikku
Malam mulai larut, namun Nyonya Mauren masih setia menemani Tuan Raymond. Ayahnya itu belum juga siuman.
"Jangan khawatir, Kakek pasti akan baik-baik saja, Ma," ujar Zander, berusaha menenangkan ibunya.
"Lebih baik Mama pulang bersama Zander. Biar Papa yang menjaga di sini," Daren menyarankan, baru saja tiba.
Mauren beranjak dari kursi. Tiba-tiba, ia dan Zander menoleh cepat ke arah pintu. Tatapan mata Zander menajam. "Kau?!" desisnya, menatap Devan yang muncul di belakang ayahnya.
Zander melangkah maju, tangannya hendak meraih kerah leher Devan. Namun, Daren segera menahan putranya sebelum tangannya melayang ke wajah Devan.
"Sudah, Zan. Papa sudah memberi tahu Devan soal kebohongan adiknya," kata Daren, berusaha mencegah keributan.
"Maafkan saya. Saya tidak tahu Chia akan berbuat sejauh ini," ucap Devan dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Cih, jika kau sudah tahu, kenapa kau masih berani menunjukkan wajahmu? Apa kau juga punya niat tersembunyi seperti adikmu?" sindir Zander dengan nada dingin.
"Saya tidak punya niat apa pun. Saya tulus bekerja demi kesehatan kakekmu," balas Devan jujur. Ia memang tidak tahu-menahu tentang masalah Balchia. "Tetapi, jika Anda tidak menginginkan saya bekerja untuk Tuan Raymond, saya akan mengundurkan diri sekarang. Dan sekali lagi, untuk masalah Chia, saya benar-benar minta maaf," ucapnya tulus. Devan merasa cemas, takut Zander akan menyimpan dendam akibat perbuatan adik tirinya.
"Tidak, Dokter Dev. Kau tetaplah bekerja untuk Kakek Zander," Mauren segera menyela sebelum Devan melangkah pergi.
"Ma, apa Mama serius masih mempekerjakan orang yang punya hubungan dengan wanita pembohong itu?" Zander mendesis, kesal.
"Nak, Devan satu-satunya dokter yang sangat dipercaya kakekmu. Jika bukan karena bantuannya, kakekmu mungkin sudah tiada," jelas Mauren. Ia masih ingat ketika Tuan Raymond mengalami serangan jantung di perjalanan, dan kebetulan Devan yang baru pulang dari rumah sakit melewati jalan yang sama.
"Cih, baiklah, terserah Mama. Aku mau pulang, aku tidak sudi melihatnya di sini." Zander berbalik pergi.
"Zan, tunggu Mama!" teriak Mauren. Ia meminta izin suaminya lalu bergegas menyusul putranya.
Devan menghela napas. Ia berhasil lolos dari Zander malam ini, tetapi bagaimana setelah Tuan Raymond sadar? Apakah mantan bos mafia itu juga akan menyalahkannya atas kebohongan Balchia? Hati Devan kembali merasa tidak tenang.
.
.
Di kediaman keluarga Raymond.
Pintu kamar bayi Zee perlahan terbuka. Sahira tampak mengintip keluar lalu celingukan. Suasana rumah masih sepi, hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang lalu-lalang menyelesaikan pekerjaan.
"Tiara!" panggil Sahira, melihat pembantu muda itu muncul di dekatnya.
"Ya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Tiara ramah.
"Aku penasaran, ke mana semua orang? Apa Nyonya Mauren belum pulang? Dan Tuan Raymond juga tidak terlihat," Sahira bertanya, heran.
Tiara menepuk dahinya, baru teringat ia belum memberitahu Sahira. Dengan pelan, ia menceritakan apa yang terjadi pada Tuan Raymond.
"Serangan jantung? Bagaimana bisa?" Sahira terperanjat.
"Sepertinya... karena membaca isi dokumen rahasia," jawab Tiara, agak lupa-lupa ingat.
"Dokumen apa?" Sahira mendesak.
Tiara menggeleng. "Saya tidak tahu pasti, Mbak. Tapi yang jelas, isinya bisa membuat orang pingsan. Saya sempat membacanya sekilas, tapi lupa isinya," ucap Tiara, terkekeh canggung.
Sahira meremas jemarinya, tiba-tiba diliputi kegelisahan. "Jangan-jangan isinya soal keberadaan anakku? Apa mungkin anakku memang sudah meninggal?" Sahira menunduk, berusaha menahan tangis yang mendesak.
"Bukan, kok, Mbak," Tiara meyakinkan, meski ragu.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Sahira, menatap Tiara yang mencoba mengingat isi dokumen tersebut. Tiba-tiba, kedua wanita itu terkejut mendengar suara di belakang mereka.
"Tenanglah, Mbak Sahira. Bayi Anda selamat," Hansel menyahut.
Sahira segera berbalik. "Benarkah? Bayiku masih hidup?" tanyanya, memastikan.
Hansel mengangguk, tersenyum menenangkan. "Ya, Mbak. Berkat pencarian Tuan Raymond dan Tuan Daren, bayi Anda berhasil ditemukan."
Senyum bahagia seketika merekah di wajah Sahira. Air mata haru mengalir deras di pipinya. "Kalau begitu, di mana anakku sekarang, Hans?" tanyanya tak sabar ingin melihat bayinya.
Hansel terdiam sejenak. "Soal itu, lebih baik Mbak tanyakan langsung pada Tuan Zander," jawabnya, memilih untuk tidak membocorkan informasi. Ia takut Zander marah jika ia membocorkan rahasia ini.
"Kalau begitu... di mana Tuanmu sekarang? Bisakah kau menyuruhnya pulang malam ini?" Sahira mendesak.
"Itu... saya tidak tahu. Mungkin masih di rumah sakit, mungkin juga menginap di sana," jawab Hansel, menjaga jarak karena Sahira terlalu dekat. Hansel tahu, jika Zander melihatnya, ia pasti akan dihukum.
Sahira menunduk, gelisah. Ia ingin pergi ke rumah sakit, tetapi ia juga harus menjaga bayi Zee dan Zaena. "Bayiku... aku sangat merindukan dia, Hans. Dia pasti membutuhkan ku," lirih Sahira, menutupi wajahnya yang sendu.
"Mbak, jangan khawatir. Tuan Zander pasti bisa menjaga bayi Mbak. Sekarang Mbak lebih baik istirahat. Kasihan bayinya kalau melihat Ibunya sakit lagi," hibur Tiara, mengajak Sahira masuk kembali ke kamar.
Sahira mengangguk, lalu berjalan ke tempat tidur. Dua bayi menggemaskan itu masih terlelap.
Hansel merasa bersalah harus menyembunyikan identitas bayi Zee untuk sementara waktu. Semua ini adalah permintaan Zander. Zander takut jika Sahira tahu bayi Zee adalah anaknya, Sahira akan meninggalkannya. Oleh karena itu, ia merahasiakannya sampai Sahira benar-benar pulih dan tenang. Zander memiliki rencana, dan rencana itu hanya demi Sahira tetap bersamanya.
Keesokan paginya, mentari menyambut dengan hangat, diiringi kicauan burung. Sahira perlahan membuka mata. Pandangannya yang masih kabur perlahan memfokuskan diri. Ia mengucek matanya, lalu menoleh ke samping, berharap melihat dua bayi mungil itu sudah bangun. Namun, ia tertegun mendapati Zander berbaring di sebelahnya, menatapnya sambil tersenyum.
"Pagi, Sahira," sapa Zander lembut.
"Ke-kenapa kau ada di sini?! Apa yang mau kau lakukan?" Sahira segera mundur, menarik selimut cepat untuk menutupi dadanya.
Zander tersenyum lagi sambil mencolek pipi bayi Zee. "Ini kamar putraku, jadi tidak masalah aku masuk. Aku datang untuk melihat anak-anakku, dan juga menunggu wanitaku bangun."
"Wanitamu? Si-siapa yang kau maksud?" tanya Sahira dengan gugup. Jantungnya mulai berdebar kencang. Ditambah tatapan Zander yang biasanya dingin semakin aneh.
“Tuan Muda, walau kita dulu pernah dekat, tapi sekarang kita sudah tidak punya hubungan lagi. Di antara kita hanya sebatas majikan dan…” ucap Sahira terputus karena syok melihat Zander yang mendadak maju dan kini berada di atas tubuhnya dengan kedua tangannya yang mengunci sisi kiri dan kanannya.
“Tapi aku tidak mau hanya sebatas itu, Sahira….”
“Kau harus jadi milikku,” lanjut Zander berbisik membuat bulu kuduk Sahira berdiri.
“Tidak, kau tidak boleh begini, Zan! Ini salah. Kau sudah punya istri dan anak. Kasihan Istrimu nanti. Perasaannya bisa hancur,” pekik Sahira mencoba membebaskan dirinya tapi tak ada celah untuk melepas diri dari pria tangguh itu.
Beberapa detik kemudian, Sahira menutup mulutnya. Ia sedikit ketakutan melihat raut wajah Zander yang berubah dingin.
“Apa aku sudah salah bicara?” batin Sahira. “Apa aku akan dipecat? Dihukum? Oh tidak, nasib dua miliar ku bagaimana?”
Sementara itu, di pikiran Zander. “Sahira, kenapa hanya orang lain yang kau pikirkan? Apa kau tidak pernah lagi memikirkan aku? Atau jangan-jangan sekarang kau sedang memikirkan mantan suamimu? Tapi aku kan juga mantanmu, Sahira…”
.
Bukan mantan yang dipikirin.. tapi gajinya pak bos
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀