Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Antara Mantra dan Rasa
Sinar mentari pagi memantul di permukaan sungai kecil yang mengalir jernih di tepi hutan. Daun-daun berguguran perlahan, seolah ikut menari mengikuti mantra yang diucapkan seorang pemuda di tepi batu pipih.
"Ilimi sazta, yehefe ta mereize kahtuv..."
Suara itu lirih namun penuh tekad. "Wahai jiwa-jiwa elf suci, berkahilah aku dengan kekuatan..."
Sion berdiri tegak, telapak tangannya terbuka ke depan. Rambut palsunya terikat rapi, matanya terpejam mencoba berkonsentrasi. Tapi tak ada yang terjadi… tak ada cahaya, tak ada dentuman kekuatan, bahkan tak ada angin yang berputar.
Ia menghela napas berat. "Kenapa tidak bisa juga…,” gumamnya heran.
Ia mencoba lagi… Dan lagi… Sampai akhirnya…
"HAHAHAHAHA!!"
Suara cekikikan meledak dari atas pohon. Sion tersentak dan mendongak. Di antara dahan pohon elm yang menjulang, tampak sosok yang sangat ia kenal.
Sissel. Duduk santai, dengan lutut ditekuk dan tangan menahan tubuhnya dari belakang. Wajahnya penuh kepuasan menertawakan kegagalan Sion.
“Kau… dari tadi di situ?” tanya Sion, wajahnya memerah antara malu dan kesal.
“Sejak mantra pertama aku sudah di sini…. ” jawab Sissel sambil terkekeh. “Itu mantra yang sangat mulia... sayangnya, suaramu seperti pembaca puisi gagal. Hahaha …. ”
Sion mengerucutkan bibir, tapi belum sempat ia membalas, Sissel mengangkat satu tangan.
“Ilimi sazta, yehefe ta mereize kahtuv de layor eklovtu!”
"Wahai jiwa-jiwa elf suci, berkahilah aku dengan kekuatan api yang suci darimu!"
Dalam sekejap, api kecil menyala di telapak tangan Sissel.
“Tangkap!” teriaknya, lalu melemparkan api mungil itu ke arah Sion.
Sion bergerak cepat, menepis bola api itu dengan sapuan ringan tangan kosong. Api itu buyar sebelum menyentuh tanah.
“Begitu saja?” ejek Sion dengan senyum puas. “Itu lebih mirip percikan dari tungku api.”
“APA?!” Sissel berteriak marah. “Kau meremehkan sihirku?!”
“Ilimi sazta, yehefe ta mereize kahtuv de layor eklovtu!”
Tanpa banyak bicara, ia mulai meluncurkan serangkaian bola api kecil bertubi-tubi. Sion menangkis semuanya sambil tertawa geli, mundur ke kiri dan kanan dengan gerakan ringan seperti menari.
“Kurasa api unggun bisa membakar lebih besar dari ini!” godanya.
Sissel melompat turun dari pohon dengan gerakan gesit. Ia mendarat dengan ringan dan langsung mengambil tongkat kayu yang tergeletak di sana.
“Kau minta perang…. ? Baiklah!” Seru Sissel seraya langsung melayangkan serangan ke arah Sion.
“Aku tidak…. ”
BRAK!
Tongkat Sissel sudah meluncur, menghantam ke arah bahu Sion. Ia menangkis dengan lengan bawahnya, tapi serangan itu terus berlanjut. Ia ikut mengambil tongkatnya untuk menepis serangan yang dilancarkan Sissel.
“Hentikan, Sissel!” katanya sambil bertahan. “Kau serius? Ini berbahaya!” Sion menyadari jika serangan yang Sissel berikan merupakan serangan yang serius, bukan bercanda. Bisa ia rasakan Sissel menggunakan tenaganya secara penuh untuk menyerangnya. Ia sampai kewalahan menghadapinya.
“Terlambat!” bentak Sissel, wajahnya merah padam.
Sion melangkah mundur dua langkah. Nafasnya memburu.
“Kau benar-benar serius…” gumamnya. “Baiklah.” Tongkatnya mencambuk udara. Denting kayu terdengar nyaring. Ini bukan lagi latihan. Ini adalah duel.
Sion akhirnya menambah kekuatan tangkisannya. Ia mulai menahan serangan Sissel, lalu perlahan mulai menyeimbangkan permainan.
Sissel menyerang dengan keras, tapi Sion terus bertahan. Sampai akhirnya…
CLAK!
Tongkat Sissel terpental dari tangannya. Tubuhnya goyah dan hampir jatuh. Sion berhasil menangkapnya sebelum jatuh.
Tanpa sadar…. ia memeluknya.
“Maaf…” bisik Sion. “Tapi aku harus membuatmu berhenti.”
Wajah Sissel memerah. Jantungnya berdetak cepat. Jarak mereka begitu dekat. Belum sempat ia berkata apa-apa, Sion mencium pipinya singkat.
“Sihirmu sebenarnya luar biasa,” bisik Sion dengan suara lebih pelan dari desir angin.
Sissel terpaku.
“Aku hanya… selalu kagum padamu,” tambah Sion sambil tersenyum.
Mereka saling bertatapan, Sion mendekatkan wajahnya hendak mencium bibir Sissel yang terlihat manis seperti madu. Sayangnya, di saat yang bersamaan … terdengar suara panggilan yang mengagetkan.
“SION! SISSEL!”
Suara keras dan parau itu menggema dari arah pepohonan, mendekat dengan cepat. Mimbo berlari sambil terengah-engah, rambutnya berantakan, keringat menetes dari pelipis ke leher. Matanya membelalak saat melihat Sion dan Sissel dalam posisi… sangat dekat.
Sion segera melepaskan pelukannya. Sissel mundur satu langkah dengan wajah merah padam, menyeka pipi yang tadi disentuh bibir Sion, sambil menunduk tak berani menatap Mimbo.
“Eh? Kalian kenapa?” tanya Mimbo, keningnya berkerut. “Kalian kelihatan aneh sekali.”
“Ada apa, Mimbo?” Sissel segera memotong dengan cepat, berusaha menutupi canggung yang memekat di udara.
Mimbo menarik napas dalam-dalam. “Di arah pintu masuk desa… aku lihat belasan orc. Mereka masuk dari celah batu besar barat. Beberapa warga sudah berusaha melawan, tapi—mereka kewalahan!”
Sion membeku. “Orc? Di desa kita?”
“Itu… tidak masuk akal,” gumam Sissel. “Selama ini, mereka tak pernah sampai ke wilayah Syrren…”
Mimbo mengangguk. “Aku juga heran. Tapi itu benar-benar mereka. Bau busuk mereka memenuhi udara!”
Tanpa menunggu lagi, ketiganya berbalik dan berlari sekuat tenaga, menerobos semak, melompati akar pohon dan menyusuri jalan setapak menuju pusat desa.
Angin menerpa wajah mereka saat pepohonan mulai menipis. Aroma darah dan tanah terbakar mulai tercium.
Benar saja.
Begitu mereka mencapai area dataran berbatu di sisi barat, tampak sejumlah pemuda desa bertarung melawan gerombolan orc. Sebagian orc mengenakan kulit binatang sebagai baju perang, membawa kapak, pedang kasar, dan tombak kayu. Suara raungan mereka menggema, menciptakan ketakutan di antara warga.
Beberapa elf desa telah tergeletak, terluka parah atau pingsan. Darah membasahi tanah dan rumput, nyanyian kematian mulai berbisik di angin.
“Ayo kita serang!” seru Sion sambil menarik tongkat panjang dari punggungnya.
Tanpa ragu, ketiganya menerjang ke medan pertempuran.
Sion bergerak seperti bayangan, sigap dan cepat. Setiap ayunan tongkat kayunya menghantam kepala orc dengan presisi mematikan. Ia memutar tubuh, menangkis serangan tombak, lalu menyapu kaki lawan dengan satu gerakan. Dua orc tumbang hanya dalam beberapa langkah.
Di sisi lain, Sissel menyalakan api dari telapak tangannya. “Ilimi sazta, yehefe ta mereize kahtuv de layor eklovtu!”
Bola api meluncur menghantam dada orc, membuat tubuh besar itu terbakar dan jatuh meraung. Gadis itu melompat mundur, melemparkan api dari sisi kiri dan kanan, menciptakan penghalang panas untuk melindungi warga yang terluka.
Sementara Mimbo, dengan keberaniannya yang tak kalah besar, menyerang dari sisi belakang. Ia menggunakan tombak pendek dan senjata tumpul seperti kapak desa. Gerakannya tak secepat Sion, tapi kekuatannya mengesankan. Setiap serangan menghantam dengan bobot yang bisa mematahkan tulang.
Tiga elf dalam satu medan perang.
Kerja sama mereka nyaris tanpa cela. Ketika Sissel menahan orc dengan sihir apinya, Sion menyelinap dari sisi untuk menyerang titik lemah. Saat Mimbo terdesak oleh dua orc sekaligus, Sissel melindunginya dengan melemparkan api kecil ke wajah mereka yang membatasi pandangan musuh.
Sion melompat ke atas batu, lalu menerjang dari atas, menghantam orc terbesar yang memimpin barisan. Orc itu roboh, menghantam tanah dengan dentuman keras.
Satu per satu orc mulai tumbang. Tubuh-tubuh besar mereka jatuh, menimbulkan bau busuk yang menyesakkan.
Tak lama, hanya suara napas dan api yang masih menyala yang tersisa.
Sion berdiri dengan dada naik-turun, tongkat kayu di tangannya tergores dan hitam di ujungnya. Mimbo terengah, menggenggam tombaknya yang telah patah. Sissel menyeka keringat dari dahinya, wajahnya memerah kehabisan tenaga.
Orc terakhir mengerang pelan, lalu berubah menjadi lumpur hitam.
Keheningan jatuh. Burung-burung tak berkicau. Hanya napas mereka yang terdengar di tengah darah dan bara yang masih berasap.
“Apakah ini… hanya serangan biasa?” tanya Sissel lirih.
“Kurasa tidak,” jawab Sion sambil memandangi sisa jejak kaki orc yang menuju arah utara. “Mereka datang dengan tujuan. Pertanyaannya… siapa yang mengirim mereka ke sini? Lalu, untuk apa?”
Mereka bertiga saling berpandangan.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Desa Syrren terkena noda kegelapan. Suara tangisan warga mulai menggema, ketika menyadari ada keluarganya yang meninggal karena serangan orc. Suasana desa tampak kacau.
Sissel memandang tubuh-tubuh yang tergeletak. Tangisan seorang anak kecil memanggil ibunya yang tak bangun. Ia menggigit bibirnya, menahan emosi yang menyesakkan dada. Napasnya berat. Kepalanya pening. Suara Sion dan Mimbo terdengar seperti gema jauh. Dunia berputar.
Lalu semuanya gelap.
Dan … ia jatuh pingsan.