Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Opportunity ll
Angelo menepuk-nepuk tangan Jacob yang memeluknya erat-erat. "Lepas, sekarang kau yang akan membunuhku," desis Angelo, napasnya sedikit terengah karena pelukan Jacob yang terlalu kuat. Aroma parfum Jacob yang khas memenuhi indranya, dan sedikit membuat nya mual.
Jacob melepaskan pelukannya, menatap keponakannya dengan tatapan rumit; kesal bercampur rindu yang mendalam. "Kuharap, kau tak akan pergi lagi dan menghilang kembali," ucapnya, suaranya sedikit bergetar.
Di tengah percakapan penuh haru itu, Maximillian merasa dirinya terkurung dalam kesunyian, terasing di tengah ballroom pernikahan yang meriah. Lampu kristal berkilauan, musik mengalun merdu, namun baginya hanya ada kehampaan. Ia menatap Angelo yang bersinar bak bintang, jauh lebih memesona daripada kenangan terakhir mereka. Gaun sederhana berwarna putih itu seakan memancarkan cahaya sendiri, menonjolkan kecantikan Angelo yang menawan.
Janet, menyaksikan kakaknya yang terpaku seperti patung, hanya bisa menggelengkan kepala. Ia masih ingat jelas bagaimana Maximillian berubah menjadi pria yang kalut dan frustasi saat Angelo menghilang. Pria itu seperti kehilangan nyawanya, berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. Dan sekarang, dengan Angelo berdiri di hadapannya, Maximillian tetap terpaku, seakan kehilangan kata-kata. Tatapan Maximillian kosong, seperti jiwa yang terbelenggu oleh kesedihan yang terpendam.
Angelo menatap dalam ke mata Maximillian yang juga menatapnya dengan intens. Tatapannya datar, berbeda dengan senyum ramah yang baru saja ia berikan pada Janet. "Hallo, Max," sapa Angelo, suaranya lembut namun tetap menyimpan jarak. Maximillian tersentak, seakan baru tersadar dari lamunan panjang.
Detak jantung Maximillian berdebar kencang, menggelegar di telinganya sendiri. Ia tak percaya Angelo benar-benar menyapanya. "Apa kabar, Angelo? Lama tak bertemu," jawab Maximillian, suaranya sedikit gemetar, tatapannya tak beralih dari wajah Angelo.
Angelo tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke matanya, senyum sinis yang lebih tepatnya. "Tentu saja aku baik-baik saja," katanya, nada suaranya datar, tanpa emosi.
"Tapi, sepertinya kau yang terlihat tidak baik-baik saja," lanjut Angelo, menekankan kata "kau," seolah-olah membaca pikiran Maximillian.
Cyne, yang baru saja menyelesaikan percakapan dengan rekannya, segera menghampiri Angelo dan Maximillian. Pandangannya bertemu dengan George—suami Angelo—dan keduanya saling bertukar pandang penuh tanya. Keduanya sama-sama memperhatikan bagaimana Angelo tak sedikit pun menghindar dari tatapan Maximillian. Ketegangan di udara semakin terasa. Mereka berdua, sebagai pasangan pengantin, dengan hati-hati mendekat, ingin mengetahui apakah Angelo akhirnya memberikan kesempatan kepada Maximillian. Bisikan-bisikan para tamu undangan lainnya mulai terdengar, menambah hiruk pikuk suasana yang sudah tegang.
Mereka duduk mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kayu jati tua, Angelo berada di antara Maximillian dan Jacob. Tatapan Maximillian tak lepas dari Angelo, seperti haus akan kehadiran wanita itu. Mata Maximillian berbinar-binar, mengungkapkan kerinduan dan harapan yang terpendam. Cahaya lilin yang lembut menerangi wajah mereka, menciptakan suasana yang intim namun tegang.
"Jadi, kau benar-benar ingin memberiku kesempatan? Untuk bisa dekat dengan bayi kita?" tanya Maximillian, suaranya terdengar sedikit parau, mengungkapkan ketegangan yang ia rasakan. Ia telah mendengar penjelasan Angelo sebelumnya, dan lega—sebuah kelegaan yang begitu besar—mendapatkan pengakuan sebagai ayah dari anak yang dikandung Angelo. Sebuah beban seakan terangkat dari pundaknya.
"Apakah aku juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi pendampingmu?" Maximillian kembali bertanya, nada suaranya lebih berani, mengungkapkan harapan yang terpatri dalam hatinya.
Hening. Keheningan yang terasa mencekam menyelimuti meja itu. Keheningan yang tercipta setelah pertanyaan Maximillian yang penuh harap. Angelo mengerutkan kening, menatap Maximillian dengan tatapan yang sulit diartikan; campuran kebimbangan dan penolakan.
"Jangan meminta lebih," jawab Angelo, suaranya tegas namun terdengar sedikit getir. "Cukup dengan kau yang diakui sebagai ayah dari anak ini, tidak dengan menjadi pasanganku."
Seulas senyum tipis terukir di bibir Maximillian, sebuah senyum yang menyimpan tekad. Ia mungkin akan menerima penolakan Angelo untuk saat ini. Namun, tekadnya bulat. Ia akan melakukan segala cara untuk membuat Angelo berada di sisinya. Terlebih, Angelo telah mengizinkannya untuk ikut mengurus kehamilannya, hingga Angelo melahirkan nanti. Itu sudah menjadi sebuah langkah awal yang berarti.
Suasana tegang mulai mencair, digantikan oleh kehangatan yang tak terduga. Angel dan Maximillian memilih berdamai, meskipun tak pernah ada masalah berarti di antara mereka—hanya konflik keluarga yang menciptakan jarak di antara keduanya, terutama dari sisi Angel. Kaca-kaca jendela ballroom memantulkan cahaya pesta, menerangi senyuman tipis yang mulai muncul di wajah Angel.
"Boleh aku menyentuhmu?" tanya Maximillian, suaranya pelan, pertanyaan yang ambigu dan membuat beberapa orang mengerutkan dahi.
Janet, Cyne, Jacob, dan yang lainnya langsung menatap Maximillian dengan tatapan terkejut—bahkan ada yang sedikit sinis. Warna merah merah merona di pipi Janet dan Cyne. Maximillian buru-buru meralat ucapannya, "Ah, maksudku bayi kita," katanya, terdengar sedikit gugup.
"Tidak…" Angelo memulai jawabannya, namun langsung terpotong.
Suara Janet memecah keheningan, "Aku juga mau menyapa keponakan ku, boleh, kan?" tanyanya dengan mata berbinar, penuh harap. Ia tak sabar untuk bertemu dengan calon keponakannya.
Angelo melirik Jacob, yang mengangguk setuju. Ia berusaha memberikan kesempatan kepada Maximillian, mengingat peran pria itu dalam perjalanan kehamilannya. "Boleh," jawab Angelo, meskipun suaranya terdengar sedikit terpaksa.
Janet dengan cepat bangkit dari tempat duduknya, berlari kecil ke samping Angelo, dan berjongkok. "Hai, baby, aku Janet, Bibi-mu," ujarnya, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Ia mengelus perut Angelo yang sudah mulai membuncit, "Kuharap kau perempuan, aku ingin memiliki teman untuk shopping dan bergosip!"
Sementara itu, Maximillian merasakan desiran halus di dadanya saat tangannya dengan lembut menyentuh perut Angelo. Rasa bahagia, haru, dan lega bercampur aduk, membuatnya seperti melayang di awan. Bayangan masa depan bersama Angelo dan calon bayinya memenuhi pikirannya.
Di tengah kehangatan menyapa calon bayi, Angel mengambil gelas minumannya dan menyesap isinya. Namun, tatapan Cyne langsung menyipit tajam saat melihat isi gelas itu—sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu ballroom. "Angel, apa kau gila?!" seru Cyne, suaranya penuh kepanikan. Dengan gerakan cepat, ia merebut gelas itu dari tangan Angel.
Suasana riuh berubah menjadi hening. Semua orang menatap Angel dan Cyne dengan tatapan bingung. "Kau sedang hamil! Tapi kau malah minum…" Cyne tak sanggup melanjutkan kata-katanya, kecemasannya terlalu besar. Ia langsung mencari pelayan yang bertugas membagikan minuman, niatnya untuk mencari tahu siapa yang berani menyediakan alkohol di acara pernikahannya.
Reaksi George tak kalah cepat. Ia sudah meminta agar alkohol ditiadakan dalam acara pernikahannya, namun minuman beralkohol itu tetap ada. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Ia pun mulai mencari pelayan yang bertanggung jawab. Aroma alkohol yang menyengat mulai memenuhi indra penciumannya.
Angel hanya termenung, baru menyadari kesalahannya. Dia begitu lama tak mengonsumsi alkohol—fokusnya pada susu kehamilan—hingga ia lupa akan efeknya. Rasa pahit menyesap di tenggorokannya, jauh berbeda dengan rasa minuman yang biasanya ia konsumsi.
Maximillian, yang menyaksikan semua kejadian itu, langsung mengerti bahaya yang mengancam Angel dan bayinya. Melihat isi gelas yang direbut Cyne, pria itu langsung panik. Dengan sigap, ia menggendong Angel dan berlari keluar dari ballroom yang ramai. "Bagaimana bisa kau meminum alkohol saat sedang mengandung?!" teriaknya, suaranya dipenuhi kepanikan dan rasa khawatir yang amat sangat. Langkah kakinya cepat dan pasti, membawa Angel menuju rumah sakit terdekat. Bayangan wajah Angel yang pucat membuat dadanya sesak.
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔
ppet trs smp angelo brsdia buat nkah sm max.....
janet bbo bareng sm jacob...enth bgaimna smp mreka bs brsma,mngkn krna trbwa suasana....
jgn2 janet bno bareng sm jacob?????