NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Ibunya mengelus pundak Aira pelan. “Udah, tidur dulu. Besok pagi kita berangkat. Anggap aja ini malam terakhir di kota.”

Aira mengangguk pelan. Ia beranjak ke kamarnya dengan mata sembab.

Dan di dalam hati, satu kalimat berputar terus: “Aku cuma mau bebas, tapi kenapa rasanya malah dikurung?”

***

Pagi ini rumah Aira penuh dengan koper dan kardus yang sudah disusun rapi di ruang tamu. Langit masih sedikit abu-abu, matahari baru mau muncul di balik gedung-gedung tinggi yang akan segera ditinggalkan keluarga itu.

Aira keluar kamar dengan mata sembab. Ia bahkan belum sempat sarapan.

“Rara, bantu Papa angkatin koper ke mobil!” seru papanya dari teras.

“Udah aku angkatin hatiku juga, Pa, tapi masih berat,” gumam Aira pelan.

Papanya menatap dari kejauhan. “Apa?”

“Nggak, Pa. Koper maksudnya!” seru Aira cepat sambil tersenyum miring.

Ibunya yang sedang memeriksa daftar bawaan hanya bisa menggeleng, separuh geli, separuh khawatir.

“Udah, ayo cepat. Kita harus berangkat sebelum macet.”

Aira menarik koper besar dengan enggan. Di dalam hati, ia masih merasa tak rela meninggalkan kota yang sudah menemaninya selama empat tahun kuliah.

Setelah semuanya siap, mobil keluarga itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Gedung-gedung tinggi berganti deretan ruko, lalu jalan raya yang makin sepi, hingga akhirnya pemandangan mulai dipenuhi pepohonan dan sawah yang hijau.

Beberapa jam pertama, tak ada yang banyak bicara.

Aira hanya menatap keluar jendela, mendengarkan lagu lewat earphone.

Papanya melirik lewat kaca spion.

“Masih ngantuk?”

“Nggak, cuma... sedih aja,” jawab Aira lirih.

“Sedih ninggalin kota?”

Aira mengangguk kecil. “Di sana pasti nggak ada mall, nggak ada kafe, nggak ada bioskop…”

Papanya tertawa pelan. “Tapi ada sawah, sungai, udara segar, dan orang-orang yang masih tahu cara senyum tanpa alasan.”

Aira mendengus. “Iya, tapi aku bukan tipe yang bisa senyum tanpa alasan.”

Ibunya menoleh, tersenyum sabar. “Nanti juga bisa. Di kampung, orangnya ramah-ramah. Kamu tinggal menyesuaikan aja. Nggak semuanya harus seperti di kota, Air.”

Air adalah panggilan kesayangan mama papanya. Berkat kehadirannya yang sudah ditunggu lebih dari lima tahun pernikahan rezekinya mengalir deras seperti air. Tapi kadang juga mereka memanggil Rara, panggilan yang Aira buat sendiri untuknya.

Aira menatap mamanya sekilas, lalu memalingkan wajah ke jendela lagi. “Menyesuaikan? Entar disuruh pake kerudung tiap keluar rumah juga kali.”

Papanya menimpali, “Bagus kalau iya. Papa dukung.”

“Pa!” protes Aira cepat.

“Kenapa? Emang salah kalau anak perempuan tampil sopan?”

Aira tidak menjawab. Ia hanya pura-pura memejamkan mata, padahal hatinya sudah mulai kesal lagi.

Tapi di sela kesalnya, ia juga mulai menyadari satu hal—jalanan mulai sempit, udaranya semakin sejuk, dan suara burung-burung terdengar dari kejauhan.

Rasa sebal itu perlahan bercampur dengan rasa ingin tahu.

“Berapa jam lagi, Pa?” tanya Aira, mencoba terdengar biasa.

“Sebentar lagi sampai. Kampungnya di kaki gunung, jadi jalannya sedikit menanjak.”

Aira menatap keluar jendela. Sawah membentang, anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, dan ibu-ibu membawa bakul sayur sambil tersenyum pada mobil yang lewat.

Dalam hati, Aira bergumam,

“Tuh kan... Bahkan senyum tanpa alasan pun beneran ada di sini."

Tidak lama kemudian Aira tertidur sampai akhirnya perjalanan lima belas menit ke kampung yang di tuju sampai juga.

Udara di kampung itu terasa berbeda. Sejuk, lembap, dan membawa aroma tanah basah bercampur wangi daun pisang. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi dan taman kecil di depannya.

“Ra, bangunin tuh, udah sampai,” suara Mama lembut, tapi lelah.

Aira membuka mata, masih separuh sadar setelah perjalanan panjang dari kota. “Udah sampai?”

gumamnya serak, menatap keluar jendela.

Yang ia lihat hanyalah hamparan sawah hijau, pepohonan, dan rumah-rumah beratap genting yang saling berjajar rapi.

“Selamat datang di kampung halaman, Ra.” Papanya turun duluan, disambut dengan senyum beberapa warga yang sudah menunggu. Pak RT, Bu RT, dan beberapa ibu-ibu langsung menghampiri.

Kampung ini dulunya adalah kampung orang tua papanya Aira. Dan mereka juga merenovasi rumah peninggalan orang tuanya.

“Wah, akhirnya datang juga, Pak Hadi! Rumahnya udah kami bersihin kemarin, biar pas ditempati gak repot,” kata salah satu ibu sambil tersenyum ramah. Ia memang yang selama ini merawat rumah itu.

“Terima kasih banyak, Bi Sumi,” balas Pak Hadi sopan.

Aira turun pelan-pelan, menarik koper besar sambil mengernyit. “Aduh, kenapa panas banget ya, Ma? Ini kayaknya beda sama di kota,” keluhnya sambil kipas-kipas dengan tangan.

“Ya jelas beda, ini bukan AC, ini udara alami,” jawab Mamanya geli.

Beberapa anak kecil di depan rumah menatap Aira dengan penasaran. Mungkin heran melihat gaya pakaiannya... celana kulot tinggi, kaus lengan pendek, dan topi bucket di kepala.

“Eh, teteh kota ya?” tanya salah satu anak kecil polos.

“Iya,” jawab Aira sambil tersenyum kikuk.

“Teteh cantik banget, tapi bajunya aneh,” bisik anak itu ke temannya.

Mamanya Aira langsung menepuk lembut bahu Aira. “Nanti kalau udah beres barangnya, ganti baju yang sopan ya, Ra. Ini kampung, bukan mall.”

Aira menghela napas panjang. “Iya, iya…” jawabnya setengah hati.

Warga mulai membantu menurunkan barang dari mobil. Ada yang mengangkat galon, ada yang menenteng kardus berisi pakaian, bahkan beberapa ibu-ibu ikut menata di dalam rumah tanpa diminta.

“Duh, ini warga kok baik banget sih, Ma,” gumam Aira, merasa sedikit canggung tapi terharu juga.

“Namanya juga gotong royong, Ra,” jawab Papa sambil tersenyum bangga. “Di kampung ini, kalau ada yang datang atau pindahan, semua ikut bantu.”

Aira melihat sekeliling... anak-anak tertawa di pinggir jalan, ayam berkeliaran bebas, dan suara adzan dari surau kecil di ujung gang. Semua terasa asing tapi hangat di saat yang sama.

“Kayak di film-film jadul ya, Ma,” celetuknya sambil tersenyum kecil.

Mama tertawa pelan. “Bukan film, Ra. Ini dunia nyata, tempat kita mulai hidup baru.”

Aira menatap rumah barunya sekali lagi. Mungkin belum nyaman, tapi entah kenapa, ada sedikit rasa damai di dada. Ia tidak tahu, bahwa kampung yang ia anggap membosankan ini, akan jadi tempat di mana hatinya perlahan menemukan arah baru.

***

“Ma, sinyal di sini mati lagi!”

Aira mengeluh untuk kesekian kalinya sambil menggoyang-goyangkan ponselnya ke udara. Dari tadi layar hanya menunjukkan tulisan “No Service” dengan penuh keangkuhan.

Dari kursi rotan di teras rumah, Bu Maryam hanya terkekeh. “Makanya, jangan main HP terus. Nikmatin udara kampung, Ra. Udara kota kan penuh polusi.”

“Udara kampung penuh ayam, Ma.” Aira memutar bola mata, menatap ayam jantan yang lagi sibuk mengejar ayam betina di halaman. “Dan mereka lebih ribut dari klakson motor di Jakarta.”

Pak Hadi tertawa dari kursinya. “Kamu cuma butuh waktu untuk beradaptasi. Nanti juga betah.”

Aira mendengus, lalu memeriksa pantulan wajahnya di layar ponsel yang gelap. Rambutnya sedikit berantakan karena angin. Ia menatap sekitar... rumah-rumah yang kebanyakan berdinding kayu, jalan tanah, suara azan dari musala kecil, dan ibu-ibu yang lewat dengan kerudung menutup dada.

“Dan semua orang di sini kayaknya bakal ngeliatin aku kayak alien,” gumamnya pelan.

Belum sempat Bu Maryam menanggapi, dari arah musala terdengar suara laki-laki yang cukup lantang namun lembut, membaca salawat menjelang shalat magrib.

Dan di antara suara itu, muncul sosok laki-laki berpeci hitam, berwajah teduh dengan sorot mata tenang. Ustadz Fathur Rahman. Ia berjalan ke arah rumah mereka sambil membawa kitab dan tasbih di tangannya.

“Assalamu’alaikum, Pak Hadi,” sapanya sopan.

“Wa’alaikumussalam, Ustadz Fathur,” jawab Pak Hadi ramah. “Ayo duduk, kebetulan baru pindahan nih. Ini anak saya, Aira.”

Ustadz Fathur mengangguk sambil tersenyum kecil.

Tapi senyum itu hanya bertahan tiga detik... tepat setelah matanya melihat Aira yang berdiri dengan celana pendek di atas lutut dan kaus tanpa lengan bertuliskan No Rules, No Limits.

Wajah ustadz itu seketika berubah serius.

“Eh…” Aira menyipitkan mata. “Kenapa liat-liat, Pak Ustadz? Gak pernah liat orang cantik?”

Bu Maryam buru-buru menepuk lengan anaknya. “Aira!”

Namun Ustadz Fathur justru menunduk pelan, menahan napas. “Bukan begitu, Neng… hanya saja, di kampung ini ada aturan berpakaian sopan, apalagi untuk perempuan yang sudah balig. Mungkin… bisa mulai besok pakai yang lebih tertutup?” katanya halus tapi tegas.

Aira menaikkan alis. “Kampung ini punya undang-undang sendiri, ya? Aku gak baca di kitab hukum tuh.”

Bersambung

1
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Rian Moontero
lanjuuuttt😍
Ijah Khadijah: Siap kak. Ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Ilfa Yarni
ya udah nanti ustadz tinggal drmh Aira aja toh Aira ank tunggal pasti orang tuanya senang deh
Ilfa Yarni
wallpapernya oke banget rhor
Ijah Khadijah: Iya kak. Ini diganti langsung sama Platformnya.
total 1 replies
Ilfa Yarni
bukan sama itu kyai sama Aira ank yg baru dtg dr kota
Ilfa Yarni
ya udah Terima aja napa sih ra
Ilfa Yarni
cieeee Aira mau nikah nih yee
Ilfa Yarni
cieee Aira dilamar ustadz Terima doooong
Ilfa Yarni
wah itu pasti laporan sijulid yg negor Aira td tuh
Ilfa Yarni
bagus Aira sebelum mengkoreksi orang koreksi diri dulu
Ilfa Yarni
klo dikmpg begitu ra kekeluargaannya tinggi
Ijah Khadijah: Betul itu. maklum dia belum pernah ke kampung kak
total 1 replies
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus, lucu, keren dan menghibur TOP👍👍👍 SEMANGAT
Ijah Khadijah: Terima kasih kakak
total 1 replies
Ilfa Yarni
km lucu banget aura baik dan tulus lg sampe2 ustadz Fatur mengkhawatirkan km
Ilfa Yarni
aura jadi bahan ledekan dan olk2an mulu kasian jg eeeustadz Fatur nunduk2 suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
woi para santri Aira ga genit kok memang ustadz Fatur yg minjemin motornya
Ilfa Yarni
aduh Aira hati2 tar km jatuh lg
Ilfa Yarni
cieee begitu yg tadz okelah klo gitu nikah dulu dgn neng aira
Ilfa Yarni
Aira harus percaya diri dong km cantik lho warga kmpg aja mengakuinya aplg ustdz Fatur heheh
Ilfa Yarni
aaah ustadz Fatur sering amat nongki nongki dgn orangtua Aira suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
hahahahaha ke sawah pake baju kondangan aira2 km ya bikin ngakak aja
Ijah Khadijah: Salah kostum🤭🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!